Bahasa Batak akan Punah!
Suara Tapian.com berbincang dengan seorang sastrawan, Saut Poltak Tambunan. Telah menulis 80 novel, 60 berbahasa Indonesia dan 20 novel di antaranya berbahasa Batak. Suara Tapian menanyakan, mengapa dia beralih dari sastra Nasional ke sastra daerah. Saut Poltak Tambunan adalah perintis sastra modern bahasa Batak dan mendapat penghargaan dari pemerintah.
Saut Poltak Tambunan, ayah tiga anak, pria kelahiran lahir 28 Agustus 1952 adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal secara luas melalui karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, novel, skenario, dan esai sastra yang dimuat di berbagai media massa.
Beberapa novelnya telah diangkat ke layar lebar antara lain Jalur Bali, Harga Diri, Yang Perkasa, Dia Ingin Anaknya Mati, dan Hatiku Bukan Pualam.
Judul terakhir, selain pernah diangkat ke layar lebar yang dibintangi oleh Yenny Rachman, Roy Marten, dan Deddy Mizwar, juga diangkat ke layar kaca (sinetron), dibintangi oleh Inneke Koesherawati, Rico Tampatty. Dan terakhir diangkat ke film televisi (FTV), dibintangi oleh Marshanda, (2014).
Saut merupakan orang pertama dari Batak yang menerima penghargaan Hadiah Sastra Rancage, tahun 2015. Satu lembaga yang didirikan Ajib Rosidi, menghargai para penulis berbahasa ibu.
Dalam bincang-bincang ini juga menjelaskan perkembangan sastra modern berbahasa Batak. Juga kisahnya, apa untung-rugi meninggalkan sastra nasional yang sudah hampir 40 dijalani sejak (1973-2012).
Lalu penjelasannya, bagaimana sambutan masyarakat Batak dan pemkab di Bona Pasogit? Selain itu, kegundahannya soal kekurangan minat baca masyarkat kita. Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. (www.suaratapian.com)