Ir. Kadiman Pakpahan, MM: “Kita Terlalu Memuji ‘Budaya Bungkus’ Sesungguhnya Itu Kebodohan”

suaratapian.com-Ir. Kadiman Pakpahan, MM, pemerhati kehidupan sosial ekonomi petani, dan pendengung perbaikan gizi dan pendapatan keluarga. Dalam rangka Hari Gizi Nasional ke-64 yang jatuh pada 25 Januari 2024 tim kami mewawancarainya terkait itu, bertepatan dia juga seorang Caleg DPRD Kabupaten Samosir, yang sering memberi bantuan di Samosir berupa telur dan penanaman sayur kelor yang dipercaya bisa mencegah stunting. Menurutnya, persoalan bangsa  ini bukan pembangunan fisik semata tetapi yang lebih utama pembangunan mental. “Kita terlalu memuji ‘Budaya Bungkus’ sesungguhnya itu kebodohan oleh tak mampu kritis berpikir. Tentu itu juga terkait asupan gizi dan pendidikan yang buruk,” sebutnya.

Dia justru menyangsikan Generasi Emas di Tahun 2045 yang berkualitas. Stunting, asupan gizi yang tidak seimbang berkaitan dengan risiko seseorang mengalami depresi. Sebaliknya, nutrisi yang baik juga secara signifikan mempengaruhi kesehatan mental. Lagi-lagi stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Lalu, kaitannya dengan suasana politik sekarang. Bahwa masyarakat terlalu sensitif melihat pemilihan presiden sekarang, kurang kristis oleh karena juga tidak bisa tidak dipengaruhi kemampuan nalar untuk memilah-milah dengan jernih. Hojot Marluga dari suaratapian.com mewawancarainya, demikian petikannya:

Bapak Kadiman Pakpahan seorang politisi dari PDI Perjuangan yang juga Caleg di Kabupaten Samosir, kami akan berbincang di suasana batin politik kita saat ini. Di beberapa hari ini kan ada blunder politik, termasuk rentannya debat calon wakil presiden yang ditingkahi juga presiden membuat statement, “presiden bisa ikut kampanye” ini juga dibicarakan di mana-mana oleh karena undang-undang tidak pernah menyebut, bahwa presiden yang tidak lagi mencalonkan diri bisa kampanye untuk satu pihak, tetapi kalau dia presiden yang masih mencalonkan, ada ruang yang mengatur, undang-undang. Apa tanggapan Anda?

Pertama, sebagai salah satu kader partai dan juga salah satu yang sedang memperjuangkan perbaikan mutu sumber daya manusia melalui gerakan sadar gizi, saya pribadi sejak dulu, tidak bisa melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang terjadi di bangsa ini, baik dari berbagai aspek sosial, budaya ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Kalau kita melihat akhir-akhir ini memang ada sesuatu perasaan yang miris lagi. Saya ini seorang anak pejuang, veteran. Saya sempat menerima wasiat dari orang tua, 30 hari sebelum dia meninggal. Pesankannya sebagai anak pejuang, sekecil apapun, berbuatlah yang terbaik buat bangsa dan negaramu ini, katanya. Jadi kalau kita amati memang keadaan akhir-akhir ini yang terkait dengan politik praktis, dimulai dari pencalonan, pencalonan presiden wakil presiden. Sebelum ada keputusan di MK itu, sebenarnya saya sudah melihat ada tanda-tanda akan ada pembangkangan dari kader PDI Perjuangan. Waktu itu saya lihat di di Solo, ada tulisan di baju tulisan “petugas parkir.”  Waktu itu sudah saya bilang sama teman-teman, sudah mulai ada tanda-tanda pembangkangan, ini. Waspada saja. Namun itu disebut bercanda, katanya. Terus berlanjut setelah kita amati pembangkangan ini, memang sudah dimulai dari hal-hal yang kecil, ada tanda-tanda, tetapi kadang-kadang orang masih menganggap karena euforia yang sangat-sangat yakin betul yang terbaik. Bagaimana sang idola ini tidak akan berubah. Jadi walaupun sebenarnya tujuh tahun yang lalu sebenarnya sudah saya warning. Belakangan banyak juga yang saya dapat informasi terutama dari yang tadinya sangat-sangat mengidolakannya rata-rata kecewalah dengan keadaan sekarang.

Jadi kalau kita lihat memang kita selalu bercitra bahwa hokum adalah panglima. Tetapi kalau kita melihat pergeseran-pergeseran yang terjadi akhir-akhir ini di era politik praktis yang sangat oportunis ini, saya melihat seolah-olah bukan hukum yang jadi panglima. Ini kelihatannya politik, karena bagaimana saya lihat akhir-akhir ini seperti yang diutarakan tadi, ketidakkonsistenan seorang kepala Negara. Sebelumnya dia katakan harus netral, tetapi belakang ini, kelihatan ada cawe-cawe sudah mulai terbuka. Jadi kalau dikatakan misalkan, presiden pejabat oleh kampanye segala macam sebenarnya ada aturan mainnya. Ambil cuti dululah. Jadi bekerja di luar tanggungan Negara. Tetapi kalau kita lihat kejadian beberapa hari yang lalu, dia resmi sebagai presiden mengutarakan sesuatu, seolah-olah ada tanda atau kode-kode tertentu mendukung paslon tertentu.

Kita merasa miris walaupun selalu ada yang membela begitu dengan berbagai alasan dalil, sebenarnya kembalikan ke undang-undang Pemilu. Kebetulan saya ini peminat sosial, sosiologi, psikososial, dari dulu selalu saya dengung-dengungkan itu. Keterbelakangan peradaban kita ini tidak terlepas dari perilaku-perilaku riil di tengah-tengah masyarakat kita di mana terlalu banyak kaum-kaum pengecut, pengkhianat dan munafik. Persoalan yang sangat-sangat mendasar ini terlihat sekali akhir-akhir ini, nampak sekali bagaimana kemunafikan itu terbangun. Bagaimana pengkhianatan itu terjadi dan sebagainya. Terus terang kita mirislah. Bagaimana penggunaan istilah-istilah yang tidak tepat gitu. Terus bagaimana gerakan-gerakan yang sifatnya itu, seah-olah ini kepentingan pribadi. Padahal itu uang Negara. Misalkan bantuan-bantuan Bansos, seolah-olah itu bantuan pribadi. Padahal itu dari APBN.

Jadi memang sudah terkebiri, ada istilah, makanya saya minta sama teman-teman yang lain, janganlah sekali-sekali mengkultuskan manusia, saya bilang karena jabatan kekuasaan itu sementara, tetapi putuskanlah perilaku-perilakunya, apakah dia bisa jadi negarawan, yang perlu diputuskan melahirkan seorang negarawan. Itu kira-kira yang bisa saya lihat. Cuman ada kebanggaan saya, apa yang membuat saya sumbringah ataupun terhibur oleh karena melihat situasi sekarang ini. Bagaimana seorang ibu Siti Atikoh Ganjar yang begitu gesit, yang tidak saya duga sebelumnya. Dia sangat smart, dia visioner. Dia idola yang benar-benar bisa diidolakan. Bukan basa-basi, tetapi seseorang yang benar-benar bisa dibanggakan, dan itu saya coba viralkan di berbagi media sosial, bagaimana seorang ibu ini berbuat dan mengundang perhatian kita. Saya rindukan sosok seperti ini, karena bagi saya itu masa depan negara ini sangat-sangat ditentukan oleh kekuatan ibu. Baik itu dari segi genetik ataupun dari segi manajemen. Dari segi genetik yang jelas ibu-ibu inilah yang melahirkan generasi penerus, dan dominan ibu-ibu menentukan kecerdasan generasi penerus. Ibulah arsitek jiwa. Jadi itu yang saya agak sedikit terhibur. Sebenarnya miris, sedih melihat situasi dan kondisi ini. Kalau kita melihat ke belakang, misalkan harga-harga melambung tinggi, nilai tukar hancur-hancuran. Bagi saya itu seolah-olah ini dipelihara, ketergantungan, jadi pada saat orang kesulitan kalau dibantu itu dianggapnya berjasa. Jadi inilah yang kadang-kadang saya duga-duga. Ini jangan-jangan dipelihara supaya kelihatan dia pahlawan kesiangan, atau bagaimana dengan memanfaatkan apa dan yang berikutnya. Saya melihat juga seolah-olah lembaga-lembaga yang ada di negara ini hanya dibentuk untuk kepentingan penguasa. Apa keinginan ataupun kemauan dia, bukan kemauan rakyat. Ini masih dugaan saya, ini mudah-mudahan nanti ada perbaikan ke depannya, kira-kira begitu.

Kadiman Pakpahan; Persoalan Bangsa Kita ‘Budaya Bungkus’ Bodoh Oleh Asupan Gizi & Pendidikan Buruk

Setahu kami, pak Kadiman penggiat gizi yang terus mendengungkan bagaimana gizi di kawasan Toba, terutama di Samosir memberi bantuan telur agar anak-anak tidak ada lagi stunting. Hubungannya dengan kecerdasan kemampuan kritis berpikir seseornag dengan jernih, hati yang lapang melihat segala sesuatu, kaitannya dengan Pemilu sekarang memang mayoritas kita di kawasan Toba di periode pertama itu tidak bisa tidak hampir di atas 90% semua kabupaten-kabupaten memilih Jokowi. Pemilihan sekarang ini disebut para ahli, pemilihan yang sangat kacau dan terjelek di sepanjang sejarah Indonesia. Sepertinya kalau kita melihat masyarakat Batak tidak juga dengan jernih melihat keadaan ini, masih juga melihat 5 tahun atau 10 tahun lalu, bahwa Jokowi masih yang dulu. Padahal, secara karakter dan sikap sekarang kita lihat perubahan, kita lupa, kita mendewakan seseorang yang dulu memang sederhana, tetapi kemudian oleh tahta atau singgasana membuatnya terpesona, dan tidak bisa membedakan bahwa konstitusi mengatur segalanya. Apa pendapat Pak Kadiman tentang itu?

Jadi begini. Kita mulai dari gerakan yang kita rintis sadar gizi, ini sudah memasuki tahun ketiga. Selalu saya teriak persoalan bangsa ini bukan infrastruktur, bukan tempat ibadah, bukan soal politik, soal hukum. Persoalan mendasar masyarakat ini kurang cerdas alias bodoh. Jadi persolan mendasar adalah kebodohan. Kalau kita bandingkan misalkan, kita startnya dengan Malaysia, boleh dikatakan Malaysia itu tingkat kecerdasannya masih di bawah kita, dulu, kan guru dan sebagainya masih dari kita. Sekarang, mereka sudah di atas 100, kita masih di bawah 80. Ini tentu kita coba melalui pendekatannya, ada pendekatan strategis, ada pendekatan taktis. Pendekatan strategis itu kita usahakan, bagaimana supaya ada perbaikan genetic. Ini ada ilmu genetiknya. Kedua pendekatan yang taktis, bagaimana asupan-asupan bergizi. Tetapi jangan salah-salah diplesetkan, saking semangatnya jangan berikan asam sulfat kepada ibu hamil, mati semua, yang jelas asam folat, begitu.

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

five × 3 =