Mengapa Begitu Sulit Berdiri Provinsi Tapanuli?
suaratapian.com-Sejak dulu kerinduan masyarakat Tapanuli adanya satu Provinsi agar masyarakat Batak bisa mempergunakan dan mengoptimalkan sumber daya manusia dan sumber daya alamnya untuk kesejahteraan masyarakat Batak, sehingga wilayah yang dicap peta kemiskinan ini bisa terhapus dari lebel miskin. Maka dengan adanya provinsi masyarakat Tapanuli dapat leluasa membangun, mengembangkan, dan memanfaatkan serta merawat kawasan Danau Toba sebagai kawasan tujuan pariwisata nasional dan internasional, dan dapat memberdayakan semua potensi yang tersedia agar cita-cita nasional, yakni masyarakat yang adil dan makmur. Sudah tentu itu dapat tercapai jika ada Provinsi Tapanuli. Selain itu, dengan adanya provinsi dapat mempercepat peningkatan pembangunan di kawasan tanah Batak.
Sejak tahun 2000-an kerinduan itu sudah dimulai berawal dari Kongres Batak yang dipusatkan di Tapanuli Utara. Dari sana kemudian bermunculan surat persetujuan dan dukungan dari bupati/wali kota dan DPRD Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Sibolga, Toba Samosir, dan Samosir pada 2002 dan Humbang-Hasundutan serta Nias Selatan pada waktu itu. Kemudian dilanjutkan surat dari DPR kepada presiden tentang usulan RUU tahun 2007.
Selanjutnya, ada surat persetujuan dan dukungan gubernur Sumatera Utara pada tahun 2008. Satu syarat lagi dibutuhkan rekomendasi dari DPRD Sumut. Namun jadi mengganjal saat surat rekomendasi dari DPRD Provinsi Sumatera Utara belum diberi, membuat masyarakat kemudian demo, dan berbuntut panjang, Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat meninggal.
Atas alasan itu juga Surat Presiden kepada DPR tentang 14 RUU termasuk RUU Provinsi Tapanuli atau disebut Amanat Presiden (Ampres) menugaskan Mendagri dan Menkumham untuk melakukan pembahasan dengan DPR. Sehari setelah peristiwa itu, SBY menyatakan, memberlakukan Moratorium pemekaran daerah otonomi baru.
Artinya diberhenti sementara pemekaran daerah baru. Namun sudah puluhan tahun moratorium itu belum dicabut dan itulah pengganjal lahirnya provinsi baru. Seharusnya melihat proses yang demikian panjang perjuangan untuk satu provinsi sudah semestinya Provinsi Tapanuli berdiri tahun 2010. Namun apa yang terjadi hingga sekarang tak jelas rimbanya.
Atas aksi itu Presiden SBY memoratorium pemekaran daerah. Artinya, pemekaran daerah khususnya provinsi yang sudah lama diperjuangkan seperti Provinsi Tapanuli pun menunggu dicabut moratorium. Tetapi herannya hingga sekarang pemerintah pusat malah memekarkan Papua menjadi lima provinsi, sedangkan nasib Provinsi Tapanuli yang sudah berpuluh tahun diperjuangkan tak jelas nasibnya.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan izin tiga provinsi baru di Papua. Beracu penjelasan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan, pemekaran wilayah di Papua bertujuan untuk mempercepat pembangunan, menjaga situasi keamanan, dan menampung aspirasi masyarakat. Lalu, pertanyaannya, sejak puluhan tahun orang Batak mengharapkan itu, percepatan pembangunan, kok tak diberi?
Mengapa amat sangat sulit Negara ini memberi satu Provinsi bagi tanah Batak? Sesulit apakah kebijakan, administrasi sebagai syarat pendirian satu provinsi? Apakah SDM Batak tak mampu mengelola satu provinsi? Atau, apakah hanya karena moratorium? Jika hanya karena moratorium, bukan itu hanya soal keberpihakan dan kebijakan pemerintah, atau jangan-jangan ada hal lain? Atau, orang Batak tak punya militansi dan tak punya posisi tawar, dan elit-elitnya memang tak peduli dengan kerinduan itu? Entahlah!
Hojot Marluga adalah seorang jurnalis, penulis buku dan juga motivator. Penerima Certified Theocentric Motivator (CTM), dan juga Sekretaris Umum Forum Jurnalis Batak (FORJUBA), sebelumnya Wakil Ketua Umum Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA).