Prof. Dr Hotman M. Siahaan: Tantangan Orang Batak Ke Depan Bagaimana Meningkatkan Kualitas Punguan (Organisasi)
Notice: Undefined index: margin_above in /home/suaratap/public_html/wp-content/plugins/ultimate-social-media-icons/libs/controllers/sfsiocns_OnPosts.php on line 652
Notice: Undefined index: margin_below in /home/suaratap/public_html/wp-content/plugins/ultimate-social-media-icons/libs/controllers/sfsiocns_OnPosts.php on line 653
suaratapian.com-Bagaimana orang Batak merawat dirinya? “Sesungguhnya dibutuhkan pandangan kristis untuk mereduksi konsep hamajuaon dan harajaon itu apabila orang Batak ingin bersikap cerdas dalam menghadapi arus hamajuon negara di era reformasi ini. Apabila di dalam pusaran arus globalisasi yang harus diterangkan dari segi deteritorial yang terjadi di segala bidang, ekonomi, politik maupun sosial…,” demikian kata Prof. Dr Hotman M. Siahaan.
Hojot Marluga mewawancarai Guru Besar Universitas Airlangga, Surabaya. Demikian petikannya:
Bagaimana melihat Batak dan kekristenan di tanah Batak hubungannya dengan hamajuon?
Sikap manusia terhadap kebudayaan pada umumnya ada dua. Pertama sikap yang memandang kebudayaan sebagai kata benda, dan kedua, sikap yang memandang kebudayaan sebagai kata kerja. Pada sikap yang pertama, yang memandang kebudayaan sebagai kata benda, manusia itu pada dasarnya hanyalah sekedar resipient. Hanya menerima kebudayaan sebagai warisan leluhur yang harus dipertahankan. Akibatnya manusia atau masyarakat pendukung kebudayaan tersebut menjadi cenderung konservatif, sulit menerima perubahan. Sedangkan pada sikap yang kedua, yang memandang kebudayaan sebagai kata kerja, maka manusia itu adalah agen kebudayaan, yang dalam posisinya sebagai agen, akan memandang kritis terhadap kebudayaan yang ada untuk dijadikan pedoman untuk menjawab tantangan zaman.
Apakah sekarang ini kebudayaan masih mampu menjawab tantangan yang ada?
Apabila dianggap kebudayaan yang ada tidak lagi mampu dijadikan dasar untuk menjawab tantangan perubahan atau tantangan zaman, maka kebudayaan tersebut akan diperbaharui, diubah, diadaptasikan sesuai dengan tantangan yang ada demi meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan sikap yang sedemikian ini, maka manusia atau masyarakat pendukung kebudayaan tersebut bersifat lebih emansipatoris, terbuka terhadap perubahan dan inovatif namun tanpa harus kehilangan karakteristik serta substansi dan kepribadian dari kebudayaan itu.
Beberapa kali Anda menyebut ‘Inovasi Kebudayaan’ apa maksudnya?
Inovasi kebudayaan adalah sikap yang selalu mencari temuan-temuan baru, pikiran-pikiran baru, nilai-nilai baru, yang bisa menjawab tantangan perubahan yang ada. Inovasi kebudayaan adalah perubahan pada nilai-nilai budaya yang mampu menjawab atau memberi respons yang setimpal terhadap challanges, tantangan yang ada secara terus menerus demi peningkatan kualitas kehidupan manusia dalam konteks humanisasi.
Orang Batak selama ini dalam memperlakukan budayanya, bagaimana Anda melihatnya?
Dalam pengamatan saya, perilaku orang Batak selama ini dalam memperlakukan budayanya berada dalam sikap ambivalensi, antara sikap sebagai resipien, memandang budaya sebagai kata benda, dan sikap sebagai agen, memandang budaya sebagai kata kreja. Untuk hal-hal yang menyangkut adat-istiadat, kebanyakan orang batak bersikap resipient, memandang adat sebagai warisan leluhur yang tidak bisa diubah, meski hanya pada tataran ritualistik dalam upacara adat perkawinan misalnya, hingga sangat bertele-tele dan seringkali menjemukan.
Soal kemajuan budaya ditinggalkan…?
Kemajuan tidak bisa dihadang, tidak bisa ditolak, tetapi harus diterima sebagai keniscayaan sejarah. Supaya orang Batak tidak tergerus kemajuan, maka orang Batak harus mempraktekkan atau menjalankan budayanya dengan sikap emansipatoris, memandang budaya sebagai kata kerja, hingga orang Batak bukan sekedar resipient dari budaya Batak, tapi sebagai agen kebudayaan Batak.