Tokoh Gereja GPI, Pribadi yang Halus dan Pendoa Itu Telah Kembali ke PangkuanNya
Suaratapian.com-Malam ini saya baru tahu amang pendeta Pdt. Dr. J Manurung, MTh, Sekretaris Jenderal Gereja Pentakosta Indonesia (GPI) telah dipanggil Tuhan, pada Selasa, 1 Desember 2020 di Pematang Siantar. Meninggal karena sakit, infeksi paru. Sakitnya ini jauh sebelum wabah pandemi corona merebak, sebelumnya sudah sering dirawat. Hanya kurang dua minggu lagi genaplah usianya 80 Tahun. Almarhum lahir, 13 November 1941. Memulai pelayanan sebagai guru agama, pegawai negeri, jadi pendeta hingga menjadi Sekjen GPI, gereja pentakosta yang lahir di tanah Batak. Sebenarnya, dulu keinginannya untuk masuk ke fakultas hukum ingin jadi pengacara. Tetapi, karena harapan kedua orangtuanya, Gr W Manurung dan T boru Ambarita ingin anaknya menjadi guru.
Bagi saya pribadi, yang terkenang dari pak J Manurung khasnya dalam berdoa. Tuturan doanya istimewa, terasa khas saya dengar. Saya simak betul-betul. kedengarannya antik. Partikularnya spesial. Saya sedengkan telinga ini terus jika dia berdoa. Serasa lucu, tetapi bukan. Replika ucapan doanya kira-kira begini: “Terpuji-pujilah engkau yang maha Kudusssssss…. Tuhan Yesus, sertai kamiiiiiii…. Sebab engkaulah yang punya kuasaaaaaaa….. Oleh pertolonganmulah ini semua bisa jadiiiiiiiiiii…”Dari rangkaian kata doa tadi diserukan dengan semangat yang antusias. Setiap rangkaian kata di akhir kalimat disampaikan dengan panjang. Sejujurnya waktu baru mendengar, saya tersenyum-senyum sebab terasa lucu. Bunyinya bertempo, crescendo. Makin lama makin keras. Ketepatan tempo suara panjang itu, unik, menghasilkan sesuatu yang tak biasa didengar. Itulah tampilannya kalau berdoa. Kalau berdoa khusuk.
Sebagaimana tradisi marsinggang di GPI, menghadap ke belakang lalu berlutut di depan kursi duduk, itulah salah satu tradisi orisinil yang melekat di GPI sampai sekarang ini. Hal itu digelar tentu untuk lebih khusuk lagi. Di beberapa gereja GPI yang ada di kota, seperti di GPI Kota Wisata menggunakan alas bantal yang dirancang khusus menahan lutut, saat berlutut tak pegal, berdoa pun makin khusuk. Menurut J Manurung soal hal ini, sejak masih muda sudah biasa marsinggang, menyampaikan seluruh isi hati kepada Tuhan. “Ingkon marsinggang do hita pasahathon sude nadirohanta on.” Jika dialihbahasakan, kita mesti berlutut menyampaikan seluruh kegundahan isi hati pada Tuhan.
Memang, jika keliru menafsirkan, seperti saya di awal-awal, seperti terkesan kuno, tradisional, bahkan serasa usang. Padahal jika makin menikmati lebih dalam, hal itu sesuatu yang amat antik, distingtif dari seorang hamba Tuhan. Khas, dan tak biasanya. Pernyataan itu makin kuat setelah tahun 2014, saya diminta menulis biografi dari pendiri Gereja Pentakosta Indonesia Ev Renatus Siburian, walau belum terbit. Tentulah karena itu, saya harus sering wawancara beliau. Makin pekatlah pengenalan saya terhadap beliau.
Waktu itu, saya ke Pematang Siantar untuk mewawancarainya. Bahkan, menginap semalam di rumahnya di Jalan Balige, kawasan Kampung Kristen, sebelum besoknya berangkat ke Kecamatan Paranginan, Kabupaten Humbang Hasundutan, kampung asal dari pendiri Gereja Pentakosta Indonesia Ev Renatus Siburian, melanjutkan penelusuran sejarah GPI. Tentu, yang saya ingat, kami berbincang-bincang mulai menjelang malam hingga pagi. Saking asiknya bercerita dengan beliau, tak terasa seperti wawancara. Tak kaku. Walau, tentu hampir semua perbincangan dalam bahasa Batak. Malah yang terjadi perbincangan yang panjang lebar. Bahkan, seperti kata orang Jawa jadi ngalor-ngidul, percakapan menyerempet ke mana-mana.
Ciri khasnya tadi, tak pernah lupa berdoa. Berdoa sebelum wawancara, bahkan setelah selesai bertanya-jawab pun, mesti berdoa. Dan lagi, ciri suaranya berkumandang lagi, merebak, memecah sunyinya malam. Maka tentu, pengalaman-pengalaman sekitar setengah abad lebih melayani tentu tandas membawa keahlian dan kemahirannya mencecap hidup dan dalam melayani jemaat, bahkan dalam berdoa dan menabur firmanNya. Sebagai penulis, saya melihat inti dari sikap hidupnya adalah: “Doanya adalah khotbahnya. Jika dibolak-balik pun khotbahnya adalah doanya. Jika diplintat-plintut pun ciri khasnya ada dalam berdoa.”Sebagai hamba Tuhan yang telah berjibun mengecap asam garam kehidupan, beliau alih-alih mengatakan, doa adalah kekuatan.
Frasa berdoa dan bekerja (melayani) yang dalam bahasa Latin ora et labora, berdoa dan bekerja. Tentu saja, sebagaimana sikap imannya, berdoa bisa mengubah segala sesuatu yang tak baik menjadi baik. Yang sakit disebuhkan, yang berbeban berat dihiburkan. Dari hal yang sulit menjadi mudah dan seterusnya.Menurutnya, jikalau kita serius menggunakan kekuatan doa, kita tentu tak perlu khawatir akan hidup ini. Karena berdoa dengan yakin memohon, kekuatannya amat dahsyat. Doa yang dengan tulus disampaikan, itu memiliki kekuatan serta daya ubah yang sangat luar biasa. Sebagaimana pesannya, hamba Tuhan mesti banyak berdoa, bukan hanya untuk dirinya dan keluarganya. Hamba Tuhan juga mesti mengingatkan untuk setiap anggota jemaatnya, mesti berdoa syafaat senantiasa.
Sebagai orangtua yang telah bertimbun menelusuri berbagai liku jalan, baik terjal atau jalan penuh berbatu di kehidupan, J Manurung yang didalilnya dari waktu ke waktu. Dalam ekabahasanya, tak ada kata putus asa, bahkan meratapai keadaan. Tak ada kata penyesalan dalam kamusnya. “Saya orang yang punya padangan tak ada artinya menyesal.” Maksudnya? Menyesali yang sudah lalu. Sebagai manusia, tentu penyesalan bisa sebagai bagian untuk perbaikan diri, tetapi tak sedikit orang jadi terjebak di ruang penyesalan.
Lagi-lagi bagi J Manurung menyesal, sama dengan menggerutui pengalaman masa lalu. Tak ada memberi dampak berguna bagi kehidupan. Selain itu, dia juga sosok yang selalu care, peduli pada orang lain terutama orang-orang yang membutuhkan uluran tangannya. Walau sudah sepuh, dia masih antusias bergerak, bahkan terkesan amat enerjik, dan lincah untuk membantu. Dia juga bukan orang yang mengumbar kemarahan.
Tentu, dia paham ada waktunya marah tetapi kemarahan bukan untuk diumbar, harus terukur dan terkendali. Relatif dia sering melatih untuk mengontrol emosi daripada langsung meluap tanpa bisa dibendung. “Kalau marah marahlah pada waktunya.” Bisa menaklukkan diri sendiri, membawa kemenangan yang paling akbar, sebagaimana filsuf mengatakan, marah pada waktu yang tepat. Lalu karakternya, bertahwakal, panjang sabar itu juga menonjol dalam dirinya.
Dia juga bukan tipe pendendam, tetapi pemaaf. Banyak hal yang secara pikiran manusia wajar mendendam, karena berkali-kali dikriminalisasi oleh orang yang tak suka dirinya, tetapi tak pernah membuatnya putus pengharapan, dan jalan terbaiknya memaafkan, dan membangun komunikasi. Jiwa pelayan itu sudah merasuk jiwanya. Oleh karena itu, jika ada satu pekerjaan pelayanan yang sedang dituaikan segera, baginya mesti dikerjakan secara tuntas. Sebagaimana yang diucapkan Paulus, oleh dia menyadari hidup adalah Kristus mati adalah keuntungan.
Misalnya, saat buku itu dalam penulisan, dia sedang menggelar kunjungan di pula Nias. Di Nias sendiri sudah ratusan GPI berada. Waktu itu, ada anggota keluarganya meninggal. Suami dari adik iparnya, marga Sinambela. Tetapi, oleh karena pelayanan, dia tetap saja menyelesaikan tugas, dan menyuruh istrinya, Bertha boru Rajaguguk terlebih dulu pulang. Sedangkan dirinya masih terus menuaikan pelayanan yang memang jauh-jauh hari sudah dijadwal. Bagi sebagian orang itu barangkali dianggap berlebihan. Tetapi, sesungguhnya itu semua termanifestasi oleh komitmennya, demi pelayanan gerejaNya, sebagai sekjen, tak mau mengecewakan jemaat yang sudah lama mendamba kehadirannya.
Maka mesti dituntaskan dulu pelayanan itu, baru kemudian dia pulang. Sebab dalam benaknya, keluarganya telah meninggal sudah tak mungkin lagi hidup kembali. Jadi tak ada urgensinya dia buru-buru pulang hanya untuk melayat, menyaksikan orang yang sudah meninggal. Almarhum adalah tipe orang yang teguh pendirian pada pelayanan. Pemimpin yang giat sedia dalam pelayanan, bahkan terkesan emosional dan posesif jika sudah menyangkut kata pelayanan. Dia suka bekerja keras dan perfeksionis, dan berhati halus.
Juga tak boleh dilupakan, dia sangat dermawan, penuh kasih dan selalu membela kaum yang lemah. Sebagai pribadi yang penuh etika dan berpegang teguh pada peraturan yang diyakini dalam hidup. Sikapnya yang penuh jiwa penolong, setia membuat orang yang mengenalnya merasa beruntung berada di dekatnya. Dia juga bertipe orang yang selalu menepati janjinya dan jarang menarik kembali kata-kata yang telah terucap. Bila iya, maka dia akan menunjukkan sikap itu.
Simpul dari semua harapannya, dirinya ingin Tuhanlah yang makin besar di hidupnya. Sebab memang sepantasnya Dialah yang harus semakin besar dan kitalah mesti semakin kecil. “Saya mau Tuhanlah yang makin dimulikan. Sebab Dia besar. Dan kita makin kecil.” Dan, memang seturut firman Tuhan, patutnyalah manusia mengatakan itu. “Dia makin bertambah, diri kita makin kurang.” Sebab Tuhanlah yang mesti makin dimuliakan. Intinya: Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus bertambah-tambah dan kita makin tiada. “Sebab Dia sumber yang ada makin berada di hidup kita. Sementara, kita yang dicipta dari tiada, menjadi ada, dan mau tiada, sebab memang pada waktunya kelak menjadi tiada.” Dia telah mengerjakan tugasnya hingga finish.
Turut berdukacita yang mendalam lae @Douglas Manurung atas dimuliakan Tuhan amang Pdt. Dr. J. Manurung, Sekjen GPI dan tokoh gereja yang rendah hati. Orangtua yang bijaksana dan selalu antusias mengajar dan memberi teladan hidup. Saya pribadi bersyukur kenal beliau. Banyak hal yang perlu ditiru dari teladan hidup beliau. Di masa senja beliau tetap kuliah, mau belajar dari junior juniornya di STT Renatus, sekolah dibawah naunga Sinode GPI, di Jalan Asahan, Pematang Siantar. Alamarhum orang berkomitmen. Tokoh GPI yang mendukung dan membantu pelayanan Ketua Sinode GPI, Rev. DR. M.H. Siburian, M.Min yang setia. Tak suka menonjolkan diri. “TUHAN ALLAH BESAR, aku kecil.” Demikianlah ucapannya kepada saya, dan itulah dipraktikan dan dihidupi, melayani hingga hayat.
Sebagai jemaat HKBP, saya banyak belajar dari tokoh tokoh GPI ini, seperti amang Manurung dan amang Siburian. Saya jadi terkenang, dua kali tidur di rumahnaya di Kampung Kristen, Pematang Siantar, bagaimana almarhum dengan sabar melayani pertanyaan-pertanyaan saya waktu mengumpulkan bahan untuk bukunya (naskah buku sebenarnya sudah selesai, hanya disegaja tak diterbitkan menunggu momen yang tepat). Saya masih tetap terbeban agar buku itu kelak bisa terbit, buku itu bisa lebih leluasa menceritakan kisahnya. Bagaimana konsistensinya melayani di GPI.
Saya pun masih ingat ketika kami ke Desa Motung, Parapat, dimana almarhum dilahirkan. Saya dibawah ke kampungnya itu persis di atas bukit, di pinggiran Danau Toba untuk menceritakan masa-masa kecilnya. Sepanjang perjalanan, pergi hingga pulang sehari penuh, dari Pematang Siantar ke Parapat, beliau begitu bersemangat mengisahkan masa lalu di Motung. Kepergiannya, saya tak bisa sebut apa lagi. Harapan saya kiranya Tuhan Yesus Kristus memberikan penghiburan bagi semua keluarga, terutama namboru (boru Rajagukguk) saya sebut namboru, karena kami sama-sama dilahirkan boru Siburian. Tuhan pasti memberi yang terbaik bagi keluarga. Secara manusia, kita masih sangat membutuhkannya, tetapi Dia yang lebih tahu. Tuhan lebih tahu apa yang terbaik bagi kita, daripada kita tahu yang terbaik untuk kita. (Hojot Marluga)