Dr. Ronald Simanjuntak: Perpu Perlindungan Umat Beragama, Kunci Kebebasan Beragama
Suaratapian.com-Baru-baru ini terjadi pelarangan Ibadah di Citra Graha Permai, Cibinong. Tentu ini mengkhawatirkan. Pendeta Niky, pemimpin ibadah di Perumahan Citra Graha Permai, Cibinong, mengungkapkan kekecewaannya atas pelarangan ibadah di lingkungan tersebut. Meskipun telah menyampaikan nota ke RT setempat, akses ibadah tetap dibatasi. “Kami hanya ingin beribadah dengan damai, namun malah dihalangi,” ujar Pendeta Niky. “Negara kita menjunjung hak asasi manusia, tapi mengapa kami dihalangi melakukan hal baik?”
Pendeta Niky menegaskan, bahwa ibadah tersebut tidak menyebabkan gangguan dan bahkan berdampak positif bagi lingkungan. “Saya selalu mendoakan keselamatan jiwa warga Cipta Graha Permai Emerald City,” tambahnya. Tentu ini terjadi karena sesungguhnyat tak ada perlindungan kebebasan beragama di Indonesia.
Padahal, sudah puluhan tahun lalu usulan penghapusan rekomendasi pendirian rumah ibadah dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang telah dituangkan dalam rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Rancangan ini bertujuan mempermudah proses pendirian rumah ibadah, yang selama ini dibatasi oleh peraturan bersama dua menteri tahun 2006.
Peraturan tersebut mempersyaratkan rekomendasi dari dua institusi, yaitu Kantor Kemenag dan FKUB. Namun, SETARA Institute mendukung penghapusan syarat rekomendasi FKUB karena dianggap tidak kompatibel dengan tata kebinekaan Indonesia.
Menurut Dr. Ronald TA Simanjuntak, penghapusan syarat tersebut sesuai dengan UUD Pasal 28 dan 28E ayat 2 yang menegaskan hak kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia. Dia menekankan, bahwa setiap orang bebas menyelenggara agama dan kepercayaannya.
Rancangan Peraturan Presiden ini masih menunggu persetujuan dari Sekretariat Negara. Sementara itu, berbagai pihak mendesak revisi peraturan bersama dua menteri tahun 2006 untuk memperluas kebebasan beragama di Indonesia.
Dr. Ronald TA Simanjuntak SH MH menyatakan, bahwa permasalahan pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan beragama belum terwujud dalam Undang-Undang yang memadai. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah Undang-Undang Pelindungan Umat Beragama, bukan hanya Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama.
Dia mencontohkan kasus gereja di Karimun yang sudah berdiri selama 92 tahun, namun masih mengalami perlawanan dari masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa keberagaman masih belum sepenuhnya dihormati dan dilindungi.
Dr Ronald juga menyatakan, bahwa pencabutan rekomendasi FKUB dari syarat pendirian rumah ibadah tidak tepat, karena akan menciptakan kekosongan hukum dan potensi konflik. Ia menyarankan agar Presiden mengambil langkah tegas dengan membuat Peraturan Presiden (Perpu) tentang Perlindungan Umat Beragama.
Selain itu, Ronald mengkritik persyaratan 60 dan 90 tanda tangan warga dan anggota tempat ibadah sebagai syarat pendirian rumah ibadah, karena dianggap sulit dan membatasi kebebasan beragama.
Ronald juga menyatakan, bahwa tidak cukup hanya FKUB yang ditiadakan, SKB itu harus dicabut dan diganti setidak-tidaknya menjadi Perpres tentang Perlindungan Umat Beragama. Untuk hal ini Presiden harus berindak tegas karena kebebasan memeluk agama dan menlaksanakan ibadah menurut agamanya itu adalah amanat konstitusi. Selanjutnya, hal kebebasan memeluk agama dan melaksanakan ibadah menurut agamanya itu sesungguhnya sudah dengan tegas diatur dalam UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Kebebasan beragama dan melaksanakan ibadah menurut agama adalah salah satu hak manusia yang paling dasar.
Selain itu, Ronald juga mengkritik bahwa persyaratan 60 dan 90 tanda tangan warga dan anggota (jemaat) tempat beribadah yang merupakan syarat pendirian rumah ibadah adalah tidak tepat karena hal itu akan menimbulkan masalah baru,dimana anggota masyarakat akan semakin terkotak-kotak, karena mereka akan mencari tempat ibadah di tempat yang beragama sejenis (sama). Hal ini bertentangan dengan tujuan konstitusi itu sendiri yang seharusnya setiap anggota masyarakat bisa menerima masyarakat yang berbeda dengan tanpa melihat latar belakang SARA, disitulah sesungguhnya akan teruji kedewasaan toleransi masyarakat tersebut, bisa menerima masyarakat lain yang berbeda dengan dia (pembauran).