Seruan Penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) Semakin Kuat Dianggap Telah Melakukan Pelanggaran Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Suaratapian.com-Panitia Doa Bersama HKBP telah menyelenggarakan seminar pertama “Selamatkan Tano Batak, Lestarikan Danau Toba” pada 19 Juli 2025 di HKBP Sudirman Jakarta Selatan. Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya melestarikan lingkungan hidup, khususnya Danau Toba yang terancam oleh aktivitas perusahaan seperti PT Toba Pulp Lestari (TPL). TPL dituding telah menyebabkan kerusakan parah pada lingkungan sekitar, termasuk penggerusan hutan dan perampasan tanah adat. Perusahaan tersebut juga dituduh menghindari pajak dengan melaporkan laba operasional yang negatif dan utang yang menggunung. Danau Toba yang menyandang status UNESCO Global Geopark kini dalam ujian ulang oleh asesor internasional, dan jika gagal mempertahankan status tersebut, dunia akan menyaksikan bagaimana warisan geologi terbesar Asia Tenggara itu dihancurkan.

Ketua Panitia, St. Dr. Leo Hutagalung, menyatakan bahwa seminar ini akan menjadi ajang buka-bukaan untuk melihat kerusakan Danau Toba dari berbagai perspektif dan akan dibukukan sebagai rujukan bagi pemerintah. Sebelumnya, Menteri Agama, Nasaruddin Umar, juga telah menyatakan kesepakatan dengan Ephorus HKBP untuk melestarikan alam, termasuk Danau Toba, dan mengajak masyarakat untuk menjaga lingkungan hidup.

Operasi PT Toba Pulp Lestari (TPL) memang telah menuai penolakan dari masyarakat dan pemerintah sejak awal. Pada tahun 1980-an, tiga menteri menolak pemberian izin HTI pada PT TPL, yaitu: Emil Salim (Menteri Lingkungan Hidup), A.R Soehoed (Menteri Perindustrian), Soeryono Sasrodarsono (Menteri Pekerjaan Umum.

Penolakan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain operasi TPL dianggap merampas tanah masyarakat adat Batak, yang merupakan bagian dari identitas dan kehidupan mereka. Lokasi operasi TPL berada di hulu Sungai Asahan, yang dapat berdampak pada lingkungan di daerah hilir, termasuk DAM Siruar, Sigura-gura, dan Tangga yang menjadi penyedia listrik bagi masyarakat. PT TPL tidak memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum menjalankan operasinya, yang merupakan pelanggaran ketentuan hukum.

Penolakan terhadap TPL juga datang dari berbagai pihak, termasuk seluruh anggota DPRD Samosir mendukung penutupan TPL dan menolak menerima CSR dari perusahaan tersebut. Masyarakat adat Batak telah melakukan perlawanan terhadap TPL selama 25 tahun dan menuntut penutupan perusahaan tersebut. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan United Evangelical Mission (UEM) juga telah menyuarakan penolakan terhadap TPL dan mendukung penyelamatan lingkungan Danau Toba.

Dalam beberapa waktu terakhir, seruan penutupan TPL semakin kuat dengan munculnya tagar #TUTUPTPL di media sosial dan aksi demonstrasi di DPRD Tapanuli Utara.  PT Toba Pulp Lestari (TPL) telah melakukan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius. Ada beberapa temuan yang disampaikan oleh Rocky Pasaribu, Direktur KSPPM: Operasi Ilegal. PT TPL telah beroperasi secara ilegal di lahan seluas 33.458,59 hektar selama 29 tahun (1992-2021), yang menyebabkan kerusakan hutan-hutan di Toba.

Operasi PT TPL telah menyebabkan konflik dengan 23 komunitas Masyarakat Adat, karena tumpang tindih dengan wilayah adat. Masyarakat Adat yang mempertahankan hak atas tanahnya direpresi oleh PT TPL, yang merupakan pelanggaran HAM yang serius. Temuan ini menunjukkan bahwa PT TPL telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM yang berkepanjangan, dan telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang serius. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan tegas untuk menghentikan operasi PT TPL dan memulihkan hak-hak Masyarakat Adat yang telah dilanggar.

Temuan KSPPM dan pernyataan Adrian Rusmana menunjukkan bahwa operasi PT TPL telah menyebabkan dampak negatif yang signifikan, baik secara sosial maupun lingkungan. Berikut adalah beberapa temuan yang disampaikan: Dampak terhadap Masyarakat: 260 orang dikriminalisasi, 208 orang dianiaya, dan 2 orang meninggal karena mempertahankan tanahnya. Dampak Lingkungan: 33 orang meninggal dalam bencana ekologis akibat operasi PT TPL, serta kerusakan daerah aliran sungai, erosi, kekeringan, dan kerusakan biodiversitas.

Operasi PT TPL bertentangan dengan prinsip Environmental Social Governance (ESG) yang menjadi landasan perusahaan dalam beroperasi. Saham PT TPL lesu, yang dapat berkonsekuensi pada investor, serta banyak temuan pelanggaran hak-hak pekerja TPL.

Adrian Rusmana menekankan bahwa perlu segera dilakukan evaluasi dalam operasi PT TPL, terutama dampak sosial dan lingkungan. Operasi PT TPL ternyata tidak sehat bagi internal perusahaan maupun eksternal, sehingga perlu dilakukan tindakan tegas untuk mengatasi masalah ini.

Kawasan Danau Toba memiliki potensi besar sebagai Geopark, namun keberadaannya juga menambah kompleksitas masalah yang dihadapi oleh Masyarakat Batak. Togu Santoso Pardede, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Kementerian PPN/Bappenas, menyatakan bahwa Geopark seharusnya dapat menjadi solusi dalam pengelolaan lingkungan Kawasan Toba dan berdampak pada perbaikan ekonomi masyarakat sekitar.

Agenda ini diinisiasi oleh beberapa organisasi HKBP, Kelompok Studi dan Pengembangan Pemrakarsa Masyarakat (KSPPM), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK), Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS). Dengan kerja sama antara organisasi-organisasi ini, diharapkan dapat ditemukan solusi yang tepat untuk mengelola Kawasan Danau Toba secara berkelanjutan dan berdampak positif pada masyarakat sekitar.

Seruan dari Jurnalis

Selain itu, Forum Jurnalis Batak (FORJUBA) juga menggelar konfrensi pers  pada Jumat, 25 Juli 2025. Pukul 12.00 wib. Bertempat di Resto Codian, Mayasari, Jakarta Timur. Hadir puluhan jurnalis menyuarakan keprihatinan tentang dampak negatif PT Toba Pulp Lestari Tbk (PT TPL) di Tanah Batak, Sumatera Utara; serta mendukung sepenuhnya seruan Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pdt Dr Victor Tinambunan (Sabtu, 17/5/2025) untuk menutup pabrik pulp PT Toba Pulp Lestari (TPL) tersebut, sebab, keberadaan perusahaan itu telah mengakibatkan dampak ekologis yang serius bagi Tanah Batak dan kawasan Danau Toba. TPL telah mengakibatkan kondisi sekitar Tanah Batak saat ini sudah sangat krisis akibat perusakan alam dan kelestarian lingkungan serta merugikan masyarakat.

Ephorus HKBP beserta berbagai eleman masyarakat telah berulangkali menyerukan supaya TPL jangan merusak lingkungan dan menyerobot hak-hak ulayat masyarakat tapi sejauh ini tak pernah direspon dengan pantas oleh TPL. Bahkan HKBP sudah 4 kali melaksanakan doa bersama ribuan warga dan melakukan arak-arakan menyampaikan aspirasi untuk memperjuangkan kelestarian ciptaan Tuhan kawasan Danau Toba yang menjadi kebanggaan masyarakat Batak. Tapi aspirasi tersebut tampak tidak ditanggapi serius oleh TPL.

Ketua Dewan Pengawas FORJUBA, Drs. Ch Robin Simanullang menyebut, seharusnya perusahaan ini memilikinya tanggung jawab untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Namun, PT TPL faktanya justru sangat merusak ekologi Danau Toba, Sehingga Ephorus HKBP dan Pimpinan Gereja-Gereja lainnya di Sumatera Utara beserta berbagai elemen masyarakat berulang kali menyampaikan aspirasi perbaikan namun tidak dipedulikan dan akhirnya menyampaikan seruan dan tuntutan untuk ditutup karena dampak negatifnya terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

“Kerusakan alam dan gangguan keseimbangan ekosistem merupakan konsekuensi serius yang perlu ditangani dengan segera. FORJUBA sebagai wadah jurnalis Batak, memiliki kepedulian dalam mengawal isu-isu lingkungan dan sosial, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam,” sebutnya.

PT TPL diduga telah memanfaatkan konsesi yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan untuk melakukan praktik-praktik yang merugikan lingkungan dan masyarakat. Dampak negatif yang timbul dapat berupa kerusakan hutan, pencemaran lingkungan, dan gangguan terhadap hak-hak masyarakat adat. Kritik terhadap PT TPL menunjukkan pentingnya pengawasan dan penegakan hukum yang efektif untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sektor kehutanan mematuhi peraturan dan tidak merugikan masyarakat dan lingkungan.

Sementara itu, Ketua Harian FORJUBA, Hotman J Lumban Gaol STh (Hojot Marluga) mengatakan, tuntutan untuk menutup PT TPL karena dampak negatifnya terhadap lingkungan dan sosial merupakan langkah yang mungkin perlu dipertimbangkan. Dengan menutup PT TPL, diharapkan dapat mengurangi atau menghentikan kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang merugikan masyarakat sekitar. Namun, perlu dilakukan analisis lebih lanjut tentang kemungkinan dampak penutupan PT TPL terhadap ekonomi dan masyarakat, serta mencari solusi alternatif yang dapat meminimalkan dampak negatif sambil tetap mempertimbangkan kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat.

“Oleh karena itu FORJUBA menyuarakan keprihatinan serius tentang dampak negatif PT Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar Danau Toba. Tuduhan perusakan lingkungan, konflik sosial, dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat menjadi alasan utama untuk menutup TPL. Dampak negatif yang signifikan, seperti deforestasi, pencemaran air dan udara, konflik sosial, dan ketidakadilan ekonomi, menunjukkan bahwa keberadaan TPL telah merugikan masyarakat dan lingkungan,” ujarnya.

Bagi FORJUBA penutupan TPL dapat menjadi solusi untuk mengatasi dampak negatif tersebut dan menyelamatkan lingkungan serta hak-hak masyarakat adat. Namun, perlu dilakukan analisis lebih lanjut tentang kemungkinan dampak penutupan TPL terhadap ekonomi dan masyarakat, serta mencari solusi alternatif yang dapat meminimalkan dampak negatif sambil tetap mempertimbangkan kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat.

Dalam hal ini, penting untuk mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat dan kebutuhan lingkungan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, penutupan TPL dapat menjadi langkah yang tepat untuk melindungi lingkungan dan masyarakat sekitar Danau Toba.

TPL menghadapi tekanan besar untuk ditutup karena dampak negatifnya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar Danau Toba. Kerusakan lingkungan, konflik sosial, ketidakadilan ekonomi, dan pelanggaran etika serta hukum menjadi alasan utama penutupan TPL. Proses penutupan TPL memerlukan pendekatan yang hati-hati dan melibatkan semua pemangku kepentingan untuk memastikan keadilan dan keberlanjutan.

Karena itu, seruan FORJUBA pemerintah pusat memiliki peran penting dalam proses ini, termasuk pencabutan izin usaha dan penegakan hukum terkait pelanggaran yang terjadi. Namun, penutupan TPL juga harus mempertimbangkan kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial masyarakat sekitar.

Dalam proses penutupan TPL, penting untuk memprioritaskan keadilan dan keberlanjutan, serta memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dan lingkungan dilindungi. Dengan demikian, penutupan TPL dapat menjadi solusi yang tepat untuk melindungi lingkungan, hak-hak masyarakat, dan keadilan sosial di kawasan Danau Toba.

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 + ten =