Menghargai Sikap Jokowi Yang Menolak Tiga Periode

Penulis : Andi Salim

Suaratapian.com-Banyak di antara kita yang menginginkan agar Jokowi menjabat Presiden tiga periode. Hal itu memang keinginan yang disampaikan dari masyarakat yang menyuarakan demikian, namun apalah daya, bagi kita semua, sebab terdapat fakta hukum dari UUD-45 yang menegaskan persoalan masa jabatan presiden sedemikian rupa, dan hal itu sepatutnya kita hormati walau terdapat peluang agar UUD’45 itu diamandemen. Akan tetapi, kita harus sadar bahwa siapapun yang baik atau kurang baik tetap hanya dibatasi pada dua periode saja, sebab jika tidak, nanti akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi yang ditentukan sebagai goals dari tujuan demokrasi itu sendiri.

Belum lagi jika kita mendengar bahwa Jokowi sendiri tidak bersedia dan telah berulang kali menyatakan demikian. Kita harus menghormati sikapnya tersebut dan memilih kader lain yang siap dan mampu menggantikan beliau pada estafet kepemimpinan nasional selanjutnya. Kita harus menghormati sikap kawan-kawan dan kebanyakan dari masyarakat Indonesia yang berharap demikian, akan tetapi yakinlah, kita akan menemukan sosok lain dari 270 juta penduduk Indonesia yang memiliki kemampuan setara, atau, bahkan mungkin saja lebih baik jika terus dilakukan penjaringannya.

Dulu pun  juga banyak pihak yang semula pesimis terhadap Jokowi, termasuk pasangannya yaitu pak JK yang bahkan, saat itu mengatakan, bahwa negeri kita akan hancur jika dipimpin oleh Jokowi yang dianggapnya tidak memiliki pengalaman dan hanya bermodalkan rekam jejak sebagai walikota solo dan Gubernur DKI Jakarta, yang baru saja dijabatnya pada saat itu. Akan tetapi beliau juga malah mendukung dan bersedia menjadi Wapresnya pada era 2009-2014, yang pada akhirnya rakyat pun larut pada prestasi Jokowi yang diukir dari Sabang sampai Merauke.

Lantas, sekarang kita ingin mengusung beliau kembali dibalik statemennya yang terus menolak, demi pembelajaran bangsa ini ke depan, kita harus paham akan pengertian berdemokrasi yang baik serta estafet kepemimpinan yang terus bergulir kepada generasi selanjutnya. Lagi pula, mustahil tidak ada yang lebih baik, dari Jokowi. Maka marilah kita melihat kepada sosok yang lain agar mata kita tidak tertuju kepada sosoknya terus-menerus, sambil mengamankannya hingga akhir masa jabatannya, agar tidak ada pihak yang mengganggu dan menurunkannya.

Hal yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana menciptakan ruang yang benar-benar kondusif dan terbebas dari paparan intoleransi dan radikalisme, sehingga penggunaan dari maraknya politik identitas di negeri ini benar-benar akan berakhir, dan diharapkan masyarakat memberikan arus perlawanan atas kehadiran mereka sekuat mungkin, sampai pada kenyataan bahwa wadah NKRI ini menjadi wadah kebhinekaan dalam frame kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.

Oleh karenanya, janganlah kita terlalu suka bernostalgia, ibaratnya, kita telah menikah sejak tahun 1970-an dan mendapati istri kita yang saat ini sudah menua, lalu kita malah berpolemik agar kondisi dahulu itu patut dipertahankan, sebab istri kita dahulu masih muda. Ingatlah, bahwa dulu pun kita punya presiden yang baik, bahkan di saat negara kita masih susah dan mayoritas hidup dibawah garis kemiskinan. Namun presiden pertama kita mampu menghentakkan perhatian dunia pada Indonesia yang mereka anggap bodoh dan terbelakang, dialah Soekarno.

Saking bagusnya kepemimpinannya saat itu, maka masyarakat pun mengukuhkannya menjadi presiden seumur hidup. Tapi apa yang terjadi, Soeharto berhasil membangun kekuatan lain melalui isu penanganan PKI dan merebut hati rakyat Indonesia hingga masyarakat pun mengalihkan perhatiannya dari Soekarno, terisolasi dan dianggap meninggal secara kurang wajar, pada saat itu masyarakat lebih banyak diam dan membiarkan gerakan Orde Baru menduduki kekuasaan hingga selama 32 tahun, apakah itu tidak menjadi pelajaran bagi kita semua.

Kebanyakan dari kita sering mengeluelukan pahlawan dan memujanya setinggi mungkin. Namun sering juga kita mencari alternatif lain dan terkesima pada orang yang sok pahlawan, sehingga gampang tertipu dan malah meninggalkan pahlawan yang sesungguhnya. Lihat saja yang terjadi sekarang ini, banyak yang tampil di publik dengan pendukungnya yang banyak pula, apakah mereka pahlawan sesungguhnya atau hanya sosok orang yang sok pahlawan? Tetapi buktinya kita malah menyaksikan mereka acapkali menghujat Jokowi di mana kita menyebutnya sebagai pahlawan bangsa yang sesungguhnya.

Pada akhirnya, saya berposisi tetap menghormati pandangan dan harapan dari masyarakat dan bangsa ini agar Jokowi berkuasa selama tiga periode, namun hukum konstitusi dan UUD 45 kita berkehendak lain. Oleh karenanya, saya mengajak agar kita tetap kompak dalam perjuangan memperbaiki bangsa ini, dan melalui Toleransi Indonesia serta demi kelanjutan pembangunan bangsa dan negara, agar kita terus bersatu dan menyatukan tekad untuk terus berupaya secara tulus, walau dalam perjuangan ini kita bersandar bahwa hanya Tuhan yang akan memberikan solusinya. semoga semangat kita tidak surut.

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

two × one =