Mencari Makna di Balik Kemewahan

Mencari Makna di Balik Kemewahan

Oleh; Sabastian Hutabarat

Jon Jandai dengan cerdas menggambarkan ironi kehidupan manusia. Ia membandingkan dengan tikus yang dapat membuat lubang untuk tinggal hanya dalam satu malam dan burung yang dapat membuat sarang dalam satu atau dua hari. Sementara itu, manusia yang memiliki kecerdasan dan kemampuan yang lebih tinggi, seringkali harus bekerja keras selama bertahun-tahun, bahkan hingga 30 tahun, hanya untuk bisa memiliki rumah tinggal. Ini menunjukkan bahwa kehidupan manusia seringkali dipenuhi dengan kompleksitas dan kesulitan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.

Jon Jandai mempertanyakan nilai pendidikan tinggi yang seringkali tidak sejalan dengan keberlanjutan lingkungan. Ia menyoroti bahwa banyak lulusan sekolah tinggi yang justru mempercepat kerusakan bumi, seperti insinyur teknik yang terlibat dalam eksploitasi sumber daya alam berlebihan dan insinyur pertanian yang mungkin tidak mempertimbangkan dampak lingkungan dari praktik pertanian intensif. Contoh kasus seperti Indorayon/TPL/Aquafarm dan korupsi yang dilakukan oleh orang-orang berpendidikan tinggi menunjukkan bahwa kecerdasan dan pengetahuan tidak selalu berbanding lurus dengan kesadaran lingkungan dan integritas. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pendidikan dapat diarahkan untuk menciptakan dampak positif bagi bumi dan masyarakat.

Pendidikan tinggi seringkali dianggap sebagai kunci untuk menciptakan perubahan positif dalam masyarakat. Namun, Jon Jandai mempertanyakan nilai pendidikan tinggi yang tidak sejalan dengan keberlanjutan lingkungan. Banyak lulusan sekolah tinggi yang justru mempercepat kerusakan bumi, menunjukkan bahwa kecerdasan dan pengetahuan tidak selalu berbanding lurus dengan kesadaran lingkungan dan integritas. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan dalam sistem pendidikan untuk menciptakan dampak positif bagi bumi dan masyarakat.

Jon Jandai menyadari bahwa ada yang salah dengan sistem yang ada, sehingga ia membuat keputusan besar untuk meninggalkan pekerjaannya di Bangkok dan kembali ke kampung halamannya. Ia kemudian membangun sekolah kehidupan yang unik, tempat orang dapat belajar untuk mandiri dan tidak tergantung pada uang. Sekolah ini menjadi simbol harapan bagi mereka yang ingin hidup lebih sederhana dan lebih dekat dengan alam.

Apakah kita masih bisa disebut makhluk yang paling mulia jika kita memiliki iman kepada Tuhan, namun kehidupan kita justru dipenuhi dengan keserakahan, kekerasan, dan kehancuran lingkungan? Sementara itu, binatang dan makhluk lainnya dapat hidup dengan lebih sederhana dan harmonis dengan alam. Mereka dapat mencari makan dan membangun rumah dengan mudah, tanpa merusak lingkungan. Apakah kita telah kehilangan esensi dari kemuliaan kita sebagai manusia?

Ketika kebutuhan dasar seperti makan dan tempat tinggal menjadi tantangan besar, itu pertanda bahwa kita terjebak dalam sistem yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Saatnya kita introspeksi dan membuat pilihan yang tepat untuk hidup yang singkat ini. Dengan keberanian untuk memilah dan memilih, kita dapat menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan seimbang.

Di balik kelezatan masakan Batak yang disajikan, terdapat filosofi yang mendalam tentang kehidupan. Bang Edward Tigor Siahaan, seorang maestro masakan Batak, mengungkapkan bahwa makanan seperti “aliang-aliang” arsik dan panggang juicy adalah makanan para raja.

Edward Tigor Siahaan, Maestro Masakan Batak

Namun, yang lebih menarik adalah pesan yang terkandung dalam kata-katanya: ‘Kalau mau kerja, gak boleh miskin. Kalau sampai miskin, pasti ada yang salah.’ Ini menunjukkan bahwa dalam budaya Batak, kemiskinan bukanlah sekadar masalah ekonomi, tetapi juga masalah mental dan spiritual. Apakah kita telah salah dalam mengelola hidup kita?

Sebuah kesempatan langka untuk menjadi bagian dari kelas khusus bagi Para Raja dan Boru ni Raja, yang akan diadakan pada tanggal 11-12 Juni 2025 di Kenny’s Farm, Siantadohan Siborongborong. Kelas ini menawarkan pengalaman belajar yang mendalam tentang desain hutan pangan, pembuatan kompos, dan menikmati makanan organik yang lezat. Dengan durasi dua hari, peserta akan dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang komprehensif untuk menciptakan hutan pangan yang berkelanjutan dan seimbang.

Semoga kesadaran akan jati diri kita sebagai anak dan boru ni Raja semakin menyebar luas. Kita adalah ciptaan Tuhan yang mulia, dengan potensi untuk menjadi rajawali yang terbang tinggi, bukan ayam yang terkurung dalam kandang. Seperti kata Anthony de Mello, ‘bangun’ dan sadarlah, agar kita dapat merealisasikan potensi sejati kita dan hidup dalam cahaya kebenaran.

Balige, Kamis, 22 Mei 2025

Penulis adalah wirausahawan mandiri dan aktivis lingkungan

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

15 − seven =