Konflik Berdarah di Nattinggir: Sebuah Tragedi yang Meninggalkan Luka oleh TPL
Suaratapian.com-Nattinggir menjadi saksi bisu atas sebuah konflik berdarah yang menimbulkan dampak besar bagi masyarakat setempat. Konflik ini tidak hanya meninggalkan korban, tetapi juga menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi yang berkepanjangan. Tentu, upaya rekonsiliasi dan pemulihan menjadi sangat penting untuk memulihkan kondisi masyarakat dan mencegah terjadinya kekerasan serupa di masa depan. Tanam paksa yang dilakukan oleh Toba Pulp Lestari (TPL) di tanah yang ditanami warga merupakan salah satu contoh konflik agraria yang sering terjadi antara perusahaan dan masyarakat adat. Mirip seperti sistem tanam paksa atau cultuurstelsel yang diterapkan oleh Belanda pada abad ke-19 juga memaksa rakyat untuk menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila di tanah mereka.

Konflik antara TPL dan Masyarakat Adat Natinggir di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, kembali memanas. Masyarakat adat Natinggir mempertahankan tanah adat mereka dari perusahaan yang diduga melakukan penggusuran dan penanaman paksa. Pada 7 Agustus 2025, terjadi insiden penghadangan dan penyerangan terhadap tim TPL dan mitra kerja yang melakukan pekerjaan operasional rutin di wilayah konsesi Sektor Habinsaran. Insiden ini mengakibatkan beberapa orang terluka, termasuk Renhard Sitorus, Aldi Gea, Prima Sihombing, dan Robinson Hutapea.
Pemerintah Kabupaten Toba diharapkan dapat turun langsung ke lokasi konflik untuk menghentikan penanaman paksa di wilayah adat Natinggir dan menyelesaikan konflik ini secara adil dan transparan.
Sementara itu, masyarakat adat, yang diwakili oleh Forpemas Habornas ikut menyurakan di Tugu Proklamasi, Jakarta, pada 18 Agustus 2025 menuntut penutupan TPL. Forpemas Habornas mempertanyakan bagaimana perusahaan tersebut bisa memiliki tanah di Tano Batak tanpa memiliki marga. Dengan tegas, Forpemas Habornas menyatakan, bahwa TPL harus ditutup. Tuntutan ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat adat terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam di wilayah mereka.
Ketua Forpemas Habornas, Drs. Parasman Pasaribu, MM, menyampaikan, orasinya dengan tegas, menyerukan “Merdeka! Tutup TPL! Desa Natinggir Kabupaten Toba belum merdeka!” Seruan ini disambut dengan lantang ribuan peserta Doa Merawat Alam. Parasman menyatakan, bahwa kehadiran Forpemas Habornas bukan hanya untuk berdoa, tetapi juga untuk bersaksi dan meminta Ompui Ephorus HKBP menghentikan aktivitas TPL yang dinilai tidak berpihak pada kelestarian alam dan masyarakat adat Toba.
TPL, atau Toba Pulp Lestari, telah menjadi sorotan karena dugaan penggusuran dan penanaman paksa di wilayah adat Nattinggir. Konflik antara TPL dan masyarakat adat ini telah berlangsung lama, dengan masyarakat adat menuntut hak mereka atas tanah dan sumber daya alam.
Forpemas Habornas juga menyoroti masalah infrastruktur jalan di wilayah Habinsaran, Borbor, dan Nassau, yang dinilai tidak memadai dan membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Mereka telah berulang kali mengajukan permohonan perbaikan jalan kepada pemerintah provinsi Sumatera Utara, namun belum mendapatkan respons yang memadai.
Di akhir orasinya, Parasman juga menyatakan, bahwa gubernur dan bupati tampaknya tidak efektif dalam menangani TPL. “Bupati telah mengirimkan surat kepada TPL terkait konflik sebelumnya, namun TPL tidak mengindahkan dan tetap melakukan penanaman di tanah yang dikuasai penduduk,” ujanya mempertanyakan apakah masyarakat sudah merdeka dan menyerukan kepada massa untuk menyuarakan penutupan TPL. Seruan “Tutup TPL” disambut dengan antusias oleh massa.
Selain Parasman, hadir juga Bendahara Forpemas Habornas, Ir. Bastian Siregar, dan Sekretaris, Mangiring Tua Sianipar, berpartisipasi dalam doa bersama tersebut. Kehadiran dan kontribusi mereka menambah semangat dan kesolidan dalam perjuangan yang sedang dilakukan. Dengan berbagai latar belakang dan peran, mereka bersatu dalam tujuan yang sama, yaitu memperjuangkan hak-hak masyarakat dan kelestarian alam.
Seruan Ephorus HKBP
Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Victor Tinambunan, menyerukan kepada masyarakat Batak untuk bersatu dalam berjuang untuk kelestarian Tano Batak dan Danau Toba. Dia juga menyerukan penutupan PT TPL dan mengajak masyarakat untuk mengedepankan kasih, pengampunan, dan kepatuhan terhadap norma adat dan ajaran Kristus dalam perjuangan mereka. Ephorus menekankan pentingnya menjaga pikiran jernih dan hati damai dalam menyampaikan aspirasi, serta menghindari tindakan anarkis dan kekerasan, dan juga mengajak masyarakat untuk mempercayakan perjuangan mereka kepada Tuhan dan mengikuti kehendak-Nya.
“Saya ingin menyampaikan beberapa hal penting terkait sikap dan cara-cara yang kita tempuh dalam perjuangan ini. Perjuangan kita didasarkan pada iman bahwa Tuhan menghendaki Tano Batak dan Danau Toba, termasuk manusia, makhluk, dan alam, hidup dalam damai, harmoni, dan sejahtera. Kita percaya bahwa Tuhan selalu menyertai dan memberkati upaya kita untuk menjaga kelestarian alam dan kehidupan,” sebutnya.
Dengan kata bijak Ephorus mengajak, agar kata-kata kita selalu mengalir dari pikiran yang jernih dan hati yang damai, dipenuhi kasih. “Kita tidak boleh menyakiti atau melukai siapa pun dengan kata-kata kita. Meskipun kita telah menerima hujatan, kata-kata kotor, dan fitnah dari pihak pendukung TPL, kita harus mengampuni dan tidak terpancing. Ingatlah bahwa jauh lebih banyak yang mendukung perjuangan kita, bahkan di Porsea sendiri,” tambahnya.
Ephorus juga menyebut, banyak yang menyarankan untuk melakukan gerakan massa besar-besaran di Toba. Namun, dia serukan untuk menjalani proses penyampaian aspirasi kepada Pemerintah, DPR, dan pihak lain yang kita hormati. “Kita harus benar-benar menghindari tindakan anarkis dan segala bentuk gerakan yang bertentangan dengan norma adat Batak yang bernilai tinggi (hapantunon), hukum, dan terutama ajaran Kristus. Tuhan kita hidup dan tetap bekerja di antara kita. Mari kita mengedepankan Tuhan dan kehendak-Nya dalam setiap langkah kita,” ujar Ephorus menutup seruannya. (Hojot Marluga)