Amir Syarifuddin Harahap Orang yang Percaya Roh yang Menubuh, Dia Tumbuh Sebagai Politisi Punya Kekuatan Resiliensi

Suaratapian.com-Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI) menggelar ibadah dan diskusi bertema “Menggali Pemikiran Amir Syarifuddin Harahap dan Relevansinya.” Hadir pembicara Dr. Bernard Nainggolan Ketua YKI dilanjutkan Esthi Susanti Hudiono, Koordinator Komunitas Cipta Damai. Pembicara terakhir Pdt. Roy Simaremare, Mahasiswa Pascasarjana UKSW. Diskusi dimoderatori Halomoan Siburian. Mengantar diskusi digelar ibadah singkat. Renungan disampaikan Pdt. Lamzar Eddy Manullang, STh, Pendeta HKBP Kernolong Resort Jakarta, gereja di mana Amir muda dibaptis dan menjadi anggota jemaat. Diskusi bertempat di ruang Yayasan Komunikasi Indonesia, Jalan Matraman Raya No 10 A, Jakarta Timur. Selasa, 19 Desember 2023.

Acara ini yang diniatkan untuk melawan lupa, sembari menggali pemikiran Amir Syarifuddin Harahap dan relevansinya. Sebelum diskusi diperdengarkan testimoni tentang Amir yang dibuat Lamtiar Simorangkir, seorang sutradara dan pegiat film. Lamtiar merekam wawancaranya dengan beberapa orang lintas generasi menanyakan tentang sejauh mana pengenalan mereka tentang Amir Syarifuddin Harahap. Ternyata, hampir semuanya tak mengenal sosok ini, baru setelah kemudian disuruh mencari di google baru mereka tahu tentang Amir.

Tragedi Amir Syarifuddin Harahap; Dituduh Komunis Tetapi Tak Diakui Kekomunisannya

Mengapa tanggal 19 Desember? Oleh karena memang tanggal 19 Desember 1948, Amir Syarifuddin dieksekusi mati tanpa pengadilan sebagai mantan Perdana Menteri, tujuh bulan setelah dia tak menjadi menteri. Amir dituduh memberontak pada negara sebagai tokoh komunis, ditangkap bersama Muso disebut-sebut hendak memproklamirkan negara baru; Indonesia Serikat di Madiun yang beraviliasi dengan Uni Sovyet. Hari naas yang bertolak belakang dengan nasib Amir merengang nyawa, justru di hari tersebut diperingati sebagai hari Bela Negara, peristiwa Agresi Militer II oleh Belanda ditanggal dan hari yang sama, 19 Desember 1948 menyerang Kota Yogyakarta yang saat itu ibukota negara Indonesia.

dihadiri beberapa tokoh diantaranya; Anggota DPD RI asal Maluku Prof. Dr. John Piris. Dr. Sigit Triyono, Sekum LAI dan Dr. Sahat HMT Sinaga, S.H., M.Kn, Sekjen Pengurus Nasional Perkumpulan Senior (PNPS) GMKI

Dr. Bernard Nainggolan sebagai pembicara pertama menyebut di pengantar, bahwa tak ada biografi yang objektif tentang ketokohan seseorang, pasti tidak objektif karena pasti ada dimensi-dimensi yang menumpangi itu. Karenanya bagi Bernard, sebaiknya kalau mau melihat pemikiran seseorang perlu dilengkapi dengan apa yang disebut dengan prosopografi, artinya melibatkan tokoh lain di sekitarnya. “Jadi jika kita mengetahui Pak Amir ini tidak dari pikirannya tok, tetapi melihat bagaimana orang berpikir tentang dia. Mungkin itu lebih objektif dan itu yang saya pakai dalam menggali Amir,” sebut pengacara dan juga dosen ini.

Dr Bernard melihat sosok Amir dari teman dekat Amir, Abu Hanifah. “Abu Hanifah memang sangat mengerti tentang pikiran Amir, karena memang Abu Hanifah juga bisa mensintesis antara apa yang disebut Islam dan sosialisme,” jelasnya lagi. Masih menurut Dr Bernard, itu juga jadi hal yang sama, jadi diskusi mereka berdua. Amir melihat bagaimana Kristen dengan sosialisme, Abu Hanifah mengatakan, bagaimana sosialisme dengan Islam. “Jadi mirip-mirip mereka ini, diskusi mereka memang sangat sangat mendalam, tetapi akhirnya memang Abu Hanifah belakangan tidak mengerti lagi pikiran Amir, yang awalnya sosialis kemudian komunis.”

Melawan Lupa: Menggali Pemikiran Amir Syarifuddin Harahap dan Relevansinya Sekarang

Sebenarnya, terhadap tuduhan Amir tokoh komunis, tetap masih tanya besar dan diragukan. Paling tidak pengakuan kawannya itu, Abu Hanifah sebagai salah seorang politisi dari Masyumi yang berkawan erat dengan Amir, kepada Abu, Amir pernah mengaku bahwa dirinya telah menjadi komunis sejak tahun 1937, ketika Amir bergabung di partai Gerindo. Namun menurut Abu dari cara-cara dan tindak tanduk yang diperlihatkan dan ucapan kawannya itu, meragukan Amir sebagai seorang komunis. “Saya tidak percaya Amir Syarifuddin seorang komunis yang selalu membawa Injil kecil di sakunya,” tulis Abu Hanifah yang diberi judul “Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Syarifuddin, yang oleh LP3ES menyusun satu buku tentang para bapak bangsa yang diberi judul; ‘Manusia Dalam Kemelut Sejarah.”

Data lain menyebut, Amir dipetakonflikkan dan mendapat getah dari tuduhan memberontak pada negara bersama Muso, yang akhirnya tanpa ada pengadilan, Amir yang perdana menteri kedua Indonesia itu ditembak mati bersama dengan 10 orang yang lain. Amir seperti dihinakan negara, pusaranya saja pun sampai sekarang masih ditelantarkan. Tak layak sebagai mantan Perdana Menteri, sebagai pejabat yang pernah memerintah.

Abu Hanifah; Saya Tak Percaya Amir Syarifuddin Komunis yang Selalu Bawa Injil Kecil di Sakunya

Pembicara selanjutnya, Esthi mengingatkan, bahwa kita berhutang kepada Amir. Dia telah banyak memberi kontribusi bagi bangsa ini. Misalnya, ketika dirinya menjadi Perdana Menteri dialah yang mengutus Syarir ke sidang PBB untuk mewakil Indonesia agar mendapat pengakuan bangsa bangsa. Hal lain diingatkan Esthi menyebut, manusia itu ada tiga golongan. Golongon pertama itu materialisme, materi yang membentuk jiwa dan ini yang paling dominan, karena itu komunisme orang neuroscis orang saintis. Golongan yang kedua itu adalah roh yang menubuh percaya bahwa hidup itu berlangsung terus menerus. Roh yang menubuh menjadi paradigma pemikiran Timur dan Indonesi. Di sini dan sisa-sisanya sekarang masih sangat kuat, sebutnya.

“Peradaban anak muda sekarang ini dibangun oleh paradigma materialisme yang membentuk jiwa, akibatnya kalau kita ngomong secara praktis kemampuan resiliensi, daya tahan untuk menghadapi penderitaan itu kecil. Jumlah angka bunuh dirinya tinggi, tetapi kalau orang dibangun dengan paradigma roh yang menubuh dia akan mempunyai kekuatan resiliensi, karena penderitaan itu yang membentuk jiwa,” ujar pegiat spiritualisme, ini.

suasana saat diskusi berlangsung

Itu sebab, menurut Esthi para politisi muda kita semua hampir semua karditan, karena tidak dibentuk oleh kesulitan. Sebaliknya Amir orang yang percaya tentang roh yang menubuh, maka tumbuh dalam proses yang baik sebagai pemimpin. Terlepas kemudian dia kemudian menjadi komunis harus dilihat dengan cara yang benar, sebab di masa itu PKI adalah satu partai legal,  bulan partai yang dilarang, baru di tahun 1966 di masa Soeharto berkuasa di era Orde Baru, maka partai itu disebut partai terlarang, dan dibuat Keppres.

Sementara menurut pendeta Roy, sosok Amir pantas diangkat kembali gagasan-gagasannya, karena dari berbagai literasi yang dipelajari, Amir barangkali benar berideologi kiri,  atau pemikiran kiri dan bergabung dengan komunis waktu itu, yang di saat itu partai legal, partai yang tak mendapat larangan. Tetapi pikiran  pikiran Amir banyak yang bernas. “Dia seorang Kristiani, yang baik. Buktinya dia adalah Jemaat HKBP Kernolong, dan dia menjalani hari-harinya sebagai seorang Kristiani yang berperan besar untuk bangsa dan negara.”

Amir Syarifuddin Harahap yang lahir 27 Mei 1907 yang merupakan sosok yang secara total membaktikan hidupnya bagi bangsa dan negara sepanjang 20 tahun, mulai tahun 1928 hingga tahun 1948, dan ini sudah sangat jelas sumbangannya untuk bangsa ini,  ujar Roy, yang juga pendeta di gereja HKI itu.  Roy sembari melihat kehebatan Amir. 

“Usia 14 tahun dia diberangkat untuk studi di Belanda. Dia menguasai beberapa bahasa asing, terutama dalam membaca Alkitab, dia sangat senang membaca Injil.” Dan perlu juga diketahui, Amir juga penyuka musik dan pemain biola yang bagus. Sama bagusnya dengan Wage Rudolf Supratman memainkan biola, pengarang lagi Indonesia Raya, itu.

Di masa muda Amir berperan besar, bukan saja sebagai  bendahara Sumpah Pemuda, yang kemudian produk dari Sumpah Pemuda itu adalah Kongres Bahasa. Kongres Bahasa pertama di Kota Solo, salah satu penggagas utamanya adalah Amir. (Hojot Marluga)

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

seven + 12 =