Bangsa di Titik Persimpangan, Sebuah Refleksi Menyambut HUT RI ke-75
Oleh: Nikson Silalahi, ST.,M.IKom
JAKARTA – Dalam usia 75 tahun merdeka, banyak yang menyatakan bahwa bangsa kita berada pada masa puncak situasi yang transaksional di berbagai bidang. Sangat sulit untuk keluar dari keadaan ini.
Keadaan keuangan negara dan kondisi perekonomian masyarakat yang lagi sulit menjadi ladang tumbuh suburnya usaha monopoli kepentingan para pemilik modal. Perdebatan-perdebatan yang memicu perpecahan banyak terjadi hanya dalam rangka membela kepentingan kelompok. Penyebaran covid-19 dari awal tahun menambah makin sulitnya keadaan yang dialami bangsa yang saat ini sangat tergantung kepada utang dari luar negeri.
Sejak kecil kita selalu diajarkan untuk optimis dan sabar bekerja keras. Membeberkan kesulitan-kesulitan yang lagi dialami bangsa kita tidak dalam ranah berkeluh kesah tapi seutuhnya untuk memahami persoalan dan mencarikan jalan keluar bagi bangkitnya negara yang sesungguhnya sangat terberkati dengan potensi sumber daya alam yang kaya dan sumber daya manusia yang cerdas dan berdaya saing.
Kita harus sepakat dulu bahwa sesungguhnya keadaan negeri kita saat ini lagi tidak baik-baik saja. Inilah alasan dan harapan bersama bahwa ada hal-hal perubahan baik yang kita harapkan dari beberapa komponen bangsa yang bersifat segera dan harus didukung mayoritas anak bangsa pula.
Partai-partai politik menjadi harapan utama memberikan jalan keluar atas kondisi yang carut-marut ini. Peran besar partai-partai politik yang melahirkan para penentu kebijakan di lembaga eksekutif dan legislatif menjadi pondasi kokoh tidaknya negara kesatuan yang sudah berusia 75 tahun ini.
Harapan besar ini utamanya kita arahkan pada pimpinan tertinggi partai dan pemegang saham mayoritas partai. Kita mengharapkan semangat dan keputusan yang sama dari mayoritas pemimpin partai untuk mengembalikan NKRI sebagai rumah bersama yang dijalani dengan rasa toleransi dan semangat bersatu. Para penjabat di lembaga yudikatif pun banyak ditenggarai terjebak untuk tidak menegakkan hukum seadil-adilnya, semua ini memperparah keadaan. Kita butuh dan wajib mendorong para penegak hukum ini profesional, taat hukum dan kukuh menjadikan hukum sebagai panglima.
Suara mahasiswa dan suara pers juga ditenggarai sama. Banyak yang terbungkam paling tidak terlalu lembek bersuara akibat bekapan para pemilik modal dan pemegang kekuasaan. Zaman gadget dan pemberlakuan UU ITE sering menjadi alasan untuk ambil jalur aman tak bersuara. Rindu suara-suara tajam dari para insan pers dan gerakan-gerakan kompak para mahasiswa untuk mengoreksi hal-hal yang menabrak konstitusi dan menyulitkan hidup rakyat Indonesia Raya.
Pengharapan akan berbagai pihak di atas tentu harus didukung oleh perubahan sikap masyarakat umum yang tidak larut dalam kepentingan pribadi atau kelompok yang bersifat sesaat apalagi terjebak untuk tidak peduli dan cuek atas segala keadaan yang lagi menimpa bangsa. Konon, sikap bangsa kita yang sejak dahulu terkenal ramah tamah, belakangan ini sudah berganti dengan gampang marah dan gampang meluapkan amarah.
Untuk itulah, kita harus mengubah sikap dari degradasi mental yang terjadi belakangan ini. Hasil perubahan sikap ini mungkin tidak akan kita nikmati langsung, tetapi terwakilkan pada anak cucu kita di masa mendatang. Tetapi tanpa kita mulai hari ini, bisa jadi sejarah kegemilangan bangsa ini akan menuju sejarah kelam dan menjadi cerita sedih yang dituturkan dan dianalisa dalam pelajaran-pelajaran di sekolah maupun kampus-kampus di dunia. #SalamMerdeka#SalamRTH: Rap Tapature Hutanta (Bersama kita perbaiki negeri kita).
Penulis adalah Sekjen PP GEKIRA (Gerakan Kristiani Indonesia Raya), Ketua DPP GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia), Ketua Dewan Pembina Yayasan NSP (Nikson Silalahi Parongil)