Bangsa Ini Kekurangan Teladan Pemimpin

suaratapian.com-Hari ini kita memperingati hari lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Bersukur dibuat jadi hari libur nasional. Pancasila bukan hanya slogan filsafat tetapi telah terbukti menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia. Ini tentu bisa karena para pemimpin pemimpin terdahulu jadi suri tauladan, menjadikan Pancasila Sakti. Mereka pemimpin yang tak hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Mereka pemimpin yang memberi teladan. Mereka nasionalis sejati.Lalu, bagaimana sekarang? Di negeri ini berjibun sosok-sosok cedikia, pintar setengah dewa.

Namun kita kekurangan tokoh teladan. Bangsa ini kekurangan pemimpin teladan. Bukan seperti dulu pemimpin itu teladan. Dulu pemimpin berdiri bukan hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Tetapi kepentingan orang banyak. Di era eekarang, jikalau pun ada yang jadi teladan hanya sedikit, yang banyak pemimpin yang berteater, menyelubung keteladanan. Saya sering sebut dehidrasi keteladanan interpretasinya, ketakseimbangan suri tauladan versus orang-orang yang berkuasa. Apa yang terjadi? Tergerus nilai panutan dari para pembesar, pinisepuh. Kita terhisap oleh pesirah, pesohor negeri. Ujungnya kita kekurangan keteladanan. Jadi, bagaimana menjadi teladan?

Menjadi teladan itu sebenarnya sederhana, memodelkan diri sebagai guru, layak ditiru dan dijadikan contoh panutan.Menjadi keteladanan itu tentu untuk mencerahkan dan mendidik orang lain. Lagi, memberi contoh, tentu diri harus menjadi iktibar, sudah kujung mereaksikan aksi terlebih dahulu. Itu berarti mampu mengelola sikap, perilaku, serta ketauladanan saat beranteseden, berspesimen.Jadi sampel. Simpel! Dan, dirinya bisa didaulat memerankan patron, kepemimpinan yang memberi pengaruh, dampak bagi kemaslahatan. Bukan untuk menguasai atau berkuasa, tetapi benar-benar sikap dan perbuatannya menjadi replika yang menginspirasi. Maka seseorang yang sudah menjadi teladan, tentulah dibalut integritas, oleh sebab melakukan yang diteladankannya.

Alih-alih sulit rasanya menjelma, memerankan tiruan jika dirinya tak bisa jadi cermin. Klimaksnya tauladan itu pasti memiliki keyakinan yang mengkristal, bahwa apa yang diperankan dihidupi dalam sanubari sebagai kepercayaan. Dan, salah satu manifestasi kepercayaan adalah membawa kebahagiaan. Lagi-lagi jadi teladan itu meriangkan, membahagiakan karena membawa harapan, darinya lahir sikap antusias, membahagiakan sekitar. Berlanjut terbentuk ketabahan dan kegigihan saat menjalani keruwetan, menjumpai perigi kesakinahan. Merefleksikan Hari Lahir Pancasila, bangsa kita harus mengingat sejarah.

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

3 × 3 =