Beda “Tolol” Rocky Gerung dengan “Tolol” Ahmad Sahroni
Oleh; Hojot Marluga
suaratapian.com-Demo yang awalnya jelas tujuannya kemudian berujung anarkis malah cenderung sadis. Belum jelas siapa penggerak demo anarkis beberapa hari ini, yang awalnya hanya di depan Gedung DPR RI kemudian merambat ke sejumlah wilayah dan kota di Indonesia. Dan patut disyukuri, hanya di pulau Papua tak terjadi demo anarkis. Ada yang menyebut penggerak demo, ada kelompok oligarki yang bermain, tetapi ada juga yang menduga berasal dari kelompok yang menyebut diri “Revolusi Rakyat Indonesia”. Mereka menyebarkan ajakan demo melalui media sosial TikTok, Twitter dan grup WhatsApp, dengan tuntutan utama pembubaran DPR RI dan penolakan terhadap tunjangan anggota DPR yang dianggap terlalu tinggi, mencapai Rp 50 juta per bulan.
Kelompok ini yang disebut-sebut mengklaim membawa agenda besar, tetapi tidak jelas siapa figur yang bertanggung jawab. Apakah murni untuk pembubaran DPR RI dan penolakan terhadap tunjangan anggota DPR semata? Atau ada agenda lain?
Organisasi buruh dan mahasiswa sudah menyatakan diri, tidak terlibat dalam demo anarkis itu. Buruh memiliki aksi sendiri pada 28 Agustus 2025 untuk menuntut kenaikan upah minimum dan penghapusan sistem outsourcing. Saat itu, pengamanan di sekitar Gedung DPR RI diperketat dengan pagar beton dan kendaraan taktis, namun arus lalu lintas masih normal. Demo masih terkenali. Tetapi, kemudian hari-hari selanjutnya, tanggal 29, 30, 31 Agustus terjadi amuk massa. Demo yang merusak fasilitas umum. Dan, demo ini juga menarik perhatian karena ada individu yang melakukan aksi solo, seperti Asy’ari, yang berjalan kaki dari Sukabumi ke Jakarta untuk menyuarakan keresahannya terkait isu kenaikan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
DPR dikritik terkait tingginya gaji anggota DPR yang dinilai tidak sebanding dengan kondisi masyarakat. DPR dianggap tidak efektif dalam menyerap dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Banyak usulan yang disampaikan dalam reses tidak ditindaklanjuti dalam waktu yang wajar, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Selain itu, DPR dianggap tidak transparan dalam mengelola anggaran dan membuat kebijakan, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik.
Dalam konteks reses, anggota DPR yang diharapkan dapat menyerap aspirasi masyarakat, membantu masyarakat, mengklarifikasi kebijakan, dan mengawasi pelaksanaan program pemerintah tidak dirasakan rakyat. Pelaksanaan reses malah sering hanya asal-asal sehingga menghadapi tentangan dari rakyat.
Belum lagi lakon dan cara bicara mereka. Ya, kadang-kadang anggota DPR terlihat congkak dan tidak menjaga bicara mereka. Ini bisa membuat kesan negatif di mata masyarakat. Seharusnya, sebagai wakil rakyat, mereka lebih bijak dan menjaga ucapan mereka agar tidak menimbulkan kontroversi atau kesalahpahaman. Sikap yang lebih rendah hati dan mendengarkan aspirasi masyarakat akan lebih baik dalam membangun kepercayaan publik.
Ucapan Tolol
Amuk massa beberapa hari ini dipicu disebut-sebut pemantiknya pernyataan mantan Wakil Ketua Komisi III dan mantan anggota DPR RI, Ahmad “Silalahi” Sahroni, yang menyebut, masyarakat yang menyerukan pembubaran DPR sebagai “orang tolol sedunia”. Bak sekam disiram bensin, begitu percikan api langsung membakar dan meluluhlantakkan semua.
Pernyataan Sharoni itu memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Oegroseno bersuara, yang merasa tersinggung dan menilai pernyataan Sahroni melukai hati rakyat.
Banyak pihak menilai pernyataan Sahroni merendahkan publik dan memperlebar jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Oegroseno menilai Sahroni seharusnya memiliki empati dan memahami perasaan masyarakat yang kecewa dengan DPR, bukan malah memperkeruh suasana dengan pernyataan yang merendahkan rakyat yang seharusnya tuan dari negara, pemberi mandat.
Penggunaan kata-kata kasar seperti “tolol” dianggap tidak pantas keluar dari mulut pejabat publik, pejabat negara yang digaji lewat pajak rakyat. Pernyataan Sahroni memicu gelombang kecaman dari warganet di media sosial, dengan banyak yang menilai sikapnya arogan dan tidak menghormati suara rakyat. Bahkan beberapa pihak menantang Sahroni, terutama Salsa Erwina boru Hutagalung untuk debat terbuka terkait pernyataannya.
Sebenarnya kasihan Sahroni, hanya sekali mengatakan “tolol” di publik lalu diamuk massa. Berbeda antara ucapan “Tolol-Dungu” Rocky Gerung yang diucapkan ratusan kali. Ucapan “Tolol” Ahmad Sahroni terletak pada konteks dan tujuan penggunaannya.
Rocky Gerung mengatakan “bajingan tolol” kepada Presiden Jokowi dalam sebuah pernyataan yang dianggap sebagai penghinaan. Pernyataannya ini dilaporkan ke polisi dan menjadi sorotan publik karena dinilai tidak etis dan menyerang kepala negara. Walau Rocky Gerung dianggap melakukan caci maki dan kritik yang melewati batas tetapi bukan ditujukan pada personal atau rakyat, tetapi dikatakan untuk pejabat yang digaji rakyat dan mendapat fasilitas dari negera. Rocky dibela rakyat karena memperjuangkan kepentingan rakyat.
Sementara Ahmad Sahroni mengatakan “orang tolol sedunia” kepada orang-orang yang menyerukan pembubaran DPR, Sharoni hanya memperjuangkan kepentingan dirinya dan partai. Tidak lebih. Karena itu, pernyataannya ini merupakan respons terhadap kritik publik terkait kenaikan tunjangannya ketika masih anggota DPR. Ahmad Sahroni menyatakan, bahwa kritik dan caci maki diperbolehkan, tetapi ada batas yang tidak boleh dilanggar karena menyangkut kepantasan dan etika.
Dalam kedua kasus ini, perbedaan utama adalah konteks dan sasaran ucapan. Rocky Gerung menyerang kepala negara, bukan personal, sedangkan Ahmad Sahroni merespons kritik publik terkait kenaikan tunjangan anggota DPR ditujukan bagi para pendemo yang mewakili hati masyarakat.
Namun kasus yang menimpa Sahroni, Nafa, Eko, dan Uya, yang dipecat oleh Partai Nasdem dan PAN setelah rumahnya dijarah, masih menyimpan tanya dan perdebatan di media sosial. Banyak suara yang mempertanyakan mengapa hanya mereka yang dipecat, sementara anggota DPR lain yang juga terlibat dalam kontroversi serupa tidak mendapatkan perlakuan yang sama.
Lalu, siapa yang mestinya yang bertanggung jawab? Apakah hanya anggota DPR yang terlibat atau juga para petinggi partai dan pimpinan DPR? Mestinya petinggi partai dan pimpinan DPR pun juga harus bertanggung jawab atas kejadian ini, ataukah hanya anggota yang terlibat yang harus menanggung konsekuensinya?
Sekali lagi, banyak yang menilai bahwa penanganan kasus ini tidak konsisten, dengan hanya beberapa orang yang dipecat sementara yang lain tidak. Pertanyaan kemudian, apakah institusi seperti DPR dan partai politik juga harus bertanggung jawab atas kejadian ini, ataukah hanya individu yang terlibat yang harus menanggung konsekuensinya?