AJI Jakarta Mengecam Pemberitaan Diskriminatif dalam Kasus Penggerebekan Hotspace Apartemen Kuningan

Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen Jakarta merespons pemberitaan ihwal penggerebekan acara ‘Privat Hotspace Event’ di The Kuningan Suites, yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dalam perkara ini, media massa terlihat mendiskriminasi dan memunculkan stigma terhadap kelompok LGBTQ di Indonesia melalui pemberitaan. 

Ada tiga masalah pada pemberitaan tersebut. Pertama, judul dan isi berita banyak yang malah mendiskriminasikan orientasi seksual terduga pelaku dan tersangka. Hal ini dapat memperkuat homofobia di masyarakat. Seharusnya media lebih tegas membedakan orientasi seksual dan kasus tersebut. 

Kedua, pengungkapan status HIV dari terduga pelaku dapat memperkeruh stigma penyakit tersebut di Indonesia. Stigma sudah lama menjadi penghambat proses penanganan HIV di Indonesia. HIV seharusnya menjadi tanggung jawab negara, bukan menguatkan kesalahan kelompok lewat pemberitaan. 

Stigma buruk lainnya yakni ‘mudahnya’ penularan HIV. Bila orang dengan HIV ditangani dengan layak dan seusai prosedur, maka penularan virus bisa dikontrol. Berhubungan seksual dengan pengaman pun dapat mencegah penularan HIV. 

Untuk diketahui, orientasi seksual dan perilaku seksual berisiko adalah dua hal yang sangat berbeda. Penting bagi jurnalis untuk memahaminya.

Selain itu, pengungkapan status HIV tidak relevan dengan pemberitaan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, riwayat kesehatan seseorang termasuk informasi yang dikecualikan bagi khalayak. 

Ketiga, kami menilai pemberitaan kasus itu hanya menampung keterangan polisi tanpa memberikan kesempatan terduga pelaku turut menjelaskan peristiwa. Maka media berpotensi jadi perpanjangan lidah kepolisian.

Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal AJI Jakarta, Nurul Nur Azizah berpendapat banyak media belum berimbang memberitakan kasus ini. Misalnya penulisan judul yang menyerang kelompok LGBTQ. 

“Bumbu-bumbu pemberitaan yang sensasional masih banyak digunakan media, seolah beropini, seperti “Waduh!” dan “Terlalu!”. Juga penggunaan diksi diskriminatif seperti penyebutan “peserta pesta terlarang”, “pesta asusila sesama jenis”, hingga “hubungan terlarang” terhadap kelompok minoritas LGBTQ. Ini perlu dikritisi,” ujarnya di Jakarta (5/9). 

Sementara, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Hak Kelompok Rentan (LGBTIQ) beranggapan penggerebekan lokasi hingga penanganan, mengabaikan sejumlah hak tersangka. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi gagal mengawasi kerja pemerintah dan institusi Polri. 

AJI Jakarta mendesak media massa berhenti mendiskriminasikan kelompok LGBTQ dalam pemberitaan. Penghakiman moral berlandaskan prasangka, bertentangan dengan Pasal 8 dalam Kode Etik Jurnalistik. AJI Jakarta juga mendesak Dewan Pers memantau dan menegakkan kode etik profesi.

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

fourteen − 1 =