Komisi XIII DPR RI Mengambil Langkah Tegas dalam Menyelesaikan Konflik Agraria di Area Konsesi PT TPL
Suaratapian.com– Rapat Dengar Pendapat dengan DPR RI Komisi XIII telah diselenggarakan pada tanggal 3 September 2025 di City Hall Grand Aston Hotel, Medan. Rapat dimulai pada pukul 16.30 WIB dengan diawali oleh nyanyian lagu kebangsaan Indonesia Raya. Setelah itu, para anggota DPR RI Komisi XIII yang hadir memperkenalkan diri masing-masing, termasuk asal daerah pemilihan dan fraksi yang mereka wakili. Sebanyak 13 orang anggota DPR RI Komisi XIII hadir dalam rapat tersebut.
Salah satu anggota DPR RI yang hadir, Pak Rapidin Simbolon, mantan Bupati Samosir, telah berperan penting dalam menampung suara dan perjuangan masyarakat melalui JPIC hingga dapat mengadakan audiensi di gedung DPR RI, khususnya di auditorium DPR RI Komisi XIII.
Setelah perkenalan dari pihak DPR, rapat dilanjutkan dengan pemanggilan pihak-pihak yang diundang untuk turut hadir. Pihak-pihak yang diundang antara lain Ketua Komnas HAM, Kementerian HAM, Ketua LPSK, Bupati Taput, Tapsel, Toba, Simalungun, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi, Pakpak Barat, Ephorus HKBP, JPIC Kapusin Medan, Direktur Walhi Sumut, Perwakilan korban konflik dengan TPL, Direksi PT TPL, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat/Presidium Pemangku Adat dan Cendikiawan Simalungun, Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak, Ketua Umum DPP Partumpuan Pemangku Adat Budaya Simalungun dan Ketua Umum DPP Horas Bangso Batak, Lamsiang Sitompul SH MH.
Setelah itu, Bapak Sugiat Santoso, Wakil Ketua DPR RI Komisi XIII, memimpin rapat dengan memberi kesempatan kepada setiap undangan untuk menyampaikan pendapat dan harapan mereka. Dinamika rapat tersebut berlangsung cukup menarik, dengan berbagai pandangan dan aspirasi yang disampaikan.
Masyarakat yang menjadi korban konflik dengan PT TPL, JPIC Kapusin Medan, Ephorus HKBP, AMAN, dan Walhi Sumut berada dalam satu pihak yang sama, yaitu menolak kehadiran PT TPL di kawasan Danau Toba dan sekitarnya. Mereka menyampaikan kekhawatiran dan tuntutan atas dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas PT TPL terhadap masyarakat adat dan lingkungan hidup.
Sementara itu, dari delapan Bupati atau yang mewakilinya, dua kabupaten yang secara tegas menyatakan penolakan atas kehadiran PT TPL adalah Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) dan Kabupaten Pakpak Barat. Bupati atau wakil dari kabupaten lainnya memiliki pandangan yang berbeda-beda, dengan beberapa di antaranya menyatakan upaya untuk memperbaiki keadaan yang ada sekarang, sementara yang lain menyebutkan bahwa di daerah mereka tidak ada konflik atau kerugian yang signifikan.
Di sisi lain, perwakilan dari Komnas HAM, Kementerian HAM, LPSK, dan Polda berjanji untuk bekerja sama dan mengusut tuntas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dalam sejumlah konflik antara PT TPL dan masyarakat adat di daerah konsesi mereka. Mereka menyatakan komitmen untuk menindaklanjuti laporan dan pengaduan yang diterima serta memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dihormati dan dilindungi.
Pihak PT TPL, yang diwakili oleh Direktur TPL, Janres Silalahi, membantah semua dugaan kerugian dan pelanggaran yang dituduhkan kepada mereka, seperti perusakan hutan, pelanggaran HAM, dan tindakan semena-mena terhadap warga yang berseberangan dengan mereka. Namun, Janres Silalahi menyebutkan satu fakta menarik, yaitu bahwa PT TPL telah dijatuhi sanksi FSC suspended akibat peristiwa pada tanggal 22 September 2025 di Sihaporas, yang tentunya sangat mengganggu kegiatan ekspor mereka.
Sementara itu, dua aliansi Pemangku Adat Simalungun memiliki pandangan yang sama, yaitu bahwa tidak ada tanah adat di Simalungun. Pandangan ini tentu berbeda dengan aspirasi masyarakat adat lainnya yang merasa memiliki hak atas tanah adat mereka.
Anggota Komisi XIII DPR RI memiliki pendapat yang beragam tentang bagaimana menyelesaikan persoalan ini. Mayoritas dari mereka menekankan pentingnya pendekatan damai dan penyelesaian lewat jalur hukum. Mereka juga mendorong percepatan RUU agraria dan pengakuan tanah adat di DPR RI, yang baru-baru ini telah diputuskan dalam rapat bersama dengan kementerian terkait.
Namun, ada juga anggota Komisi XIII yang memiliki pandangan yang lebih keras. Bapak Muslim Ayub dari Fraksi Nasdem dapil Aceh Tenggara sangat lantang menyerukan penolakan dan penutupan PT TPL karena dinilai telah menimbulkan banyak masalah dan kerugian bagi masyarakat kawasan Danau Toba.
Komisi XIII DPR RI sangat menyayangkan peristiwa konflik kekerasan yang terjadi di Sihaporas baru-baru ini. Mereka berharap agar persoalan ini dapat diselesaikan dengan cara yang damai dan tidak menimbulkan korban jiwa maupun kerugian lainnya.
Pada akhirnya, Rapat Dengar Pendapat yang diselenggarakan oleh Komisi XIII DPR RI ini menghasilkan beberapa keputusan penting. Komisi XIII DPR RI menegaskan bahwa kesaksian dan data yang terungkap dalam rapat tersebut menguatkan dugaan adanya pelanggaran HAM yang bersifat struktural dan sistematis dalam konflik agraria di area konsesi PT TPL. Pelanggaran ini mencerminkan kegagalan negara dalam menangani masalah konsesi dan penegakan hukum yang diskriminatif, serta mengabaikan hak-hak masyarakat. (HM)