Kritik Film BPODT “Harta Tahta Boru Ni Raja”
suaratapian.com-Rensensi adalah satu bagian dalam jurnalis untuk mendapat informasi dari karya seseorang, umumnya buku, lagu dan film disebut diresensi. Resensi merujuk pada sebuah ulasan karya, bahkan, tentang kelemahan atau kelebihan karya tersebut. Tentu, tentang meresensi saya belum taraf, namun paling tidak puluhan kali meresensi buku karya-karya yang perlu diresensi, termasuk film itu juga perlu diresensi. Maka dalam resensi, di sana kita tentu sudah membaca atau menonton kalau itu buku, harus dibaca full selesai. Artinya, sudah dibaca dulu, lalu diceritakan dengan narasi yang ditangkap, apa pesan-pesan dari karya tersebut.
Resensi juga bisa bentuk kritik, dari resume yang dibuat lalu ada kritik kita tentang buku tersebut, di film juga demikian. Kali ini saya meresensi satu film, karya anak muda Batak yang baru muncul di bioskop berjudul “Harta Tahta dan Boru Niraja.”
Digarap Agustinus Sitorus, dan menampilkan para pemain: Mark Natama Saragi, Frisly Herlind, Tabitha Christabela Napitupulu, Novia Situmeang, Fadlan Holao, Fahira Almira, Jenda.
Dan yang menghebohkan di film ini penampilan Jenda Muthe, berlatar belakang jurnalis jago membuat tertawa. Justru beruntung ada Jenda Munthe membuat penonton bisa tertawa, walau pesan edukatifnya tak terlihat.
Sehari setelah film ini dirilis, pada 11 Juli 2024, kami dan keluarga menontonnya. Namun kasihan, film ini tak sesuai ekspektasi yang diharapkan. Sepi penonton. Kasihan sih, begitu besar dana digelontorkan, padahal tak berdampak besar.
Padahal, sejak awal Jimmy berharap melalui film ini bisa mempromosikan Danau Toba sebagai destinasi yang menawarkan berbagai atraksi wisata.
Namun lagi-lagi Jimmy gagal menjelaskan Danau Toba yang mana, Danau Toba hanya di Kabupaten Toba? Atau Danau Toba secara holistic mengitari delapan kabupaten?
Lagi, sebagaimana diniatkan untuk mempromosikan kawasan Danau Toba, bagaimanapun tidak bisa tidak itu jawaban dari film ini dibuat, karena memang sponsornya pun adalah Badan Pelaksana Otorita Danau Toba yang dikenal juga (BPODT) yang lahir di masa Jokowi, ketika kawasan ini sangat membutuhkan penanganan yang serius.
Dan lembaga ini dibentuk untuk mengkoordinasi, mensinkronisasi, dan memfasilitasi perencanaan, pengembangan, pembangunan, dan pengendalian di Kawasan Pariwisata Danau Toba di delapan wilayah Kawasan Danau Toba.
Selama ini pun kita lupa atau banyak orang yang menyebut Danau Toba hanya dikelilingi tujuh kabupaten, sesungguhnya adalah delapan kabupaten, termasuk di kawasan ini yang tidak diingat bahwa kabupaten yang menyumbang banyak air ke Danau Toba itu adalah Kabupaten Pakpak, kabupaten baru yang mekar dari Dairi. Cuma tidak ada tanah dari kabupaten Pakpak bersinggungan langsung dengan Danau Toba.
Air yang mengalir dari Pakpak ke kawasan Danau Toba justru mengalir besar seperti sungai besar di bawah tanah. Itu penemuan dari seorang Jepang, bahwa nanti aliran air ini juga mengalir dari satu perkampungan yang disebut Sigalingging di Dairi. Sampai alirannya mengalir ke Danau Toba, maka kawasan Danau Toba disebut delapan kabupaten pertama; Kabupaten Pakpak, Kabupaten Samosir, kemudian Kabupaten Dairi, lalu Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Toba, lalu Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan. Jadi, benar ada delapan kabupaten.
Lagi, film ini kemudian untuk mempromosikan kawasan Danau Toba. Lagi-lagi harus dingat sponsor film ini adalah BPODT yang direktur utamanya adalah Jimmy Panjaitan. Sekilas isi, apa sih isi film “Harta Tahta Boru Ni Raja.”