Mengimplementasikan Pancasila? “Ruang Publik Mesti Bersih Dari Kepentingan Agama”
Suaratapian.com JAKARTA-Santernya ada kelompok intoleransi hal itu menunjukkan ketidakpahaman akan esensi Pancasila. Tentu menjelang 75 Tahun Indonesia merdeka spirit dari nilai Pancasila perlu untuk menggelorakan kembali Pancasila kepada generasi muda. Betapa tidak generasi ke depan senantiasa menjaga nilai-nilai Pancasila agar tidak pudar dengan mengimplementasikan dalam kehidupan setiap hari berbangsa dan bernegara. Atas hal ini, Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) kembali menggelar webinar, Kamis, (30/7/20) dengan tajuk Implementasi Pancasila dan Budaya.
Menghadirkan lima narasumber diantaranya; Dr. H. Mardani Ali Sera, M.Eng. Anggota DPR RI Komisi II F-PKS, Sugeng Teguh Santoso, Ketua Yayasan Satu Keadilan, Penasehat PEWARNA Indonesia. Dan, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo politisi GERINDRA, Ketua Bidang Advokasi Perempuan DPP GERINDRA. Namun dua pembicara tak bisa hadir yaitu Dr. Hj. Siti Nur Azizah Ma’ruf, SH., M.Hum dan Firman Djaya Daeli. Firman sampai acara selesai tak ada kabar beritanya, sementara itu Nur Azizah Ma’ruf yang bacalon Walikota Tangerang Selatan, tak bisa hadir karena ada rapat penting terkait pencalonannya. Acara ini dipandu oleh moderator Hotman J. Lumban Gaol (Hojot Marluga).
Pembicara pertama, Mardani Ali Sera dalam pembukaan diskusi mengatakan, dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila, sejak ditetapkan sebagai dasar negara, sudah setua kemerdekaan Indonesia. Muncul banyak pertanyaan ketika berhadapan dengan realita yang sesungguhnya, yaitu apakah Pancasila sudah terimplementasi dengan baik mulai dari elit hingga akar rumput? Atau Pancasila hanya bahan wacana semata yang tidak pernah singgah dalam tindakan dan perbuatan? Di sisi lain, masih banyak kasus yang kita temui, bertentangan dengan semangat Pancasila, yaitu radikalisme, intoleransi, sektarianisme sampai korupsi.
Anggota DPR RI Komisi II F-PKS ini menyebut, lahirnya Pancasila yang digagas Founding Fathers and Mother atau pendiri bangsa ini, mampu membentuk Pancasila yang mempersatukan bangsa. “Bagi PKS, Pancasila sudah final. Pancasila sebagai dasar dalam berbangsa. Rumah bersama,” ujarnya.
Lebih lanjut, dosen di Universitas Mercu Buana ini menjelaskan, masyarakat Indonesia adalah umat yang religius, sehingga religiusitas adalah fakta yang ada dalam Indonesia dan dijadikan sebagai sumber moral. Religiusitas menjadi landasan untuk melaksanakan sila-sila yang lainnya. Religiusitas menjadi landasan kemanusian, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Saat ini komisi II sedang menyusun UU Pemilu. Ada 14 ahli yang diundang untuk memberi pendapat. Faktanya bahwa demokrasi kita belum berjalan dengan baik dan maksimal.
Sementara soal budaya, dia menyoroti soal pendidikan. “Kita saat ini masih kurang memperhatikan budaya, sehingga konstruksi berpikir kita belum berjalan secara maksimal. Caranya tentu menghadirkan sastra. Sastra itu melembutkan dan mengembangkan imajinasi,” ujarnya.
Terkait kebersamaan, Mardani menyikapi “Ruang publik harus diisi dengan pemikiran yang pluralitas atau dynamic equilibrium, yaitu adanya keseimbangan, keuntungan, dan rasa saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. “Secara umum ruang publik harus diisi dengan kebersamaan, tetapi harus ada keseimbangan, misalnya pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan keadilan hukum, karena tujuan bernegara adalah melindungi segenap tumpah dara Indonesia.”
Demikian soal implementasi membangun kerukunan dicontohkan di Kampung Sawah, Mardani mengapresiasi kerukunan yang ada di Kampung Sawah, “Kampung Sawah tidak pernah bermasalah terkait kebebasan beragama, karena masyarakatnya dan RT/RWnya bisa mewujudkan pluralitas. Kadang yang menghambat kebersamaan itu, karena secara makro ada isu terkait kristenisasi. Padahal secara mikro belum tentu. Oleh karena itu, antara yang mikro dan makro harus bisa saling terkoneksi dan perlu ada keterbukaan. Suasana yang ada di Kampung Kawah harus ditularkan ke tempat-tempat lainnya,” ujarnya anak Betawi, itu.
Sementara, terkait posisi dan tafsir Pancasila, dia menegaskan, bahwa “Pancasila adalah rumah besar kita. Tafsir tunggal atas Pancasila tidak diperlukan. Implementasi Pancasila harus dimulai dari elit. Elit harus menjadi teladan,” tambahnya.
Pembicaa kedua adalah Sugeng Teguh Santoso, Ketua Yayasan Satu Keadilan sekaligus sebagai penasihat PEWARNA Indonesia. Dia menyoroti berbagai hal diantaranya, bahwa Pancasila adalah konsensus dari hasil berpikir bersama yang dimaknai sebagai dasar untuk memandang segala sesuatu dalam bernegara. “Pancasila tidak bisa ditafsirkan secara tunggal. Pancasila sebagai landasan hukum dan moral umum,” ujar Sekjen DPP PERADI ini.
Lanjutnya, Pancasila berisi religiusitas, namun an sich bukan hanya berpikir secara agama saja atau melandaskan kehidupan berbangsa berdasarkan agama. Untuk menyikapi keyakinan jangan dilakukan dengan pendekatan hukum. Misalnya, penyegelan makam tokoh adat Sunda Wiwitan adalah contoh menyikapi keyakinan dengan pendekatan hukum.
Namun, terkait budaya, Sugeng memaparkan, bahwa budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa jiwa manusia dalam konteks komunitasnya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. “Manusia itu segambar dan serupa dengan Tuhan, sehingga manusia memiliki potensi kehendak baik, karena Tuhan adalah baik. Dengan demikian, produk kebudayaan harus menghasilkan kebaikan yang meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. Pancasila adalah hasil budaya yang dipikirkan oleh pendiri bangsa untuk menghasilkan kebaikan yang meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan.”
“Pancasila harus menjadi panduan dalam bernegara, kedepankan budaya. Harus ada harmonisasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan,” ujarnya, sembari menambahkan, “Pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah umum. Tentu, bukan berarti tak penting. Penting, tetapi tak perlu diajarkan di sekolah, tetapi diajarkan di rumah saja. Sebaiknya diajarkan saja di rumah dan keluarga masing-masing. Sekolah umum tidak perlu ada pendidikan Agama. Kristalisasi Pancasilah sebagai landasan dalam bersikap dan bertindak dalam ruang publik sudah baik. Pancasila harus menjadi panduan dalam kehidupan umum.”
Mas Sugeng demikian dia dipanggil menambahkan, agama Samawi, yaitu Islam dan Kristen, cenderung untuk melakukan hegemoni dan ekspansif. “Jika mengedepankan sifat hegemoni dan ekspansif maka akan sering berbenturan. Agama itu penting, tetapi harus diposisikan dalam komunitas yang sejenis. Jangan di komunitas publik. Lembaga agama dan komunitas agama bisa dibuat, tetapi jangan di ruang publik. Ruang publik harus bersi dari kepentingan agama tertentu dan doktrin agama tertentu, supaya cara berpikirnya tak sempit. Supaya tak terjadi juga segel-menyegel, seperti penyegelan makam tokoh adat Sunda Wiwitan yang dipermasalahkan terkait IMB atau penyegelan rumah ibadah agama tertentu dengan alasan ketidak setujuan dari kelompok agama mayoritas,” ujarnya.
Dan, lagi, menurut Sugeng, pejabat publik sudah disumpah sesuai dengan agamanya untuk taat pada Pancasila, sehingga pejabat publik yang tak melaksanakan kebijakanya sesuai dengan kepentingan publik, perlu diberikan konsekwensi yang jelas. “Pancasila tidak perlu tafsir tunggal, karena itu adalah konsensus bersama. Pancasila ada dalam diri kita,” ujarnya.
Sementara paparan dari Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengatakan, Pancasila yang ada saat ini juga menjadi hadiah bagi kaum Nasrani di Indonesia. “Pejuang Kristen sudah berusaha untuk memperjuangkan supaya Pancasila lebih terbuka. Sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah untuk satu agama tertentu. Ini artinya memberi ruang bagi setiap individu untuk bebas beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Harus mau untuk saling menerima dan saling menghargai yang berbeda keyakinan.”
Namun, Rahayu tak menampik bahwa realitanya di Indonesia, masih banyak warga yang belum mengetahui dan memahami Pancasila. Sementara, terkait dengan musyawarah mufakat, dia mengatakan, bahwa sistem dalam memilih pemimpin yang kita sepakati adalah permusyawaratan perwakilan untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lanjutnya, “Jika melihat kondisi saat ini, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, apakah sudah terwujud? Ternyata belum. Masih banyak kesenjangan yang terjadi. Perlu dipastikan lagi bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia benar-benar hadir.”
Rahayu membeberkan, satu kasus di daerah tertentu terkait pedagang yang menghasut komunitas mayoritas untuk tidak membeli dagangan minoritas tersebut. Demikian juga, tegasnya cara pandang tentang gender “cara pandang tentang peran gender masih dipandang dari sisi agama bukan dari sisi budaya. Ini menjadi realita yang terjadi. Ketika pemahaman Sila Pertama hanya untuk gologan agama tertentu, maka akan mempengaruhi dalam mengambil kebijakan di pusat.”
“Komisi VIII DPR RI yang mengurus kebijakan perempuan, masih mengacu pada agama bukan budaya. Bahkan, ada usulan agar membuat HAM versi Indonesia, hal ini menjadi aneh. Sebenarnya kebijakan itu harus mewakili seluruh rakyat Indonesia, tapi wakilnya belum memiliki cara pandang yang sama,” katanya lagi.
Demikian juga sekolah, sekolah yang bercokak Islam yang masuk dalam Kementerian Agama dibanding yang hanya di Kementerian Pendidikan dan kebudayaan akan mendapat dana lebih banyak dari sekolah yang lainnya. “Implementasi Pancasila dan Budaya masih jauh dan belum terlaksana secara maksimal. Negara belum hadir untuk hal tersebut. Para elit dan masyarakat harus saling menghormati dan menghargai. Kasus pembacaan doa saja di Sidang MPR lalu menjadi masalah. Sila Pertama bukan mayoritas dan minoritas,” ujarnya mengakhiri.
Rasanya diskusi tersebut sangat hangat, walau hanya zoom, seperti berdiskusi dengan berhadapan muka-dengan muka, walau disambungkan teknologi. Teknologi tetap punya keterbatas, tak selalu sempurna, di beberapa waktu saat narasumber berbicara malah tak terdengar. Tentu, karena narasumber tak duduk di satu tempat untuk berwibinar. Ada waktu para narasumber harus berbicara dari dalam mobil.
Namun secara umum acara berjalan lancar. Bahkan para peserta yang hadir dari berbagai latar belakang profesi, pengacara, wartawan, dosen dan hamba Tuhan. Rasa-rasanya dua jam waktu seminar sangat terbatas. Terlihat antusiasme dari para peserta untuk mengajukan pertanyaan kepada narasumber, termasuk memberi tanggapan dan komentar. Seminar ini tentu kegiatan PEWARNA yang sudah dilakukan berkala di masa pandemi Covid-19 ini. Pesan moralnya bahwa implementasi Pancasila dan Budaya masih harus terus menerus digelorakan, terutama dimulai dari diri sendiri. Pancasila tak perlu ditafsir lagi, namum implementasinya, diaktualkan di setiap zaman. (HM)