Si ”Panangko Roha” Telah Pergi
Suaratapian.com JAKARTA-Salah satu lagu Batak yang banyak dinyanyikan dan ditonton hingga jutaan kali di Youtobe adalah lagu “Di Tangko Ho Ma Rohangki.” Saking terkenalnya lagu itu menjadi judul konser “Di Tangko Ho Ma Rohangki” tepat 33 Tahun sang pengarang berkarya. Pengarangnya, Robert Marbun Lumban Gaol, yang dikenal dengan nama Robert Marbun. Lagu yang menyiratkan percintaan, seorang yang sedang kasmaran, bak hatinya dicuri.
Lirik “Di Tangko Ho Ma Rohangki” Si malolongku do marnida ho alai rohakku sai holsoan/Dibahe ekkel suping mi ito manusuk tu pusu-pusukki/Tikki na parjolo pajumpang dohot ho/Sai maila-ila ho tu au…/Jari-jariku do manjalang ho alai taroktok akka bukbak/Ala lambok ni soaram ito mangullus tu si pareokki/Sanga tarhatotong hu panotnoti ho/Tung sonang pakkilalaanki/Ima mulana sai huingot ho ho ito mambaen marsihol au tu ho…/Ditakko ho ma rohakki ito hasian.. dibuat ho nang holongki/Ditakko ho ma rohangki ito/Gabe laos tading do di ho.
Terjemahkan bebasnya; “Kedua mataku saat itu menatapmu, tetapi hatiku tak karuan, karena seyum manismu, menusuk ke relung jiwaku, saat pertama kali, bertemu denganmu, kau selalu tersipu malu, jemariku yang menjabat tanganmu, tetapi detak jantungku tak beraturan, karena lembut suaramu, menghembus di telingaku, sempat aku terdiam bisu, kuperhatikan dirimu, begitu bahagia aku kala itu, itu awalnya dimana aku selalu mengingatmu, membuatku sangat merindukanmu, telah kau curi hatiku, turut kau bawa cintaku, telah kau curi hatiku, utuh tetinggal padamu.” Lagu ini tentu juga mencuri hati pecinta lagu-lagu Batak.
Saat konser itu hadir puluhan artis penyanyi seperti; Joel Simorangkir, Berlian Hutauruk, Andolin Sibuea, Joy Tobing, Putri Silitonga, Putri Ayu Silaen, Rita Butar Butar, RNB Singers, New Ambisi, Romansa Trio, Nainggolan Sisters, ASAPOS, serta bintang tamu Vicky Sianipar dan diiringi Palito Big Band Format.
Lagu “Ditangko Ho Ma Rohangki” diciptanya tahun 1994. Tersirat dibuat untuk istrinya, TD Martina boru Lumban Batu. Martina sandiri adalah maen (keponakan) ibundanya, Juliana Osti boru Lumban Batu (Ompu Raples Boru). Itu artinya dia menikah dengan paribannya. Tuhan titipkan satu anak atas pernikahannya, Asido Lumban Gaol. “Semoga anak saya kelak menjadi orang yang baik, berguna dan bermanfaat bagi sesama dan negara,” ujarnya semasa hidup.
Robert anak bungsu dari empat bersaudara menemukan passionnya sebagai seniman, tentu tak lepas dari pengaruh ibunya yang lihai bernyanyi, masa kecil sangat mengagumi kemahiran ibunya yang suka menyanyi lagu-lagu gereja. Walau tak sekolah secara otodidak dia melatih diri jadi seniman, mengarang lagu. Pria kelahiran Laeparira, Sidikalang, 6 Juni 1962 ini, telah melahirkan 20 album dibuat dengan bersama berbagai grup trio dan beberapa genre musik.
Merantau ke Jakarta saat masih remaja. Di Jakarta dia mewujudkan kecintaannya akan seni Batak, lalu bergaul dengan para seniman Batak hingga kemudian sosok yang dikenal. di Jakarta awalnya aktif di perkumpulan Naposo Marbun Jakarta. Sempat juga membentuk trio bersama Santun Lumban Gaol dan almarhum Darulen Lumban Gaol, hanya trio itu tak sempat mekar. Semasa hidupnya dia juga tercatat punya berkali-kali group trio, yang terakhir, Romansa Trio. Keturunan Lumban Gaol generasi ke-15 ini dari Ompu Toga Raja ini, namun juga banyak bergaul dengan keturunan Paranjak Ulubalang hahadoli-nya; seperti almarhum Japintar Lumban Gaol, Jago Lumban Gaol dan Djaendar Lumban Gaol.
Khusus dengan Djaendar J Lumban Gaol yang dipanggilnya “amangtua” yang juga seprofesi pencipta lagu. Menurut Djaendar, masih ada beberapa program bersama yang sudah jauh-jauh hari direncanakan, hanya saja karena Covid-19 hingga akhir hayatnya rencana kerjasama itu tak sempat terwujud. Program tersebut antara lain membuat Album Kompilasi.
Dikemas dalam bentuk VCD, berisikan masing-masing 5 buah lagu yang dikarang Djaendar dan Robert sendiri. Kemudian, membuat drama sebabak. Drama sebabak artinya hanya satu episode atau dengan durasi singkat dengan judul “Tiamsa.” Bagi Djaendar yang cukup kenal perjalanan karier Robert selama 35 tahun, menyebut Robert Marbun adalah orang jenius.
“Dia suka baca, dan cepat mengolah kata menjadi sebuah lagu. Kami sering tidur di studio rekaman kala itu di Jalan Dempo dan Gudang Peluru, Jakarta Selatan. Tujuan mempelajari dan melihat artis rekaman. Kami dulu tahun 78-80 an, menjual koran di Cililitan, Jakarta Timur,” tandas Djaendar mengenang. Robert kemudian lebih top, dalam mencipta lagu, sedangkan Djaendar memilih jalan jadi pengawai negeri hingga purnanakti. “Karena lebih fokus menjadi pegawai negeri saya tertinggal dalam karir alias tidak Top,” kenangnya.
Ahu Nama
Sabtu, 14 November dunia musik Tanah Air, khususnya masyarakat Batak berduka atas meninggalnya Si ”Panangko Roha” Robert Marbun, 58 Tahun. Sebelum meninggal sempat menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Dia sendiri sudah lama menderita diabetes, bahkan empat tahun lalu, Tahun 2016 dia juga pernah dikabarkan meninggal di Papua, saat mengadakan show, tiba-tiba pingsan bahkan tak sadarkan diri hingga satu minggu di ruang ICU.
Syukur, saat itu mendiang bisa siuman dan pulih kembali. Kabar meninggalnya sang pengarang lagu “Sulangan Mangan” ini juga membawa duka lara terkhusus bagi teman-temannya seniman Batak. Semasa hidupnya dia memang aktif di berbagai organisasi, termasuk aktif di Parsadaan Toga Marbun Indonesia (PTMI). Juga tercatat aktif dalam Persatuan Artis Batak Indonesia (Parbi) sebagai Wakil Ketua Umum. Tentu organisasi yang menghimpun penyanyi dan pengarang lagu Batak itu sangat kehilangan atas berpulang pencipta lagu Batak yang sangat produktif itu. Ketua Umum Parbi, Andi Situmorang menyebut, mereka sangat kehilangan dan berduka atas meninggalnya Robert Marbun. “Saya sebagai Ketua Umum Parbi benar-benar merasa kehilangan atas kepergiannya,” ujarnya.
Dari 23 lagu terbaik yang diciptakannya salah satunya, “Gadis Melayu” lagu yang juga paling banyak dinyanyikan pada acara pesta, terutama pesta adat Batak. Atas karya-karyanya mendapat penghargaan. Dia layak disebut salah satu seniman musik Batak yang terbaik. Karya-karyanya sudah menjadi bagian hidup orang Batak. Tak heran selama dia berkarya banyak penghargaan diterimanya. Paling tidak tecatat Praeses Distrik VIII DKI pernah menyerahkan penghargaan sebagai salah satu pengarang lagu Batak terbaik sepanjang sejarah lagu Batak, diberikan Praeses Jakarta, Pdt Midian Sirait. Juga menerima penghargaan atas lagunya “Sulangan Mangan” dari Ephorus HKBP, Pdt Dr Darwin Lumban Tobing, bertemapat di Ritz Carlton Hotel, Jakarta, 17 November 2017.
Mendiang bukan hanya mencipta lagu Batak, dia juga mengarang lagu berbahasa Indonesia, bahkan bertema sosial. Lagu seperti “Indonesia Damai” misalnya, dia ciptakan untuk merayakan kemajemukan. “Perbedaan adalah sebuah kekuatan, Bhinneka Tunggal Ika.” Demikian disiratkan dalam lagu itu. Bahkan, sejak Covid-19 mewabah, sebagai seniman tulen dijuga mengarang lagu “Selamat Hari Lansia Nasional” dan Virus Corana akan Binasa yang dalam lagu itu menyebut “Songon panangko borngin do haroroNa…Mangarade be ma di masa ni Corona on.” (Seperti pencuri kedatanganNya, karena itu kita tetap saja sedia di masa Corona ini.”
Sebagai seniman, semasa hidupnya dekat dengan para tokoh terutama tokoh-tokoh Marbun. Salah satunya dekat dengan Osman Marbun, seorang pejabat di Papua. Tak heran dia bersama timnya kerap diundang ke Papua. Atas persahabatan mereka juga lahir lagu “Tabe Sian Papua” yang diciptaan Osman Marbun. Maret 2019 lalu, groupnya Romansa Trio juga diundang HKBP Sorong Papua Barat.
Dia juga mengarang lagu saat Jokowi mencalonkan Presiden, dia berpartner dengan Syekh Aliakbar Marbun dari Kota Medan. Pun semasa wabah pandemik bersama anaknya semata wayang merekan lagu-lagu rohani ciptaannya. Mendiang menyanyikan sedangkan anak memainkan keybord. Jasatnya disemayamkan di rumah duka Sopo Gabe, dan dimakamkan, Senin, (16/11/20) di TPU Pondok Rangon yang tak jauh dari tempat tinggalnya Cipayung, Jakarta Timur.
Feeling dan kepekaan rohaninya sebagai pencipta amat pekat, seperti sudah tahu ajal hendak segera akan menjemputnya. Dia yang mengarang juga menyanyikan lagu Rohani “Ahu Nama” yang dia nyanyikan bersama Nauli Sisters, dan lagu “Jouon Na Ma Ahu.”
Pesan lagu itu agar kita sadar bawah hidup manusia memang ada waktunya. Juga, lagu “Sian Tano” lagu yang dikarangnya sangat dalam artinya; Sian Tano berarti asal dari tanah, manusia diciptakan Tuhan berasal dari tanah dan akan kembali juga ke tanah kalau sudah tiba ajalnya. (Hojot Marluga)