Sumut Gagal Zona Merah Kekerasan Terhadap Anak
Suaratapian.com JAKARTA-Penelantaran, penganiayaan dan penyiksaan, anak korban perbudakan, anak korban prostitusi online, anak korban eksploitasi seksual komesial, eksplolitasi ekonomi dan politik, gengRAPE, incest, serang persetubuan, residivis kejahatan seksual terhadap anak fakta ini secara umum dapat ditemukan di Sumatera Utara. Jumlah kasus dan jumlah korbannya terus saja meningkat. Fakta dan data yang terkonfirmasi secara nasional, Provinsi Sumatera Utara provinsi terbesar ke 3 dari 33 Propinsi setelah Jawa Timur.
Urutan terbanyak adalah DKI Jakarta, sedangkan urutan terbesar ke 2 adalah Jawa Timur diikuti dengan Jawa Barat, Banten, Propinsi Lampung, Nusa Tenggara Barat (NTB)’ lalu diikuti Bengkulu, NTT, Papua, Aceh Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Berbagai pelanggaran hak anak di Sumatera Utara yang dikumpulkan dan dianalisis Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) KOMNAS Perlindungan Anak dari berbagai Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Sumut dan dari berbagai laporan di Unit PPPA di berbagai Polres di wilayah hukum Polda Simut, dalam kurun waktu 2019-2020 ditemukan 62 % didominasi kasus cabul dan serangan persetubuhan dengan anak, sedangkan selebihnya kasus-kasus kekerasan fisik dan kekerasan psikis.
Data ini terus meningkat jika dihubungkan dengan situasi Indonesia sedang menghadapi pandeni Covid 19. Pelaku pelanggaran hak anak di Sumatera Utara ini, 73,60% dilakukan orang terdejat seperti ayah kandung dan atau ayah sambung, kakak, paman, keluarga terdekat anak, guru, baik guru spiritual berbasis agama.
Pencetusnya dipengaruhi oleh berbagai faktor budaya, pemahaman seksualitas, kemiskinan dan tekanan ekonomi, pornografi, dan lemahnya pemahaman nilai-nilai agama kemudian terbukanya kesempatan secara sosial.
Selain rumah sebagai lokus atau tempat juga lingkungan sosial anai seperti lingkungan sekolah, tempat terbuka bermain anak, panti asihan maupun sekolah berasrama berbasis agama.
Selain itu, mengingat kejahatan seksual adalah kejahatan tersembunyi, penegakan hukum untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak anak khusus kejahatan seksual terhadap anak belum berpihak pada korban. Dampaknya banyak kasus diberhentikan karena tidak cukup bukti.
Kondisi lain yang menyulitkan penegakan hukum, seringkali peristiwa-peristiwa pelanggaran di banyak tempat di Sumateta Utara diselesaikan dengan menggunakan pendekatan adat dan berujung dengan damai.
Disamping itu, masyarakat di era keterbukaan dan globalisasi ini masih juga menganggap kasus kejahatan seksual sebagai aib dalam keluarga. Kondisi ini juga yang menjadi triger atau pemicu meningkatnya jumlah kekerasan terhadap anak.
Sementara bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi, banyak ditemukan seperti kekerasan seksual dalam bentuk sodomi, serangan persetubuan dengan cara bujuk rayu, tipu muslihat, janji -janji, intimidasi dan ancaman, persetubuhan sedarah (incest).
Dari data yang dikumpulkan dan dianalisis Komnas Perlindungan Anak dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumut dan Deliserdang, dalam kurun waktu 2019-2020 sejumlah kasus yang sedang viral dan menjadi konsumsi publik di Sumatera Utara dan telah menjadi perhatian publik nasional, sudah dapat dijadikan sebagai dasar penerapan UU RI Nomor : 17 tahun 2016 tentang penetapan Perpu Nomor : 01 tahun 2016 mengenai perubahan kedua atas Undang-undang Nomor : 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, demikian juga penerapan Peraturan Pemerintah (PP)Nomor : 70 Tahun 2020 tentang tata laksana KEBIRIZ dengan kimia dan pemasangan alat elektronik bagi para predator kejahatan seksual serta pengumuman nama predator yang telah divonis oleh pengadilan.
Dengan demikian tidaklah berlebihan jika Sumatera Utara menjadi zona merah kekerasan terhadap anak tanpa terkendala yang patut dan segera mendapat perhatian dari pemerintahan Sumatera Utara.
Namun sayangnya, perhatian pemeri untuk kasus-kasus kejahatan terhadap anak di wilayah hukum Sumatera Utara belum mendapat perhatian dari pemimpin daerah di sana.
Dengan maraknnya kasus-kasus pelanggaran anak Gubernur sebagai pemimpin daerah gagal melindungi dan menggerakkan masyarakatnya untuk menjaga dan melindungi anak.
Harus diakui, pemerintahan Sumatera Utara tidak punya konsep mengenai mekanisme melindungi anak di Sumatera Utara.
Oleh karenanya, patutlah madyarakat mengevaluasi ssejauhmana Sumatera Utata yang telah dinyatakan pemerintah pusat sebagai propinsi layak anak. “Untuk keadaan dan kondisi anak di Sumatera Utara menyaran agar status Sumut layak dicabut saja,” desak Arist.
Salah satu formula untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap di Sumatera Utara dan menurunkan angka kejahatan terhadap anak serta menjadikan Sumut menjadi zona hijau (green area) kekerasan seksual, Komnas Perlindungan Anak menawarkan sebuah aksi kepada Gubernur Sumut yakni gerakan perlindungan Anak SAHUTA (berbasis Kampung dan atau desa) dengan menggunakan pendekatan “Si Sada Anak, si Sada Boru,” (anakmu juga anaku) dan berbasis program SDGs di pedesaan.
“Formasi kedua adalah melakukan pertemuan Urun rembuk dengan para penegak hukum di seluruh wilayah hukum Polda Sumatera Utara dengan melibatkan para Kapoles, Kasat Reskrim maupun Unit PPA dan lembaga-lembaga (LPA) perlindungan anak, alim ulama maupun media di Sumatera Utara untuk membicarakan langkah-langkah strategis memutuskan mata rantai kekerasan terhadap anak di Sumatera Utara,” jelas Arist.
Sebagai komitmen terhadap situasi “zona merah” kekerasan terhadap anak di Sumut, pada urun rembuk memutus mata rantai kekerasan terhafap anak di Sumut, 04 Pebruari 2020, KOMNAS Perlindungan Anak akan memberikan Penghargaan atas dedikasi kerja, cepat serta kepedulian terhadap anak berhadapan hukum Kapolda Sumut, Kapolres, Direskrimum, serta dedikasi dan kepedulian atas kasus-kasus anak sebagai korban kepada sejumlah Kapolres dan Satkrimum di jajaran Poldasu, dan dilanjutkan dengan penandatanganan Nota Kesepemahaman (MoU) Penanganan Anak berhadapan dengan hukum (ABH) dan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).