Agung Pasca Julius Siringoringo; Secara Resmi Saya Memperbolehkan Malam Ini Bisa Menangis, Tetapi Ini Kesedihan Terakhir
Suaratapian.com-Tanpa terasa sudah satu tahun sahabat kita, almarhum Aldentua Siringoringo meninggalkan kita. Kepergiannya yang tiba-tiba seperti tak meninggalkan apa-apa buat kita. Sementara dari kesaksian para sahabatnya banyak nilai-nilai, karya, buah pikiran, dan kerinduannya yang dapat dilanjutkan dan diteruskan kepada generasi berikut. Atas alasan itu digelar acara bertajuk “Mengenang Satu Tahun alm Aldentua Siringoringo” yang juga ditandai dengan peluncuran buku berjudul Menapak Jejak ALDENTUA SIRINGORINGO,” pada hari Sabtu, 25 Mei 2024. Bertempat di Gedung FEB UKI lantai 3, Kampus UKI Cawang, Jakarta Timur.
Sermida Silaban, istri dari Aldentua Siringoringo yang tampak terlihat terhenyuh, menangis saat menyampaikan kata sambutan. Tentu hal itu bisa dipahami, sebagai istri yang ditinggal suami yang sangat dicintai. “Pergimu yang tiba-tiba seperti tidak meninggalkan apa-apa selain sedih, duka dan luka bagi kami. Setelah menjalani hari demi hari, minggu ke minggu, bulan berganti bulan, saya dan kami merenung. Rasa hormat dan cintaku padamu seperti tidak rela membiarkanmu hilang tak berbekas,” tulis Sermida di laman Facebooknya.
Terkenal dengan Notaris ini, menambahkan, “mereka mempersaksikan dirimu orang baik, rendah hati, jembatan kasih, dan sebagainya, terutama sebagai orang beriman yang sangat percaya pada kasih setia Tuhan memelihara kehidupan….Saya, kami, meminta mereka menuliskannya. Saya, kami, ingin pergimu meninggalkan sesuatu. Meninggalkan legacy, warisan kepada para sahabat dan handai tolan yang mengenalmu.”
Sementara itu, sambutan mewakili keluarga, Agung Pasca Julius Siringoringo sebagai anak pertama mengatakan, “Kami keluarga yang ditinggalkan, terimakasih untuk dukungan tersebut. Kami mengucapkan terima kasih karena tanpa dukungan semua, yang hadir di sini, kami tidak akan bisa untuk menjalani hari-hari kami ke depannya,” ujarnya. Untuk itu, Pasca juga bertanya, apakah tujuan acara kita pada hari ini? Pasca menyebut, kita bukan lagi akan mengenang siapa sosok almarhum Aldentua Siringoringo.
“Kesedihan yang keluarga alami, terutama Inong. Saya rasa sudah cukup. Setahun belakangan ini, apa yang akan kita lakukan ke depan, kita akan mengingat nilai-nilai apa yang selama ini sudah ditanamkan, sudah dibagikan dan sudah dilakukan, untuk itu nanti akhir dari acara kita ini adalah peluncuran buku. Di mana isinya adalah tulisan dari orang-orang terdekat yang menulis tentang bagaimana nilai-nilai hal-hal positif yang bisa kita sebarluaskan kepada banyak orang, yang telah dilakukan oleh almarhum Bapak kami Aldentua.”
Dalam akhir sambutannya, Pasca menyebut, terima kasih saya ucapkan untuk kita semua, tidak ada lagi kata yang lebih tinggi dari itu kita akan mulai acara ini kita akan menikmati acara ini mungkin kita akan bersedih. “Saya dari keluarga secara resmi memperbolehkan itu pada malam hari ini, bisa menangis, tetapi bolehkah saya juga memohon bahwa itu adalah kesedihan yang terakhir? Apakah kita enggak boleh bersedih lagi ke depannya? Boleh, tetapi jangan lagi berlebihan, iya Inong. Inong sudah banyak sekali orang yang mendukung kita. Jadi aku rasa itu sudah cukup sebagai pondasi kita untuk menjalani hari-hari kita lagi ke depan,” pintanya.
Sementara itu, Ketua Panitia Pelaksana, Dr Bernard Nainggolan, menyebut, tidak bisa menilai dan merumuskan siapa sebenarnya Bang Aldentua. “Saya tak mempunyai kapasitas menilai beliau. Oleh karena itu, Bapak Ibu sekalian, acara kita ini tidak bermaksud untuk melakukan kultus individu terhadap seorang Aldentua. Ketika kita menggali pemikiran-pemikiran bang Aldentua dan mencatat beberapa obituari dari seseorang, maka kita mencoba untuk menjelmakan itu menjadi nyata. Apakah yang akan kita perjuangkan ke depan, apakah yang kita rumuskan ke depan dalam pemikiran-pemikiran Bang Aldentua yang belum tuntas pada saat ini oleh karena ini kami sangat berterima kasih kepada Bapak Ibu sekalian yang hadir di tempat ini. Perjalanan bang Aldentua melukiskan dan meninggalkan banyak kenangan di beberapa kelompok berpuluh-puluh tahun.”
“Kami menjadi seorang pekerja LSM yang menggariskan dan merumuskan berbagai hal, kami mencoba untuk merelatifkan hal-hal yang absolut ketika masa Orde Baru berlangsung. Kami dikejar-kejar oleh rejim Orde Baru itu membuat kenangan yang tidak bisa kami lupakan bersama-sama dengan tim kelompok-kelompok yang dianggap menjadi ekstrim,” ujarnya.
Di awal acara, digelar kebaktian yang dipimpin Pendeta Mori Sihombing, menyebut, Aldentua Siringoringo adalah sahabatnya yang sudah lama dikenal. “Almarhum sudah saya kenal sejak tahun 1980. Itu berarti 44 tahun yang silam. Bayangkanlah sahabat saudara dan famili yang dekat dengan saya 44 tahun selama hidup saya. Dia sudah meninggalkan kita, bapak Ibu saudara-saudara, dengan prinsip hidupnya penyabar. Orangnya saya kenal sebagai orang yang sangat sabar, rendah hati,” ujarnya.
Sementara penerbit dan penyelaras buku, Saut Poltak Tambunan, menyebut, Aldentua selalu menyadari penyertaaan Tuhan. “Kepada adiknya Alfiker pada saat keduanya berada dalam situasi yang sangat mencekam, di kampung mereka pinggir Danau Toba. Panik dan cemas karena ibu mereka sedang sakit parah di rumah. Dalam kondisi kesakitan minta dipanggilkan pendeta untuk mendoakannya. Almarhum 12 tahun dan Alfiker 9 tahun. Mereka sungguh ketakutan dalam gelap subuh yang sangat dingin, terutama karena mereka harus melewati jalan kelam di antara pohon angker dan jurang yang konon berpenghuni makhluk halus,” sebut penulis sastra Batak ini.
Aldentua mengatakan, menurut Saut menyebut, bukan karena ia tak takut. Ia justru gemetar tetapi sebagai abang harus berusaha tegar. Ia tidak katakan jangan kau takut’, melainkan jangan kita takut, sambil menggenggam erat tangan adiknya. Kalimat itu sungguh bukan hanya untuk adiknya, tetapi terlebih juga untuk diri sendiri. Ia harus berlagak berani agar adiknya pun berani. Apalagi menyadari, sebagai abang harus menjadi penjaga buat adik kecil ini. (Hojot Marluga)