Dalihan Natolu Dalam Kehidupan Suku Batak (1)
Oleh: Dr. Pdt. Pahala Jannen Simanjuntak, Dosen STT HKBP P. Siantar
Pendahuluan
Pada 9-16 Juli 2024 saya berkesempatan mengikuti Konferensi perkumpulan Studi Biblika Asia atau The Society of Asia Biblical Studies (SABS). Bertempat di Yu-Shan Theological College and Seminary Hualien, Taiwan. Kurang lebih 117 peserta yang datang dari berbagai negara di Asia, Amerika, dan Australia berlatar belakang theology termasuk dari Indonesia menghadiri pertemuan akbar ini. Tema Konferensi ini adalah: Biblical Hermeneutics in Indigenous Perspectives. Dalam kesempatan ini saya membawakan sebuah topik menarik untuk didiskusikan sekitar kebijaksanaan lokal (local wisdom) dari Indonesia yakni mengenai Dalihan Na Tolu bagi suku Batak di Indonesia. Berikut petikan presentase saya di Konferensi Internasional ini.
Dalihan Na Tolu
Dalihan Na Tolu (DNT) atau tungku nan tiga, tungku berkaki tiga sebagai alat memasak dalam tradisi suku Batak. Yang merupakan sistim kerabatan atau sistim kekeluargaan yang lahir sejak orang Batak ada di dunia ini. Adapun unsur-unsur atau frinsip Dalihan Na Tolu ini adalah: Pertama, Somba marhulahula, artinya hormat kepada pihak pemberi isteri. Kedua, manat mardongan tubu, artinya berhati-hati kepada teman semarga. Ketiga: elek marboru, artinya selalu menjaga perasaan pihak boru. Posisi itu dapat dimiliki orang Batak sesuai dengan fungsinya masing-masing. Baik sebagai hula-hula, boru dan dongan tubu. Tetapi ada satu lagi unsur membuat DNT ini lebih kuat, yaitu paopat Sihalsihal (unsur keempat pemyelaras), yakni handai tolan atau kerabat dekat. Jonok partubu jumonohan do parhundul.
DNT ini menjadi identitas dan kekuatan orang Batak dimana pun mereka berada. Sebagai berjumpa dengan semarga, tulang, dan sedarah yang dihimpun dalam kekerabatan yang sangat kental. Orang Batak memilik semboyan: Mangkuling mudar.
Prinsip DNT tidak hanya dipraktekkan kepada satu marga, satu suku tetapi di luar itu juga berlaku. Bagi orang yang pernikahan di luar suku Batak itu juga dipraktekkan dengan baik. Demikian juga suku non Batak yang menikah kepada orang Batak wajib menaati prinsip ini. Sebab mereka sudah masuk menjadi komunitas suku Batak.
Kebanggan sebagai orang Batak
Orang Batak menjungjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam filosofi Dalihan Na Tolu. Sebagai produk budaya yang memiliki kearifan lokal dalam membangun komunitas yang harmonis, kokoh dalam kelangsungan identitas orang Batak. Kebanggaan sebagai orang Batak terdapat dari praktet pelaksanaannya. DNT dalam kehidupan orang Batak merupakan kekuatan sosial yang membentuk budaya dan kerukunan hidup di antara sesama tanpa membedakan golongan dan agama khususnya bagi orang Batak di Indonesia. DNT itu sudah melekat bagi kepribadian orang Batak dimana pun mereka berada. Tinggal bagaimana mengembangkan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dimanapun berada.
Namun harus diakui belum semua orang Batak memahami DNT dengan benar sesuai dengan situasi dan keadaan. Namun berjalan seiring dengan waktu pemahaman itu bisa muncul ketika bertemu dalam budaya dan kegiatan yang melibatkan orang Batak.
Dalihan Na Tolu bukan ‘hasipelebeguon’
Melalui DNT ini etnis Batak khususnya orang Kristen meyakini bahwa apa yang dilaksanakan melalui DNT ini merupakan amanah firman Tuhan dalam Alkitab. Dalam hal etika, kasih, menghargai, menghormati dan mengampuni sesama. Maka filosopi DNT perlu dilestarikan karena dari dulu, kini dan sekarang memiliki peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat Batak. DNT ini menjadi identitas dan kekuatan orang Batak dimana pun mereka berada. DNT ini sangat terasa bila berjumpa dengan semarga, tulang, dan sedarah yang dihimpun dalam kekerabatan yang sangat kental. Orang Batak memilik semboyan: Mangkuling mudar. Dasar dari DNT itu adalah terciptanya kasih dalam komunitas orang Batak. Ajaran Yesus tentang Kasih tidak luput dari praktek DNT.Kasih itu tentu terwujud melalui sikap saling menghormati, menghargai, mengampuni dan tidak ada dendam. Karena semua yang terjadi dalam DNT adalah kasih. Dan sebagai wujud daripada penyembahan kepada Tuhan Allah (Ul. 6). Hal ini dapat dilihat dalam Hukum Musa (Kel. 20).
Kemudian Yesus dalam khotbah di bukit juga menandaskan bagaimana para murid dan orang banyak harus hidup dengan kasih terhadap sesama (Mat. 22:39). Dalam ajaran rasul Paulus hendaknya saling menghormati di antara sesama tetapi terutama bagi teman seiman (Gal. 6:2). Dengan demikian bahwa filosopi dalam Dalihan Na Tolu bukanlah bermuatan ‘hasipelebeguon’ atau keberhalaan yang dianggap sebagai bagian dari pemujaan kepada dewa. Sekali-kali tidak.
Kesimpulan
Dalihan Na Tolu (DNT) telah dikenal oleh orang Batak jauh sebelum Kekristenan di Indonesia, tetapi hakekat dari DNT itu telah sesuai dengan nilai-nilai kekristenan yang terdapat dalam Alkitab. Itu artinya bahwa firman Tuhan telah bekerja jauh sebelum segala sesuatunya ada. Benar yang disebutkan oleh injil Yohanes: Pada mulanya adalah firman, dan firman itu bersama-sama dengan Allah. Firman itu adalah Allah (Yoh. 1:1). Maka Dalihan Na Tolu bagi orang Batak yang tinggal bukan saja di Indonesia tetapi di seluruh dunia sangat menolong bagi kehidupan. Horas!
[1] Tulisan ini merupakan ringkasan dari banyak pembahasan dalam makalah yang saya sampaikan dalam Konferensi ini. Tujuannya memberi sekilas informasi tentang Dalihan Na Tolu bagi orang Batak. Tentu sudah banyak buku atau bahasan tentang topik ini. Semua artikel tersebut sangat berguna bagi setiap orang yang hendak memahami Dalihan Na Tolu.