Konferensi Nasional Pendidikan dan Gereja “Kolaborasi Nyata untuk Transformasi Sekolah Kristen” Mendesak Untuk Dilakukan
suaratapian.com-Pendidikan utamanya pendidikan Kristen harus berbenah untuk bisa adaptif manghadapi tantangan ke depan, karena itu, sekolah-sekolah Kristen harus mentransformasi diri. Oleh pemikiran itu Majelis Pendidikan Kristen (MPK) bersama Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) menggelar Konferensi Nasional Pendidikan & Gereja 2024 bertema “Kolaborasi Nyata untuk Transformasi Sekolah Kristen,” pada, Selasa 23 Juli dan Rabu, 24 Juli 2024. Tempat di Universitas Pelita Harapan, Fakultas Kedokteran, Lippo Karawaci, Tangerang. Hadir 700 orang peserta dari tujuh pilar penyangga pendidikan Kristen; Lembaga Aras Nasional, Pimpinan Gereja atau Pengurus Sinode, Yayasan Sekolah Kristen, Direktur dan Operasional Sekolah Kristen, Universitas Kristen, Sekolah Tinggi Teologi, Dunia Usaha atau Industri, dan Lembaga Pelayanan Kristen.
Acara dimulai dengan ibadah, pelayan Firman Pdt. Yohanes Halim. Selesai ibadah dilanjutkan acara. Dimulai dengan menyanyi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan Lagu Tema Konfernas. Laporan Ketua Panitia: Wiseno Benny Murtono. Sambutan Tuan Rumah: Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc. menyebut bahwa walau Universitas Pelita Harapan terkesan pendidikan sekuler, tetapi basisnya adalah pendidikan Kristen.
Sambutan dilanjutkan sambutan Ketua Umum MPK, Handi Irawan Djuwadi, MBA., M.Com. Sambutan. Kemudian dilanjutkan Ketua Umum PGI: Pdt. Gomar Gultom, M.Th. Arahan dari Direktur Pendidikan Kristen Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama RI: Drs. Sudirman Simanihuruk, M.Th. Lalu Testimony TF 3 T.
Pendidikan: agenda pastoral gereja
Dalam sambutannya, Ketua Umum PGI, Pdt Gomar Gultom MTh, mengatakan, salah satu tujuan dibentuknya negara RI, sebagimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah untuk mencerdaskan bangsa, dan jalan terbaik untuk ini adalah Pendidikan. Hal ini yang antara lain mendorong gereja-gereja di Indonesia, termasuk MPK, melakukan pendidikan.
“Tugas panggilan mengajar itu adalah perintah Yesus ketika Ia berkata: “Karena itu pergilah… dan ajarlah mereka” (Mat 28:19-20). Olehnya, disadari betul, bahwa tugas mengajar dan mendidik ini bukanlah sesuatu yang komplementer, tetapi merupakan hakekatnya sebagai gereja,” ujar pendeta HKBP lulusan sekolah Kristen ini.
Pendeta Gomar juga mengatakan, bahwa peran MPK sangatlah sentral dan strategis dalam perjalanan gereja. Namun kehadiran MPK, sebagai perpanjangan tangan gereja, tidak boleh dijadikan alibi oleh gereja untuk melepaskan diri dan tanggung-jawab dalam bidang pendidikan ini. “Di satu sisi gereja dan MPK harus berkolaborasi dalam hal ini, dan di sisi lain, gereja pun harus terus mengembangkan pelayanan dan tanggung-jawabnya dalam bidang pendidikan ini, tidak bisa sepenuhnya oleh MPK,” sebut mantan Sekum PGI ini.
Dia juga menyitir adagium yang disampaikan oleh Charles de Gaulle semasa Perang Dunia II: Perang terlalu berharga bila diserahkan hanya kepada serdadu. “Pendidikan terlalu berharga bila diserahkan hanya kepada para guru dan Yayasan. Pendidikan harus masuk dalam agenda pastoral gereja,” ujarnya.
Selama ini MPK dan PGI mencoba untuk berjalan beriringan, dan seiring itu pulalah harapan kita, gereja-gereja beriringan jalan dengan lembaga-lembaga pendidikan di sekitarnya. Di akhir sambutannya, Pendeta Gomar mengatakan, “Dalam kaitan ini saya sangat mengapresiasi kehadiran MPK yang selama ini berjuang keras menjembatani jurang menganga antara sekolah-sekolah milik gereja di daerah tertinggal dan sekolah maju di perkotaan, terutama juga dengan prakarsa-prakarsanya membangun sinerji dan kolaborasi di antara pemangku pendidikan: tujuh pilar. Saya juga mengapresiasi MPK seraya meminta kita semua mendorong masyarakat agar tidak menjadikan pendidikan menjadi semacam komoditas dalam dunia usaha, sekalipun saya sadar betul, pendidikan bermutu itu butuh biaya yang tidak sedikit.”
“Kita masih punya tugas berat yang menanti di depan, terutama di tengah sengkarut kebijakan nasional menyangkut pendidikan nasional. Saya tak henti-hentinya mengajak para pemerhati pendidikan untuk menyikapi dengan arif Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana dimuat dalam Undang-undang tentang Sisdiknas: yang belum sepenuhnya berjalan, baik menyangkut anggaran, pengelolaan dan kebijakan umum yang berubah-ubah. Kita juga masih berkutat di kontroversi antara Kecerdasan atau Ketaqwaan. Termasuk di dalamnya kehadiran Pendidikan Agama di sekolah-sekolah: yang selalu lempar-lemparan tanggung-jawab antara Kemenag, Kemendikbuddikti dan Pemprop/pemkab,” sebutnya.
Ekosistem pendidikan
Di sela-sela istirahat, Handi Irwan Djuwadi., MBA., M.Com. diwawancara para Pewarta Kristiani menyebut, tentang perlunya ekosistem pendidikan yang merupakan suatu tempat di mana elemen-elemen ekosistem yang terdiri atas manusia, kurikulum, beserta seluruh fasilitas dan lingkungan fisik, saling berinteraksi dan berhubungan. Dia mencontohkan, Korea bisa maju misalnya, karena tahun 1970 meningkatkan terus ekosistem pendidikan dan mengucurkan 20% dari APBN-nya.
Hal yang sama dilakukan Negara-negara Eropa. Misalnya seperti Swiss, atau seperti di Jerman, negara maju Jepang, ekosiste pendidikannya bagus. “Selain APBN 20% semua uang dalam ekosistem pendidikan itu total bisa 10% GDP. Artinya, apa memang guru itu harus banyak sekolah, harus banyak ada kursus-kursus yang, banyak pembelajaran formal pembelajaran informal. Semuanya serba pendidikan. Ada riset teknologi segala macam, semua yang berbau pendidikan itu kalau bisa, kira-kira bisa 10% daripada total GDP itu baru Negara memperhatikan pendidikan,” ujarnya.
Lagi, Handi mengingatkan, ukuran daripada negara memperhatikan pendidikan itu bukan hanya ukuran 20% dari APBN, tetapi diperhatikan berdasarkan daripada total GDP-nya. Oleh karena itu, Handi berharap kucuran daripada dunia usaha, dunia industri mengucurkan untuk CSR ke dunia pendidikan itu memperbesar total persentase terhadap GDP, sehingga menjadi ekosistem pendidikan yang baik, sama seperti negara maju.