Dr. Ronald Simanjuntak SH MH: Meninjau Kembali PERBER 2 Menteri: Upaya Melindungi Kebebasan Beragama di Indonesia

suaratapian.com-Dr. Ronald Simanjuntak SH MH adalah seorang pengacara dan profesional yang memiliki pengalaman luas di bidang hukum dan bisnis di bidang perkebunan kelapa sawit dan pabrik CPO (Crude Palm Oil). Pengalaman lebih dari 20 tahun di industri ini, Ronald Simanjuntak telah membuktikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang handal dan memiliki visi yang jelas untuk mengembangkan perusahaan. Di bawah kepemimpinannya, PT. Karimun Aromatics telah menjadi salah satu perusahaan yang terkemuka di bidang perkebunan kelapa sawit dan produksi CPO.

Sebagai advokat, dia juga memiliki kemampuan untuk memberikan saran dan pendampingan hukum kepada perusahaan, sehingga perusahaan dapat beroperasi dengan efektif dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dengan demikian, dia telah membuktikan dirinya sebagai seorang profesional yang multifaset, dengan kemampuan yang luas di bidang hukum dan bisnis. Selain sering diundang berkhotbah dia menjadi pembicara di berbagai perhelatan termasuk memberi nasihat soal pendirian rumah ibadah.

Menurut Dr. T. A. Ronald Simanjuntak, SH., MH., penyebab utama penolakan pembangunan gereja di beberapa daerah adalah kurangnya kesadaran bernegara dan berkonstitusi, serta kegagalan pemerintah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya untuk menjamin kebebasan warga negara dalam beribadah dan mendirikan rumah ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

Oleh karena itu, dia menghibau peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik terkait penutupan gereja adalah dengan memberikan jaminan dan memfasilitasi kebebasan warga negara untuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah, serta menegakkan hukum dengan tegas, proporsional, dan profesional terhadap pihak-pihak yang mengganggu atau menolak hak-hak tersebut.

Bagi Ronald, penutupan gereja bukanlah masalah toleransi, melainkan masalah hak konstitusional yang fundamental dari setiap warga negara, termasuk komunitas Kristen. Istilah toleransi dapat memiliki konotasi yang bias, seolah-olah pihak minoritas meminta belas kasihan kepada pihak mayoritas. Oleh karena itu, lebih tepat menggunakan istilah harmonisasi, yang merupakan tanggung jawab setiap warga negara untuk menjaga dan menghormati hak konstitusional warga negara lainnya. Pemerintah memiliki peran penting dalam menjaga kesetaraan dan perlakuan yang sama terhadap setiap warga negara, serta melindungi hak-hak mereka.

Menurut Dr. T. A. Ronald Simanjuntak, SH., MH., untuk mempromosikan toleransi dan harmoni dalam masyarakat majemuk, pemerintah harus memberikan perlindungan dan jaminan atas hak-hak warga negara, khususnya untuk beribadat dan mendirikan rumah ibadat. Aparat Penegak Hukum (APH) juga harus menegakkan hukum secara tegas, proporsional, dan profesional tanpa membedakan latar belakang seseorang. Selain itu, pemerintah harus pro-aktif mensosialisasikan dan mempromosikan bentuk-bentuk toleransi dan harmonisasi, seperti merekrut dan mempromosikan pejabat atau karyawan berdasarkan kompetensi, bukan latar belakang Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA). Dengan demikian, masyarakat akan terdidik untuk menghargai dan menghormati hak-hak warga negara lainnya, serta mempromosikan kehidupan yang harmonis dan damai.

Contoh konkret toleransi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap warga negara tanpa membedakan latar belakang SARA. Sebagai contoh, dalam institusi tertentu, karyawan yang hendak melakukan ibadah sesuai dengan agamanya harus diberi kesempatan yang sama. Selain itu, ketika ada kegiatan lain di sekitar tempat ibadah, seperti pesta atau acara lainnya, maka pihak yang mengadakan acara tersebut harus dapat mengurangi atau menghentikan sementara pengeras suara agar tidak mengganggu kekhusyukan ibadah. “Setiap warga negara dapat menjalankan ibadahnya dengan tenang dan khusyuk,” sebutnya.

Surat Keputusan (SK) 2 Menteri terkait penutupan gereja memiliki klausul yang mempersulit minoritas untuk mendirikan rumah ibadah, seperti persyaratan memiliki anggota jemaat minimal 90 orang dan persetujuan dari lingkungan minimal 60 orang, serta rekomendasi dari Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Hal ini jelas bertentangan dengan Konstitusi dan Undang-Undang, serta dapat menyebabkan masyarakat tersekat-sekat dan tidak melakukan pembauran. Sebaiknya, pemerintah membuat Undang-Undang tentang Perlindungan Umat Beragama yang menjamin hak setiap warga negara untuk beribadat dan mendirikan rumah ibadah sesuai dengan agamanya, dengan syarat perizinan yang sama dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Bagi Ronald, proses pembuatan dan pengesahan PERBER 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah melibatkan para stakeholder dan tokoh agama, namun tetap tidak terlepas dari unsur politik dan peran mayoritas dan minoritas. PERBER 2 Menteri ini dianggap sebagai “bumerang” karena digunakan oleh pihak-pihak intoleran untuk mendiskriminasi dan mempersekusi minoritas, sementara pemerintah dan Aparat Penegak Hukum (APH) terkesan membiarkan hal ini terjadi, sehingga melanggar Konstitusi dan Undang-Undang.

Oleh karena itu, menurutnya, jika PERBER 2 Menteri terus menerus diberlakukan, maka akan berdampak negatif terhadap kebebasan beragama dan toleransi di Indonesia. PERBER 2 Menteri tersebut berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak intoleran untuk mendiskriminasi dan mempersekusi minoritas, serta menghambat hak fundamental warga negara minoritas untuk beribadat dan mendirikan rumah ibadahnya. “Oleh karena itu, pemerintah dan DPR diharapkan segera merancang, membahas, dan mengesahkan Undang-Undang tentang Perlindungan Umat Beragama untuk menghindarkan hal-hal demikian terjadi di kemudian hari,” ujar. Dr. T. A. Ronald Simanjuntak, SH., MH.

Dia juga menyebut, reaksi masyarakat dan komunitas Kristen terhadap SK tersebut seharusnya adalah dengan bersatu dan merumuskan langkah-langkah konkret untuk mengatasi dan mencegah permasalahan peribadatan dan pendirian rumah ibadat. Mereka juga harus memberdayakan potensi mereka, termasuk lobby politik dan media, untuk mengingatkan dan menyadarkan pentingnya kebebasan beragama dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya, serta menjaga 4 Pilar Bangsa yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai harga mati untuk mencegah disintegrasi bangsa.

Langkah-langkah yang dapat diambil untuk meninjau atau merevisi SK 2 Menteri jika dianggap tidak sesuai dengan prinsip kebebasan beragama adalah dengan mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Agung RI, seperti yang telah dilakukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebelumnya. Namun, karena permohonan tersebut telah ditolak, maka langkah selanjutnya yang perlu dipertimbangkan adalah memberlakukan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama, bukan hanya membatalkan PERBER 2 Menteri saja. Hal ini karena tanpa adanya Undang-Undang yang jelas, potensi konflik horizontal di lapangan masih besar terjadi, kecuali jika pemerintah dan Aparat Penegak Hukum (APH) dapat menegakkan hukum dengan tegas, proporsional, dan profesional. (Hotman)

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 × 4 =