Edwin P Situmorang: “Bangso Batak Membutuhkan Ada Wadah Pemersatu”
Suaratapian.com JAKARTA-Berawal dari kerinduan ada wadah “hasadaon” untuk mempersatukan marga-marga Batak atas kerinduan itu berdirilah Hita Marga Batak (HIMABA). Sebenarnya akronim HIMABA bermula dari himpunan marga Batak, namun saat mengurus izin legalitasnya perlu diganti, karena kata himpunan tak bisa dipakai, tetapi agar akronim tetap menggunakan HIMABA, Hita Marga Batak.
“Berangkat dari pemikiran bahwa marga-marga Batak itu sudah terorganisasi di punguan-punguan marga dan sudah banyak organisasi Batak, tetapi belum pernah mampu mempersatukan karena tak ada wadahnya,” ujar Ketua Umum HIMABA, Edwin P Situmorang SH MH saat diwawancarai beberapa waktu lalu. Mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung ini menyebut, hanya duduk satu meja saja tak pernah bisa. Faktanya kurang spirit persatuan dengan marga-marga yang ada. Berangkat dari kenyataan itu, atas niat mulia itulah maka HIMABA muncul untuk menjawab halnya.
“Sebenarnya kerinduan untuk bersatu itu ada di masyarakat Batak, kesempatan untuk membangun kesehatian. Padahal perjumpaannya ada dalam setiap hal yang menyangkut adat Batak, baik acara dalam suka maupun dalam duka, marga-marga mesti telibat, ada perjumpaan. Misalnya, dalam acara perkawinan Batak paling tidak yang punya hajatan sudah langsung dua pihak marga, pihak paranak dan parboru, belum lagi marga-marga dari pihak hula-hula dari pihak marga-marga itu. Belum lagi ditambah dengan masing-masing hula-hulanya.”
“Melihat kenyataan yang ada sekarang tentu di era ini tak boleh satu komunitas jalan sendiri-sendiri. Dibutuhkan kerjasama dan sinergi, kalau dulu ada satu komunitas maju itu karena upaya masing-masing. Tetapi, ke depan yang perlu dipikirkan bagaimana memikirkan kepentingan kemaslahatan masyarakat adat Batak. Jadi perlu dibangun adalah sinergi, kalau dulu memang ada orang yang sangat luar biasa bisa mencapai satu capaian hanya karena berjuang sendiri, tetapi sekarang justru perlu saling sinergi, saling mendukung. Kenyataan memang, dulu ada orang-orang secara individu bisa survival dan bahkan kariernya menaik. Tetapi kondisi sekarang amat berbeda, dibutuhkan topangan orang lain. Dalam konteks berbangsa dan bernegara juga kita membutuhkan hasadaon, persatuan.”
Karena itu perlu ada wadah untuk memikirkan masalah bersama, oleh karena budaya Batak yang terus berkembang dinamis, dan tentu banyak hal yang harus terus diaktualisasikan, karena itu butuh kesepakatan-kesepakatan bersama, termasuk merampingkan acara adat, atau mengelola waktu pesta adat dengan waktu yang baik. Tentu, ada banyak hal yang bisa dirubah untuk bisa aktual, tentu, esensi adat tak dirobah yang dirobah hanya penerapan, implementasinya.
“Banyak hal yang bisa disepakati, atau diganti salah satu contoh saat memberi tumpak, menyalam pengantin. Kenyatan hal itu memakan banyak waktu. Nah, bagaimana misalnya kalau diserahkan di kotak saat masuk ke gedung, sebab hal ini memakan banyak waktu dan sungguh tertata dengan baik. “Saat mangulosi misalnya, bisa beberapa helai ulos disepakati, tentu lagi-lagi esensi adatnya tak dihilangkan. Tentu, kalau itu dilakukan pasti menghemat waktu,” ujarnya lagi.
Artinya, ada banyak tantangan yang dihadapi, terutama karena orang Batak Toba sulit bersatu untuk sepakat membenahi acara-acara adat yang terkesan berbelit-belit. Dan lebih dari hal itu orang Batak jangan pernah mau dihasut orang yang tidak bertanggung jawab. Fitnah, adu domba merupakan perbuatan sangat jahat. Apalagi generasi muda tak lagi mengerti atau cenderung tak perduli tentang adat-istiadat Batak dan kebanggan menjadi orang Batak juga tak terlihat lagi. Semua bersatu, kompak dan rukun dalam wadah dalam HIMABA.
Baginya, hanya dengan bersatu dan mampu menyuarakan gagasan dan pemikirannya. “Ke depan dibutuhkan kesehatian orang-orang Batak, maka kesanalah arah dan cita-cita dari HIMABA, menjadi wadah pemersatu marga-marga Batak. Karena itu, ke depan dirindu organisasi Batak itu makin solid dan memberi dampak yang signifikan. Saya rindu ke depan para pengurus-pengurus marga itu duduk, minum kopi bersama. Saya tak punya kepentingan apa di sini selain rindu ada wadah. Saya sendiri tak hendak ingin dapat panggung, kerinduan saya agar ada organisasi yang menjadi wadah kita bersama orang Batak, wadah komunikasi dan interaksi marga-marga Batak.”
“HIMABA merupakan wadah masyarakat Batak untuk berdiskusi dan menyamakan persepsi dalam menciptakan kesatuan dan persatuan untuk mencapai cita-cita bersama yaitu kesejahteraan. Dengan adanya kesamaan persepsi dalam masyarakat, maka dapat berperan menjadi pionir utama dalam menata adat istiadat sesuai filosofi adat itu sendiri sehingga terdapat suatu keseragaman implementasi tanpa mengurangi esensinya,” ujarnya.
Dan, lagi HIMABA menjadi wadah penyaluran aspirasi, mendahulukan perdamaian dalam segala bentuk masalah ketimbang melalui proses hukum. Ke depan HIMABA diharapkan bisa meningkatkan peranan masyarakat hukum adat dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan daerah sesuai kearifan lokal, bersatu padu menyusun program, termasuk merumuskan rencana pembangunan daerah sesuai kebutuhan daerah itu sendiri untuk kesejahteraan bersama.
Di akhir wawancara dia juga menambahkan, bahwa HIMABA hadir untuk kepentingan marga-marga Batak se-Jabodetabek ini dapat berjalan baik karena para ketua marga itulah sebagai stakeholder dari lembaga tersebut. Karenanya, kedepan, punguan marga-marga sesungguhnya jangan hanya menggeluti masalah adat, tetapi juga harus berperan membantu pemerintah membina masyarakat, terutama generasi muda, untuk lebih berkualitas, produktif dan kreatif, sehingga lebih bermanfaat dalam meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai Ketua Umum HIMABA, Edwin P Situmorang mengharapkan, agar semua ketua umum marga-marga, terutama yang berada di Jabodetabek ke depan makin menjalin kerjasama dengan di HIMABA. “HIMABA untuk melaksanakan berbagai program, baik menyangkut seni dan budaya Batak, maupun kegiatan lain yang bermanfaat bagi pembinaan masyarakat, khususnya generasi muda,” ujar mengakhiri. (Hojot Marluga)