Hanny Layantara Eks Pendeta HFC Surabaya Dituntut Sepuluh Tahun Penjara
Suaratapian.com JAKARTA–Sidang kasus dugaan pencabulan dengan terdakwa Hanny Layantara, Pendeta Gereja Happy Family Center Surabaya kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (14/9/20) dengan agenda pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Tersangka dituntut atas perbuatannya melakukan tindak pidana Kejahatan Seksual terhadap anak rohaninya. Dalam sidang tersebut, sesuai dengan Undang Undang Pidana No. 82 UU RI Nomor: 35 Tahun 2014 tentang Perubahan kedua atas UU RI Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, JPU menuntut terdakwa dengan hukuman 10 tahun penjara subsider enam bulan kurungan dan denda Rp. 100 juta.
Mengingat perbuatan pelaku yang tak lazim dan menjijikkan serta merendahkan dan melecehkan martabat korban, dan jika melihat perbuatan pelaku terhadap korban dilakukan berulang sejak korban berusia sembilan tahun hingga dewasa dan sadar pula dilakukan kepada anak. Sesungguhnya tuntutan 10 tahun pidana penjara yang dijatuhkan JPU kepada pendeta Hanny Layantara masih sangat ringan.
Komnas Perlindungan Anak sebagai lembaga independen di bidang Perlindungan Anak, yang diberi tugas untuk melakukan pembelaan dan perlindungan anak di Indonesia, tetap saja mengapresiasi JPU atas tuntutannya.
“Bukanlah besar kecilnya tuntutan Jaksa terhadap terdakwa, namun peristiwa dan tuntutan JPU terhadap seorang pelayan gereja hendaknya menjadi pelajaran dan evaluasi berharga bagi warga jemaatnya serta pengelolah gereja sebagai institusi agar peristiwa yang sama tidak terjadi dilingkungan sosial keagamaan di seluruh Indonesia, apapun latarbelakang agamanya,” demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak melalui keterangan persnya di kantornya, Rabu (16/09/20, menanggapi tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang didakwakan kepada Hanny Layantara, pendeta di salah satu Gereja HFC di Surabaya.
Sementara itu, Abdurrahman Saleh selaku penasehat hukum terdakwa di luar sidang membenarkan bahwa tadi ada pembacaan tuntutan oleh JPU yang memutuskan tuntutan 10 tahun penjara kepada Hanny Layantara.
Abdurahman Saleh menyampaikan, besar kecilnya tuntut yang didakwakan kepada sang pendeta itu merupakan hak selaku penuntut umum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan sehingga pihaknya selaku pembela terdakwa tidak patut mengintervensi tuntutan Jaksa.
Sebagaimana sudah beredar kisahnya di tengah publik, diketahui kasus dugaan pencabulan yang dilakukan yang didakwakan kepada Hanny Layantara berawal ketika korban berinisial BW (26) akan melangsungkan pernikahan.
Keluarga Ibu menyampaikan bahwa pemberkatan pernikahan akan dilangsungkan di gereja yang dipimpin pendeta Hanny Layantara, namun BW bukan inisial sebenarnya, menolak keras jika pemberkatan dipimpin pendeta Hanny Layantara.
BW ternyata menyimpan trauma berat atas perbuatan bejat sang pendeta kepada dirinya. Akhirnya BW diwakili aktivis gereja Jenni, membuat laporan ke Polda Jawa Timur pada 20 Februari 2020 dengan LPB/155/II/2020/UM/ SKPT/ Polda Jatim pada hari Sabtu 7 Maret 2020.
Ata laporan itu, sang pendeta akhirnya dibekuk jajaran Direskrimum Polda Jawa Timur di rumah teman yang ada di Waru Sidoarjo Jawa Timur. Saat itu tersangka yang telah dinyatakan buron tersebut disinyalir hendak melarikan diri ke Amerika.
Atas tuntutan JPU ini, demi kepentingan terbaik dan keadilan hukum bagi korban, Komnas Perlindungan Anak sangat berharap dan menaruh kepastian hukum bahwa hakim akan menimbang dan memutuskan perkara kejahatan seksual luar biasa ini setimpal dengan perbuatan pelaku.
Bagi Komnas Perlindungan Anak, mengingat kejahatan seksual yang dilakukan Hanny Layantara berulang, sejak korban berusia sembilan tahun hingga usia dewasa dan sadar betul bahwa korbannya adalah anak yang tak berdaya dan lemah, maka sesungguhnya pelaku dapat juga dikenakan hukuman pemberatan berupa “Kastrasi” atau kebiri lewat suntik kimia dan pemasangan cip pemantau setelah pelaku menjalani pidana fisik 10 tahun. “Namun demikian apapun yang akan diputuskan hakim untuk suatu keadilan, akan kita hormati, mari kita tungguh keputusan hakim pada sidang berikutnya, biarlah hukum berlaku untuk semua Justice for All),” jelas Arist. (HM)