Inkonstitusional: Pembahasan dan Pengesahan RUU OTSUS Tanpa Melibatkan Lembaga MRP/MRPB
Suaratapian.com JAKARTA-Sejak awal masyarakat Papua dan Papua Barat yang telah disepakatan pemerintah mewakili masyarakat yaitu MRP dan MRPB. Merekalah yang selama ini memberi rumusan dan solusi bagi pemerintah pusat dalam mensejahterakan Papua. Namun wewenang MRP dan MRPB diamputasi kewenangannya. Atas hal itu MRP dan MRPB mengajukan uji sengketa kewenangan ke Mahkamah Konsitusi. Namun melihat perkembangan yang terjadi. Atas hal itulah Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB, dalam hal ini mewakili Majelis Rakyat Papua dan MajelisRakyat Papua Barat sebagai principal dalam perkara SKLN melawan Presiden Republik Indonesia menggelar konferensi pers sehubungan dengan adanya Penarikan Kembali Permohonan SKLN, digelar secara daring, Rabu, (21/7/21). Mulai pukul 13.00 Wib.
“Penarikan Kembali Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan MRP/MRPB berkaitan dengan Perubahan Kedua UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat,” ujar Saor Siagian, Ketua Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB.
Dalam Pernyataan Pers, disebut Penarikan Kembali Permohonan SKLN “Pembahasan dan Pengesahan UU No. 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otsus Papua Inkonstitusional.”
Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB saat menggelar konferensi pers yang dipandu Alvon Kurnia Palma. Dia memberi kesempatan pada jurnalis yang hadir dan menyampaikan berbagai pertanyaan. Diantaranya, pertanyaan, bagaimana legal standing gugatan tersebut yang prosesnya tidak melalui rapat pleno dan tak melibatkan semua anggota MRP/MRPB yang berarti terkesan dipaksakan?
Lalu, bagaimana MRP sebagai Lembaga Kultural kenapa terlalu jauh mengurusi politik dan terkesan seperti memiliki agenda terselubung mengarahkan masyarakat untuk Separatis? Melalui kuesioner RDP yang mengarahkan ke arah isu Papua Merdeka? Ada juga yang bertanya, jika dilawan dari sudut pandang lain, perlawanan seperti apa akan dilakukan? Mengapa tak lanjut saja di MK? Mengapa harus ditarik gugatannya?
Konferensi pers ini hadir; Saor Siagian, S.H., M.H., Imam Hidayat, S.H., M.H., Ir. Esterina D. Ruru, S.H., Dr. S. Roy Rening, S.H., M.H., Rita Serena Kolibonso, S.H., LL.M, Lamria Siagian, S.H., M.H., Ecoline Situmorang, S.H., M.H., Alvon Kurnia Palma, S.H.,M.H., dan Haris Azhar, S.H., M.A. dalam hal ini mewakili Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat sebagai principal dalam perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) melawan Presiden Republik Indonesia dalam register Perkara Nomor 1/SKLN-XIX/2021.
Disebutkan, dalam sengketa ini, awalnya sidang pendahuluan secara daring (online) atas SKLN ditunda berdasarkan Surat Mahkamah Konstitusi Nomor 2.1/SKLN/PAN.MK/PS/7/2021, tertanggal 3 Juli yang seharusnya berlangsung hari Senin, tanggal 5 Juli 2021. Akan tetapi, atas alasan pencegahan dan penanganan penyebaran virus Covid-19, MK mengundur sidang dengan waktu yang ditentukan kemudian.
Atas penundaan ini, kami menyatakan keberatan dan MK menjadwalkan ulang sidang pendahuluan menjadi jam 11.00 WIB hari Rabu tanggal 21 Juli 2021 melalui surat Nomor: 3.1/SKLN/PAN.MK/PS/7/2021, tertanggal 8 Juli 2021.
Karenanya, sidang hari ini (21/07/2021) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan telah dimulai pada pukul 11.00 Wib. Sidang pimpin oleh Prof. Aswanto dan dihadiri oleh Kuasa Pemohon dan Principal (Timotius Murib, dkk). Sedangkan Termohon (Presiden RI) diwakili oleh Menteri Polhukam, Prof. Mahfud. M.D, Menteri Dalam Negeri, Prof. Tito Karnivian dan Wakil Menteri Hukum dan Ham, Prof. Edward O.S., Hiariej.
Dalam persidangan Kuasa Hukum Pemohon, Rita Serena Kolibonso, SH., L.LM. membacakan Surat Penarikan SKLN yang sudah disampaikan kepada MK RI pada tanggal 19 Juli 2021. Atas penarikan SKLN ini, Pimpinan Sidang Prof. Aswanto, menerima surat tersebut dan sidang ditutup dan dinyatakan selesai.
“Kami tetap menilai, pembahasan/pengesahan RUU OTSUS terkesan terburu-buru dan terkesan sangat dipaksakan dengan tanpa melibatkan
lembaga MRP/MRPB telah menciderai hak-hak konstitusional MRP dan MRPB yang merupakan representasi kultural Orang Asli Papua (OAP),” Saor Siagian yang juga ketua
Dia menambahkan, seharusnya penyelesaian permasalahan SKLN ini, sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu melalui forum konstitusional (MK) sebagai forum yang terhormat dan bermartabat dalam memperjuangkan hak-hak konstitusional OAP sebelum adanya pengesahan RUU Otsus. Akibatnya, oleh karena Perubahan Kedua UU Otsus ini tidak aspiratif/partisipatif dari OAP telah mendapatkan perlawanan/penolakan hampir sebagian besar rakyat di Provinsi Papua dan Papua Barat.Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas.
Oleh karena iti, tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB memberikan pernyataan pers sebagai berikut:
1. Bahwa Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB setelah melakukan rapat koordinasi/konsultasi dengan principal dan memperhatikan relevansi serta kepentingan konstitusional atas permohonan SKLN dengan mencermati hasil pengusulan, pembahasan, dan pengesahan dan pengundangan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 19 Juli 2021 dan kemudian telah diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Hukum dan HAM RI. Atas dasar itu, kami telah mengajukan Surat kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, untuk melakukan PENARIKAN KEMBALI permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dalam register Perkara Nomor 1/SKLN-XIX/2021 dan telah dibacakan dalam persidangan MK hari ini, Senin, 21/07/2021, sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) PMK No.08/PMK/2006.
Selanjutnya, usulan Perubahan Kedua UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua didasarkan pada Surat Presiden (Surpres) Nomor: R47/Pres/12/2000 tertanggal 4 Desember 2020 yang ditujukan kepada
Ketua DPR RI sama sekali tidak memperhatikan aspirasi Rakyat Provinsi Papua (OAP) melalui MRP dan MRPB. Begitupun, pada saat pembahasan RUU ini di Tim Pansus/Panja Otsus Papua di DPR RI tentang Perubahan kedua UU Otsus, rakyat Provinsi Papua (OAP) sama sekali tidak dilibatkan/didengarkan aspirasinya dalam proses pembahasan perubahan kedua UU Otsus. Padahal, MRP dan MRPB sebagai lembaga negara (Desentralisasi Asimetris) sebagaimana diatur
dalam UU No. 21 Tahun 2001 secara konstitusional diakui keberadaannya dalam Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945.
3. Bahwa perlu kami sampaikan, sesuai ketentuan Pasal 77 UU Nomor 21 Tahun 2001 menyatakan bahwa “Usulan Perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perunang-undangan.” Ketentuan pasal ini dapat bermakna bahwa setiap perubahan undang-undang otonomi khusus harus dimaknai sebagai kewenangan khusus yang diberikan oleh pembentuk undang-undang kepada rakyat Papua untuk mengusulkan perubahan undang-undang otonomi khusus (Desentralisasi Asimteris).
Artinya, dengan adanya pemberian otonomi khusus ini, pembentuk undang-undang memberikan hak kekhususan pada kesempatan pertama kepada rakyat Provinsi Papua untuk mempergunakan haknya untuk mengusulkan perubahan undang-undang OTSUS.
Secara prosedural, semestinya Majelis Rakyat Papua dan DPRP yang memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan hak usul perubahan dari rakyat Papua tersebut kepada DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang sebagaimana pasal 20 ayat (1) UUD 45 atau Pemerintah dalam hal ini Presiden yang berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Selanjuntya, secara prosedural rancangan undang-undang tersebut dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama sebagaimana dimaksud Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
Dengan demikian, kami berpendapat, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan pengusulan perubahan UU, pembahasan dan pengesahan Perubahan Kedua UU Otsus Provinsi Papua yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang (DPR RI bersama-sama dengan Pemerintah) dengan tanpa memperhatikan aspirasi/partisipasi rakyat Papua melalui prosedur lembaga MRP dan MRPB sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 77 UU Nomor 21 Tahun 2001 dapat dikualifikasi sebagai perbuatan abuse of power yang dilakukan oleh penguasa dalam hal ini pembentuk UU.
4. Bahwa Kami Tim Hukum dan Advokasi, menegaskan, bahwa secara yuridis-konstitusional, pengusulan perubahan materi RUU, Pembahasan dan Pengesahan Perubahan Kedua RUU Otsus Bagi Provinsi Papua tidak memenuhi syarat formil (cacat prosedur) dan material RUU Perubahan Kedua Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (material RUU bukan aspirasi Rakyat Papua) bertentangan dengan UU Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua jo. Pasal 18A ayat (1) jo. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 (Inkonstitusional). (HM)