Ir. Kadiman Pakpahan, MM: “Kita Terlalu Memuji ‘Budaya Bungkus’ Sesungguhnya Itu Kebodohan”

Sumbernya dan caranya bagaimana, begitu?

Ini sedang kita lakukan gerakan sadar gizi untuk itu supaya lahir orang-orang cerdas ke depannya, dengan kecerdasan yang tinggi ini kita harapkan tentu rasionalitas akan lebih menonjol dibandingkan perasaan-perasaan sentimental, seperti mengultuskan, memuja-muji. Artinya bagaimana pun kecerdasan ini sangat mendukung, makanya kita kenal kecerdasan, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan sosial. Tentu kita bangun dulu kecerdasan intelektualnya supaya nanti yang berikutnya menyangkut hati nurani. Tentu hati nurani yaitu sentimental, karena kurang rasional akhirnya hati nurani jadi sentimental. Terlalu muja-muji dan sebagainya, kadang lupa dia memberi salam hormat kepada orang tua yang besarkan, melahirkan dia, lebih memutuskan pimpinan ataupun presiden, bahkan lupa sama Tuhannya memuji, yang dipuji adalah malah manusia.

Tentu yang kita bangun minimal dari sisi kecerdasan intelektualnya, terus menyangkut keadaan, pekultusan ini. Jadi kalau kita runut ke belakang, misalkan orang hanya lihat di permukaan, hanya melihat mungkin belakangan, kalau kita lihat misalkan seperti apa kunjungan wisata prioritas itu yang meletakkan dasarnya itu. Kalau kita lihat almarhum ekonom almarhum Rizal Ramli, sebenarnya pesannya letakkan dasarnya, terus baru pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur bagi saya ini banyak tumbalnya. Pertama tumbalnya adalah korban stunting 17 provinsi di Indonesia. Saya perkirakan ini menjadi potensi nanti Indonesia 45, Indonesia emas. Saya perkirakan ada 30% angkatan kerja kita saat itu hanya siap jadi tukang sapu.

Ini datang dari mana?

Ini korban-korban stunting dan saya ini perkiraan, kalau tidak ada treatment-treatment, perlakuan-perlakuan yang exstraordinary yang luar biasa sebelum 2045 itulah perhitungan saya. Walaupun orang mengatakan itu terlalu pesimis, katanya. Jadi ini tentu menambah kesedihan. Bangsa ini, negara ini kita bangun buat siapa sebenarnya? Buat rakyat. Saya lihat misalkan buta huruf masih ada, yang sangat menyakitkan kemarin itu korban anak-anak meninggalkan karena salah obat, tambah lagi sekarang rumah-rumah yang hampir roboh. Sebenarnya persoalan bukan infrastruktur tetapi infrastruktur yang dasarlah sangat produktif, yang harus dinikmati oleh sebagian besar negara Indonesia. Jadi memang soal kecerdasan tadi, jikalau kita lihat berapa persen sih yang rata-rata berpendidikan, hampir 80% itu apa tidak tamat SMP, bagaimana kita mengajak untuk kritis jika lebih banyak yang tak berpendidikan, yang ada akan sentimen.

Walaupun sebenarnya 7 tahun yang lalu sebenarnya sudah saya prediksi keadaan ini. Waktu itu saya berbicara soal mau periode kedua presiden, sekarang sayang si kawan saya yang dulu dia seorang intelijen, sudah meninggal, sempat saya berdebat, sudah kita perkirakan akan terjadi ini. Penampilan yang kelihatannya sederhana memang dikagumi banyak orang oleh karena budaya bungkus, kita masih menganut budaya bungkus. Sebelumnya penampilan rapi, ternyata masyarakat sudah mulai jenuh datang lagi yang kontradiksi yang sangat sederhana. Kita masih berkutat di budaya bungkus.

Mengapa masih berkutat di budaya bungkus?

Oleh karena tadi, unsur rasionalitas kita, kecerdasan kita masih rendah. Kalau saya melihat slogan-slogan masih laku dijual. Janji-janji masih laku dijual. Iming-iming dan sebagainya masih dipercaya. Jadi pelaku-pelaku kelihatannya kulit-kulitnya, dipoles-poles di luar kelihatan kayak perlu, yang kita perlu esensi, esensi manusia di mana hati nurani dan pikirannya jernih.

Apakah hati nurani terbangun dengan baik, dan benar, pikirannya terbangun dengan cerdas dan sebagainya. Sekarang ini walaupun sebenarnya sudah mulai ada pergeseran dan dengar melalui itu, orang-orang yang tadinya seperti di Kawasan Danau Toba (KDT) orang sangat-sangat mengidolakan presidennya, sekarang kelihatannya sudah mulai bergeser, banyak mengatakan, sangat-sangat kecewa 9 tahun, kita sangat-sangat mengidolakan, membanggakan tetapi di hitungan detik terakhir banyak perubahan.

Itulah jadi istilah saya, saya katakan begini tidak perlu sampai 2 tahun untuk menghancurkan demokrasi di Indonesia, hanya beberapa bulan demokrasi itu berantakan, sudah capek-capek diperjuangkan di era reformasi, kebetulan kita juga ikut di reformasi di peristiwa 27 Juli berlanjut terus ke peristiwa apa 1998, kita mimbar bebas dari kampus ke kampus. Melihat keadaan ini merasa miris, prihatin, bukan ini sebenarnya yang kita harapkan.

Kadiman sejak tiga tahun lalu sudah aktif mencegah stunting di Kabupaten Samosir dengan membantu telor pada warga

Sebagai politisi yang berjuang untuk mencalonkan diri terpilih di Kabupaten Samosir dari partai yang bertepatan juga calon presidennya dari PDI Perjuangan. Jikalau kita melihat tadi fenomena yang terjadi massif dan mayoritas orang Batak juga sepertinya dalam tanda ketik masih sor melihat, bahwa apa yang dicenderungkan atau karena anak dari Jokowi itu adalah Gibran, kemungkinan masih banyak memilih pilihan daripada Jokowi. Apa tantangan sebagai Caleg dan perjuangan di kawasan Toba?

Sebenarnya sudah mulai terjadi pergeseran, boleh katakan bangsa Batak ini kan termasuk juga kumpulan orang-orang yang kritis. Jadi sebelum terjadi pergeseran, saya dapat apa info dari lapangan, katanya, ada dari paslon tertentu sudah bagi-bagi pelet, makanan ternak. Jadi sempat memancing perubahan aura itu, dan juga itu akan melanjutkan perjuangannya presiden sekarang. Ada ibu-ibu tidak dapat pelet karena dia tidak memelihara ternak, akhirnya dia bilang begini, “bagaimana kita mau maju, makin peletlah karena sudah dikasih pellet,” katanya. Artinya kalau dibilang pellet, apa itu dia tidak bergerak, tidak dinamis. Minta apa disuapin. Saya waktu itu mendengar itu tertawa. Saya lontarkan jangan-jangan karena tak kebagian, makanya perkata itu saya sampaikan.

Iya, itu tadi budaya Batak bungkus itu perlu diperbaiki, diperbagus, dipercatik. Jangan hanya slogan dibuat bagus-bagus, banyak juga teman-teman yang juga saya koreksi, sebenarnya bikin slogan yang masuk akallah. Ada yang mengatakan, bergegas membangun Samosir, katanya, membangun Samosir begitu Bupati tidak berani bikin slogan seperti itu. Bagi saya langsung saya kritik, sudah bikin apa sih, sudah punya modal tidak membangun? Kadang-kadang slogan-slogan ini yang masuk akallah.

Kalau dikatakan kayak dari dulu hampir 100%  memilih Jokowi, sekarang agak berbeda. Di Samosir saja misalnya PDI Perjuangan masih mengakar. Jadi kita mengharapkan nanti makin rasional masyarakat dalam memilih. Artinya, kalau bisa menolak pemberian orang yang selama ini mempengaruhi orang memilih oleh karena TTR. Pilihlah yang menurut kita baik, dengan petunjuk hatinurani supaya memilih yang tepat.

Jadi kalau bagi saya, kalau melihat perkembangan ini sebenarnya bukan bukan karena soal urusan PDI Perjuangan, tetapi kalau saya lihat belakangan ini jauh ke mana-manal, kalau dikatakan PDIP ini mundur, tidak juga. PDIP itu punya massa yang militan. Artinya yang militan itu minimal puluhan juga, yang setia, bisa bergerak dan bisa menjadi pejuang demokrasi yang luar luar biasa.

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 + 14 =