Ir. Leo Nababan: “Unang Politiki Hamu Huria i”

suaratapian.com Ada ungkapan dalam bahasa Latin tentang spirit pembaharuan gereja menyebut “ecclesia reformata semper reformanda.” Paling tidak, jika diartikan secara bebas berarti; gereja yang reformator adalah gereja yang terus mereformasi diri. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai anggota sinode pertama di Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) tentu juga menyadari benar ungkapan tersebut. Di HKBP sendiri, tentu telah banyak hal positif yang sudah dilakukan, termasuk memberi ruang pada kaum perempuan menjadi pucuk pimpinan di HKBP. Paling tidak, dua dari lima pucuk pimpinan HKBP saat ini adalah perempuan, yang di organisasi gereja lain masih menutup pintu kesempatan untuk itu. HKBP tentu menyadari terus menerus untuk memperbaharui dirinya, salah satu diantaranya adalah mengamandemen Aturan dan Peraturan HKBP.

Ir Leo Nababan (Tokoh Nasional), yang juga anggota jemaat di HKBP Jalan Jambu ikut memberi tanggapan terhadap naskah atau draf aturan dan peraturan 2002 setelah diamandemen untuk ketiga kalinya itu. Beberapa waktu lalu berbincang dengan redaksi suaratapian.com dan menyampaikan pendapatnya. Demikian petikannya:

Menurut Anda apakah perlu Aturan dan Peraturan HKBP diamandemen?
Bahwa diamandemen adalah hasil keputusan Sinode Godang yang lalu, dan sesungguhnyalah memang harus dilaksanakan. Waktu itu memang ada jemaat yang hendak menolak agar tak diamandemen lagi. Namun, kembali, karena hal itu sudah menjadi keputusan Sinode Godang yang lalu, maka hal itu harus dilaksanakan. Tentu mau tidak mau keputusan Sinode Godang itu harus tetap dijalankan.

Tetapi kerap diamandemen demi kepentingan segelintir orang, urgensinya bukan karena untuk kepentingan semua….
Saya termasuk yang kecewa setelah membaca draf amandemen yang baru. Kekecewaan saya, saya nggak tahu, apakah karena saya berlatar belakang politisi melihat draf ini. Dengan rasa hormat saya katakan pada para pendeta, bahwa hal ini bukan masalah di jemaat, tetapi masalahnya ada di para pendeta. Sebab yang dibahas dan ingin direvisi di draf naskah itu dalam tanda kutif adalah yang menyangkut soal kekuasaan. Karena itu saya mengkritisi. Saya mempertanyakan kapan di Sinode Godang membahas berbagai hal yang perlu untuk HKBP, termasuk masalah dogma pembimbingan kaum muda. Kalau yang dibahas intinya adalah soal syarat menjadi ephorus atau bagaimana menjadi sekjen, saya merasa kita lari dari tujuan kita. Organisasi gereja bukan ormas. Ini juga bukan orpol, tetapi ini institusi gereja.

Lalu, apa yang hendak Anda sarankan?
Jelas saya kritisi Sinode Godang yang tidak membicarakan tentang Sekolah Minggu HKBP ke depan. Satu kegundahan saya, sekarang di Sekolah-Minggu tak diajarkan lagi soal Buku Ende. Misalnya, kalau kita ke Dolok Masihul atau ke Dolok Sanggul di sana tak diajarkan lagi Buku Ende. Yang diajarkan adalah lagu-lagu seperti “kingkong badannya besar tapi kakinya besar..’” dan lagu-lagu yang lain. Bukan nggak boleh. Dulu, saya masih ingat, anak-anak Sekolah Minggu diajarkan tentang kesahduan. “Namartungko sere ahu..” bahasa Batak. Lama-lama jika situasi ini diteruskan anak-anak Sekolah Minggu HKBP tidak ada lagi yang memahami Buku Ende.

Maksud Anda, bagaimana anak-anak tersebut bisa mencintai HKBP jika dia tidak dibimbing dengan bahasa Batak?
Itu makanya, sebagai anggota jemaat HKBP, menurut saya justru hal-hal seperti inilah yang paling esensial dibahas di Sinode Godang, bukan masalah jabatan.

Barangkali jika positif thinking untuk merevisi poin-poin yang tak aktual lagi di butir-butir Aturan dan Peraturan?
Tentu, semua organisasi di dunia ini tidak ada yang baku. Menurut saya, dimaksimalkan dulu melakukan Aturan dan Peraturan yang sudah ada. Baru kalau ada kekurangan poin-poin yang perlu diperbaiki diamandemen. Jangan diamandemen untuk kepentingan kelompoknya. Jika mengacu penyelasaan di diskusi itu, jelas selama ini belum semua poin-poin itu dilakukan.

Lalu, apa lagi hal yang mesti dilakukan?
Banyak hal yang harus dilakukan. Misalnya juga, bagaimana soal pembinaan dengan remaja-remaja, bagaimana soal Naposobulung? Bagaimana para remaja kita tak berpindah ke agama lain, hal-hal yang menyangkut urgen seperti itulah yang dibahas. Itu dong dibahas. Bukan soal kenyamanan jabatan di atas sana.

Artinya, harus beranjak memikirkan yang lebih utama?
Seharusnya kita semua harus move on dalam pelayan. Sebab inti pelayanan itu bagaimana membangun pertumbuhan dan perbaikan jemaat. Sekarang ini, sudah ada jemaat kita yang dibaptis di HKBP, disidi di HKBP, diberkati pernikahannya di HKBP, tetapi tak lagi bergereja di HKBP. Mengapa? Karena pendeta dan parhalado tak lagi benar-benar menjalankan inti pelayanan kepada mereka. Kalau hal ini tidak “diperhatikan” hal ini akan membesar menjadi masalah di kemudian hari.

Artinya terdaftar di HKBP tetapi pembinaan imannya di gereja lain. Mengapa demikian, sebab pelayanan yang ada tak lagi berbeda dengan pelayanan di parpol.  Kalau sudah sedemikian jauh, ada pergeseran yang terjadi di HKBP sehingga Anda meneropong demikian. Apa yang membuat?

Saya lahir di kampung dan dibesarkan orangtua, ayah saya seorang Guru Zending. Jadi, sejak kecil saya terus mengikuti pelayanan di HKBP terutama Sinode Godang. Informasinya tentu saja bisa didapat dari beragam media dan media sosial. Asal hendak digelar Sinode Godang, saya merasa selalu ada hal yang perlu dikritisi. Saya merasa sekarang ada pergeseran nilai yang terjadi.

Anda melihat pergeseran nilai itu, kalau demikian apa yang harus dilakukan?
Pesan saya adalah kembalikan Sinode Godang itu, ke inti terdalam. Bisa kita banyangkan misalnya, penduduk negeri kita ini lebih dari 259 juta jiwa (data terakhir). Tetapi, yang bersidang di Gedung DPR mewakili seluruhnya hanya 560 orang saja. Bandingkan dengan HKBP. HKBP hanya 4, 5 juta jiwa tetapi yang berkongres lebih dari 1500 orang di Sinode Godang. Bisa kita banyangkan ngga bahwa yang bersidang di Sinode Godang itu bukan hanya pendeta, tetapi sintua dan utusan jemaat.

Menurut pendapat saya, hal itu tak perlu lagi dilakukan di Sinode Godang yang akan datang. Seharusnya cukuplah mewakili Sinode Godang itu hanya para pendeta resort. Apalagi urusannya untuk memilih pucuk pimpinan. Jika mereka yang bersidang untuk memilih pemimpin, sudah tentu mereka lebih tahu siapa-siapa saja calon yang punya reputasi bagus, atau sosok yang pintar di kalangan mereka.

Mengapa demikian?
Sebab mereka saling tahu karena mereka dari Sekolah Tinggi Teologia. Sudah tentu mereka tahu senior atau juniornya yang punya gagasan dan pemikiran yang bagus memimpin HKBP. Intinya karena mereka sama-sama satu latar belakang pendidikan teologia. Berbeda jika hak suara memilih ada juga dari utusan jemaat yang tak mengenal calon pemimpin, lalu ikut memimpin, sudah tentu mereka tak bisa objektif. Justru disanalah titik krusialnya, karena jemaat yang tak mengenal pigur dilibatkan memilih.

Apakah Anda melihat disini pergeserannya?
Salah satunya. Kalau sistim yang lama digunakan tentu akan ada lagi kelompok yang membuat tim sukses. Maka, jangan lagi ada tim sukses. Sebab yang dicari bukan calon pemimpin, jabatan politik. Tetapi, sosok imam yang bisa memimpin umat. Jika di partai politik berpolitik itu silakan, dan memang itu wadahnya. Tetapi kalau di lembaga gerejawi berpolitik inilah pergeseran nilai. “Unang politiki hamu huria i.” Selama ini, Sinode Godang terkesan tak teduh karena non pendeta lebih banyak suaranya dibanding dengan suara pendeta. Kalau sudah demikian, hilanglah kekudusan Sinode Godang. Jadi, sekiranya saran ini dilakukan mereka yang ikut Sinode Godang hanya pendeta, maka mereka akan bisa memilih yang lebih baik.

Salah satu permasalahan adalah soal penempatan pendeta. Pendeta yang baru lulus bisa melayani di kota karena ada akses untuk mempengaruhi pucuk pimpinan, bisa karena keluarganya yang berpengaruh?
Itulah. Semestinya semua pendeta-pendeta yang muda mestinya ditempatkan di desa dan dusun-dusun. Mereka yang sudah senior ditempatkan di kota-kota hingga kemudian pensiun.

Agar apa?
Agar mereka juga semua melalui proses. Jangan karena ada beking dan relasi di pusat, masih baru lulus STT sudah ditempatkan di kota. Dan inilah sesuatu yang terjadi, ada semacam hal yang belum bisa diterapkan dengan tegas soal penempatan pendeta. Kalau itu yang dilakukan tidak ada lagi kocoisme.

Tetapi selama ini merebut di kota karena gula lebih banyak di kota?
Benar. Jika para pendeta menjalankan “tohonan” tugas panggilan pelayanannya dengan ikhlas, saya yakinlah anak cucunya akan diberkati. Sebab dari para pendeta kata-kata ini kita dapat, bahwa mereka yang mengantungkan hidupnya benar-benar kepada Tuhan niscaya tidak akan diterlantarkan. Pokoknya asal ada penyerahan diri yang total pasti diberkati Tuhan.

Masalahnya sekarang, tidak sedikit pendeta yang berani mengkotbahkan jangan kuatir tetapi dia sendiri yang kuatir dalam hidupnya?
Saya yakin dan saya sangat imani siapa yang menyerahkan diri kepada Tuhan, anak cucunya tak akan terluntah-luntah, pasti diberkati Tuhan. Sebaliknya, jika merekayasa firmanNya untuk kepentingan dirinya sendiri, maka sudah banyak fakta, bahwa mereka menerima upah mereka. Intinya sebenarnya, tidak boleh ada pendeta punya alasan dan ragu ditempatkan di mana pelayanannya. Saya sudah melihat dengan mata kepala saya sendiri, orang-orang yang melayani tetapi orientasinya material. Hidupnya tak menjadi berkat dan keturunannya rusak. Saya kira itu. Dan mohon maaf jika ini dianggap terlalu keras. Tetapi dari hati saya yang paling dalam sebagai jemaat HKBP yang rindu ada perubahan di HKBP.

Lalu, bagaimana keterlibatan jemaat di Sinode Godang?
Sebenarnya, mudah saja. Misalnya, sebelum rapat pemilihan pucuk pimpinan, diundang beberapa orang yang mewakili jemaat; dari generasi muda sampai generasi yang sudah manula. Bisa mewakili dari pejabat, dari politisi dan akademisi dan yang lain-lain. Ide mereka disampaikan padangannya untuk ditampung di Sinode Godang. Jadi, bukan keterlibatan jemaat memilih. Memberi saran-saran itu keterlibatan jemaat. (Hojot Marluga)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

3 + 19 =