Paul Sihombing; Meditasi Mengajak Mengenal Tuhan
suaratapian.com-Nenek moyang suku Batak sudah mengenal sebuah bentuk doa yang dilakukan secara individual, hening, dan tenang. Dalam doa tersebut, Tuhan, yang dalam religi Batak disebut Mulajadi Na Bolon, “hadir” secara spiritual dan misteri (marhahomion) dalam diri si pendoa. Hal itu terjadi karena mereka yakin bahwa salah satu sifat Tuhan adalah transenden sekaligus imanen, yang tampak pula dalam mitologi penciptaan alam semesta (kosmogoni) dan penciptaan manusia (antropogoni). Sementara itu, Pusuk Buhit dipercayai sebagai gunung sakral kar ena merupakan “jalan” penghubung dunia atas (surga) dan dunia tengah (bumi).
Ritual doa sangat dikenal dalam religi nenek moyang Batak, yang disebut tonggo. Ritual ini dapat dilakukan secara komunal atau pribadi. Artinya, orang Batak sudah mempunyai doa meditasi. Tidak hanya itu, nenek moyang Batak bahkan, sudah menjalin hubungan personal dengan Sang Pencipta. Launching buku yang ditulis Polmas Sihombing berjuduk Hohom Marhahomion menjelaskan itu. Bertempat di Partondungan Homestay, House of Meditation, Desa Siriaon-Parbaba, Pangururan, Samosir, pada Sabtu, 15 Oktober 2022. Di sela-sela acara, sebagai pelaku meditasi dan Partondungan Homestay, House of Meditation, mantan Pastor Paul Sihombing ini berbincang-bincang dengan Hojot Marluga. Demikian petikannya;
Tolong cerita apa niat awal mendirikan homestay ini, tidak biasa, bagi kita tempatnya ini, unik, begitu baik, bisa cerita?
Saya sudah lama bermeditasi. Saya kurang lebih 15 tahun bermeditasi dan saya lakukan itu dengan tekun. Dan, pasti setiap orang bermeditasi pasti ada buahnya, ada hasilnya, yang pasti siapa yang ingin mengembangkan meditasi dia ingin memberikan kepada orang lain, karena dia sendiri sudah merasa manfaatnya. Setelah saya pensiun di kerja di Surabaya, adalah niat saya mengembangkannya.
Saya ingin hidup saya bermakna di sisa usia saya, bagaimana bermakna untuk orang lain, karena saya tahu seperti tadi pembicaraan kita, orang paham apa meditasi itu, iya mau merubah diri kita, kita tak cukup hanya membaca knowing tetapi bagaimana menjadi being, menjadi karakter, dan proses dari knowing ke being itulah melalui meditasi. Jadi, itu sudah teori belajar yang sangat umum.
Itu artinya orang tak boleh hanya berhenti dalam teori, harus praktik?
Betul. Jadi tadi, knowing menjadi being, dan itulah yang harus dilakukan. Betul dan itulah yang terjadi. Banyak orang pintar di negara kita, banyak orang hebat, tetapi yang dia pelajari itu hanya tinggal di otak. Itulah pikiran kita, ego kita memanfaatkan itu. Jadi, jikalau kita sudah mengalami kehadiran Tuhan dalam diri kita, maka apa yang kita punya, apa yang kita tahu, itu akan kita share, bagikan.
Artinya, bekerja Melakukan semua pekerjaan dengan sepenuh hati, seolah-olah melakukannya untuk Tuhan dan bukan untuk manusia?
Tidak. Kita tidak harus punya pelatih. Maka setiap berita atau yang konsisten kita lakukan, akan mengalami seperti itu.
Tetapi, kenapa Pak Sihombing banyak yang tendensius kalau orang menyebut meditasi seakan-akan berbeda dengan berdoa pada umumnya?
Akan beda kalau kita tinggal di Jawa. Kalau orang Jawa pemikir, akrab dengan kata meditasi, iya sampai hari ini banyak orang biasa bermeditasi. Nah ada yang miss, ada yang salah, iya dalam persepsinya orang Batak, seakan-akan meditasi itu untuk kesaktianlah untuk mistiklah. Iya, memang awalnya dulu demikian iya. Dulu awalnya, tapi itu zaman dulu karena zaman dulu orang perlu sakti supaya bisa bertahan hidup, karena kerasnya kehidupan. Orang membekali dirinya dengan meditasi, sehingga terjadilah seperti itu, dianggap itu urusan-urusan mistik. Padahal meditasi dimiliki oleh agama-agama besar, dimiliki oleh banyak suku bangsa, di dunia ini, dan bahkan ilmu psikologi pun, ilmu pengetahuan pun mempelajari ini. Bagaimana orang menyembuhkan stress, depresi, iya salah satu terapinya dengan psikologi. Jadi, sebenarnya ini sangat universal.
Andakan berlatar belakang filsafat, teologi juga dan psikologi, karena hubungannya juga nanti dengan memimpin perusahaan….
Psikologi itu karena, ilmu itu menjadi tak secara langsung, keahlian saya untuk membekali diri saya menghadapi orang, karena saya di manajemen. Iya saya di pabrik, tetapi bukan dalam produksinya tapi mengatur, mengembangkan sumber daya manusia.
Pertanyaan berikutnya Pak Sihombing, dalam tradisi Batak, karena ini kaitannya dengan bagaimana tempat meditasi ini dikembangkan, kita ada ungkapan begini “martangiang” apa sih arti sebenarnya. Ada juga yang menganggap “martamiang” apa itu bedanya. Tangiang dan martangiang, dan yang biasa kita dengarkan martonggo, matonggo itu kan lebih ke mazab budaya. Apa yang bisa dijelaskannya, agar di masyarakat Batak juga tidak keliru. Tidak ada yang salah. Misalnya cara menyampaikan gundagulananya kepada Pencipta, apa yang bisa jelaskan?
Banyak orang terjebak di kata, pada perkataan iya, tidak masuk ke substansi, hakikat. Misalnya, orang mau menyebut, nama saya Paul. Oke. Orang menyebut saya Junian, oke. Orang memanggil nama lain. Oke saja, tergantung yang cocok dengan yang bersangkutan. Tetapi substansinya saya tetap, sama jadi itulah. Kata-kata itu hanya label, misalnya, orang langsung yang mulia, yang mencipta yang maha pusat, pencipta maha besar. Jadi apa bedanya dengan Tuhan. Apa bedanya dengan kalau kita pakai Allah atau Yahweh, karena Tuhan pun ya Yang Mulia, Tuhan yang melihat. Pencipta segala sesuatu.
Tetapi pertanyaan kalau orang memanggil nama Ompu Mulajadi Nabolon dianggap sudah menimpang…
Kita terperangkap itu milik agama dulu atau mau pakai namanya Jawi namanya, Helloween namanya Tuhan, tak masalah. Ya tidak masalah dengan Tuhan. Jadi memang itulah yang harus kita edukasi mayarakat kita. Orang Batak, memang sejak dulu disebut orang yang bertuhan nama Tuhan.
Saya merasakan itu Pak Paul. Kebetulan Pak Paul Katolik. Saya dari Protestan. Di kami Protestan itu, di kementerian Agama, dalam hal ini Bimas Kristen Protestan itu terdaftar 326 sinode. Artinya ada 326 pusat gereja. Iya dari 326 sinode itu ada 50 itu pusatnya di Sumatera Utara, yang basisnya juga orang Batak. Saya membayangkan ya orang Batak juga mayoritas Kristen ya, tetapi bagaimana kita kembali, maka di manapun agamanya kita menemukan kembali kita harus percaya kita disertai Tuhan. Berbagai cara menyembah Dia, dan filosofi berTuhan itu muncul kembali. Apa saran dari Pak Paul?
Mari kita terus belajar. Belajar jangan kita hanya seperti katak di bawah tempurung menganggap kita yang benar. Iya ada orang lain salah ya, kita harus belajar terus dan harus terus memperbaharui diri. Misalnya, saya yang mempelajari sejarah gereja. Saya pelajari mengapa Gereja Katolik berpisah dari gereja Kristen Protestan. Setelah saya pelajari, iya saya mengerti. Saya bisa memahami. Oh begitu. Lalu, saya lihat di mana kelebihannya di mana kelemahannya. Kalau orang tidak mempelajari sejarah dia anggap yang dia punya itu, yang keyakinannya itu yang betul, dan orang lain salah. Itulah perlu kita juga perlu belajar bersama.
Apa bedanya. Filsafat dengan teologi. Teologia kebenaran itu sudah diwahyukan, sudah terbungkus, sudah tersedia filsafat mempertanyakan. Akibatnya kita menghargai yang berbeda, kita tidak generalisir apa yang kita yakini, kita mengakui perbedaan. Iya, karena kita mengerti cara berpikir, dia kan orang berpikirnya, yang penting dia konsep dasar apa. Begitulah. Jadi, kita melihat dimana keindahannya, dimana kelemahannya. Itulah filsafat.