Kebersahajaan dan Ketauladanan Pelayanan Ompu i Ds. GHM Siahaan: “Tak Mengumpulkan Harta Duniawi”
suaratapian.com-Seorang hamba Tuhan, tak risau dan khawatir akan kebutuhan hidupnya. Bersih dari masalah keuangan dan kesederhanaan, itulah yang ditunjukkan Ephorus HKBP 1974-1986 Ompu i Ds. GHM Siahaan selama hidupnya. Representasi yang sangat sederhana itu sangat terkesan sekali, mudah diingat dan sulit dilupakan. Nama lengkapnya Ds. Gustav Heini Managom Siahaan. Lahir di Toba, Doloknauli, 14 Des 1917. Menikah dengan Langgam boru Simanjuntak, putri dari Gr. Konrad Simanjuntak, tahun 1944. Ds. GHM Siahaan anak dari Guru Zending Gr. Metusala dan Hermina Batubara. Pendidikannya Hollands Inlandse School (HIS) 1925-1933 di Soposurung, Balige. Meer Uitbegreid Lager Onderwijs (MULO) selesai 1936.
Lalu, kemudian mendapat beasiswa, tahun 1936 dari Ephorus HKBP, Dr. E. Verwiebe untuk Kuliah STT Jakarta, Theologi, Jalan Proklamasi Jakarta sebagai angkatan kedua 1936. Tahun 1942 dia menyelesaikan sarjana Theologia, lalu melayani di HKBP sebagai pendeta. Dan, pada 7 November 1943 ditahbiskan sebagai pendeta HKBP dan ditempatkan di HKBP Resort Sipirok. Maret 1951 menjadi pendeta ressort Medan, November 1951 arkian jadi Praeses HKBP Distrik Medan-Aceh.
Tahun 1954 mengikuti Sidang Raya, World Council of Churches di Evanston, USA. Tahun 1957, dekan Fakultas Theologia HKBP. Kemudian Oktober 1962 jadi Sekretaris Jenderal HKBP periode 1962-1968. Selanjutnya tahun 1974-1986 terpilih menjadi Ephorus HKBP, melalui Sinode Godang.
Pernah, pendeta Bakti Situmorang pernah membuat survei dan menemukan 150 Orang Paling Berpengaruh Di HKBP, disebutkan, salah satunya adalah Ds GHM Siahaan adalah pendeta sangat berpengaruh di HKBP.
Ketika menjabat dia terkenal sang ephorus dengan kecenderungan kebapakannya, sederhana hidupnya. Karenanya, salah satu yang paling dibanggakan dari kepemimpinannya bahwa pelayanannya jauh dari motif untuk uang. Hal itu dapat dilihat dalam setiap perjalanan perlayanannya. Seminimal mungkin membiayai seluruh kebutuhannya daridapa membebankan kepada gereja. Padahal sesuai dengan Peraturan Keuangan HKBP, setiap perjalanan dinas pucuk tertinggi selalu ditanggung dan dibebankan kepada kas keuangan Kantor Pusat HKBP, yang meliputi transport, wisma, uang harian dan uang makan. Dan, apabila jemaat atau lembaga yang mengundangnya memberikan uang transport, dia akan menempatkan dan mengembalikan biaya pembelian perjalanan keluar yang sebelumnya didahulukan Bendahara Pusat HKBP.
Demikian juga uang penginapan, uang harian dan uang makan, tak diambilnya lagi karena merasa sudah lebih dari cukup apa yang diberikan jemaat tersebut. Biasanya, Sekretaris Khusus Ephorus selalu melakukan perkiraan dan menjumlah uang perjalanan dinas Ephorus pada setiap awal bulan. Perjalanan dinas dapat mencapai 20 hari perbulan. Hal itu menunjukkan begitu padatnya jadwal perkunjungan yang dilakukan oleh seorang Ephorus ke jemaat-jemaat dan urusan lainnya di seluruh gereja HKBP.
Dalam suatu kunjungan di ke HKBP Pekan Baru bersama rombongan menginap di sebuah hotel sederhana. Adalah kebiasaannya untuk selalu lebih dahulu membayar semua rekening hotel dan makanan. Tatkala Sekretaris Khusus mau membayar ternyata sudah dibayar, tetapi memintanya, agar dapat nanti ditukarkan Kepada Bendahara Pusat HKBP di Tarutung, Ompu i tak bersedia memberikannya.
Dia selalu berprinsip bahwa tak baik terus menimpahkan semua biaya perjalanan kepada kas Kantor Pusat. Pengeluaran tersebut adalah atas biayanya sendiri sebagai pejabat tertinggi di HKBP seolah-olah tak mempersoalkan apakah harus Bendahara Pusat yang membayar atau tak, yang penting apabila dia memiliki uang yang cukup, dia akan rela mengeluarkan uangnya sendiri, agar tak terlalu banyak pengeluaran dari kantor pusat.
Bahkan, segala uang masuk atau uang keluar yang tidak pada tempatnya selalu dianggap sebagai awal kecenderungan tindakan manipulasi di bidang keuangan. Oleh karena itu, sejak awal sudah kelihatan sikapnya yang bersih dari masalah keuangan. Hal lain, apabila dia pergi untuk urusan pribadi dia tak akan sudi biaya-biaya yang ada dilimpahi biaya dari kantor. Sebagaimana umumnya petinggi sinode pergi dengan mobil dinas maka SPJ Surat Perintah Jalan (SPJ) tersebut harus dikeluarkan jadi biaya kantor.
Sebagai pemimpin sinode gereja, seorang pekabar Injil, haruslah melakukan apa yang dikhotbahkannya sedapat mungkin, dan sedalam mungkin. Khotbah itu disampaikan secara lembut, dengan bahasa yang datar saja, bersahaja tanpa meluap-luap, tetapi kalimat demi kalimat sangat jelas dan konkrit.
Pelayanan Di HKBP Cengkareng
Suatu hari, pada hari Minggu. 5 Mei 1985, dia mendadak. berkunjung ke HKBP Cengkareng, dia berkhotbah sekaligus membaptis. Betapa senangnya warga jemaat ketika itu, melihat kedatangannya mengunjungi HKBP Cengkareng, yang sedang giat melakukan pembangunan gerejanya. Ketika selesai ibadah Minggu, satu persatu warga jemaat datang menyalaminya. Oleh karena rasa syukur; Bendahara Huria, disusul kemudian Bendahara Pembangunan dan orangtua anak yang dibaptis memberikan ucapan terima kasih mereka.
Namun apa yang terjadi? Malah mengatakan, untuk apa ini, kenapa begini banyak? Seorang jemaat menjawab hanya sekedar ucapan terima kasih. Namun dia malah menolak. Alasannya menolak gereja tersebut masih dalam tahap membangun, dan mengatakan biarlah, saya anggap sudah menerimanya. Terimakasih, tetapi sebaiknya diserahkan saja kepada Bendahara Pembangunan Gereja.
Banyak kesaksian menyebut dia tak pernah membiarkan jemaat yang membayar makanannya. Pernah juga menolak pemberian yang tak pada tempatnya. Ketika itu, hari Rabu tanggal 24 Juni I 981. Panitia Jubileum 25 tahun kependetaan Ds. P.M. Sihombing, Sekjend HKBP mempersiapkan dua kalung emas.
Maksudnya, kalung itu akan diberikan atau diserahkan satu sebagai kenangan Jubileum kepada Jubilaris dan satu lagi kepada Ompu i. Alasan Panitia memberikan kalung itu kepada Ephorus adalah sebagai tanda syukur HKBP kepada Tuhan atas situasi HKBP yang semakin baik. Tetapi dirinya dengan tegas menolak kalung emas yang dipersiapkan Panitia Jubileum 25 tahun kependetaan Sekjend, Ds.P. M. Sihombing. Ds. G.H.M. Siahaan berkata.
Ada lagi kisah saat kunjungan memimpin Pesta di Jemaat Ompu i tidak pernah bersungut-sungut apabila tidak menerima sesuatu, uang atau bingkisan lainnya. Bukan seperti orang lain, yang mengharap diberi kenang-kenangan, cendramata, dan amplop yang berisi sejumlah uang seusai pelaksanaan pesta gereja. Dirinya selalu ikut serta dalam lelang pengumpulan dana yang dilakukan Panitia. Dengan demikian mereka lebih bersemangat. dalam melaksanakan pesta untuk menyumbang pembangunan gereja.
Berpenampilan sederhana
Penampilan dan pembawaan Ompu i selalu sederhana. Berpakaian stelan jas bersih, rapi dan elegan selalu berpakaian stelan jas, sekalipun bukan karena dia memiliki banyak stelan jas. Postur tubuhnya tergolong tinggi, berperawakan gagah, membuat setiap penampilannya selalu berwibawa. Kesederhanaannya berpakaian sudah dimulai sejak muda. Gaya penampilannya selalu berpakaian rapi, dengan sisiran rambut dibelah dua kebelakang.
Selalu berpakaian resmi pada jam-jam kantor buka, baik di rumah maupun di kantor, dalam rapat-rapat Pucuk Pimpinan atau di dalam perjalanan. Penampilan yang rapi dan bersih tersebut sudah terbiasa sejak Ompu i masih mahasiswa di HTS Jakarta. Baginya, berpakaian yang bersih, rapi dan necis bukanlah sekedar penampilan gaya, tetapi adalah sebagai cermin kepribadian, keteladanan sikap, perilaku, wibawa dan kesederhanaan.
Masih terkenang waktu beliau menjadi Dosen di Fakultas Theologia di Pematangsiantar tahun 1955, kendaraannya adalah sepeda. Semua keluarga mengetahui itu, juga para adiknya. Adiknya, saat itu direktur utama di perkebunan negara bermaksud untuk membeli sepeda motor untuknya, kemudian mereka menawarkannya. Tetapi Ompu i menjawab, “Tak perlu itu dan tidak ada uang untuk membeli itu. Sepeda saja sudah cukup. Dengan bersepeda kita sekaligus telah berolah raga,” katanya.
Nampaknya dia tak begitu memikirkan keperluan hidup sehari-hari. Keperluan hidupnya hanya yang biasa-biasa saja. Jangankan mobil sepeda motor saja dia tak punya. Akan tetapi, dia merasa dan memahami keadaannya sudah lebih dari cukup. Dia sangat memakai dan menikmati apa yang dimilikinya sendiri.
Prinsip hidup yang dianutnya adalah dengan lebih mementingkan kehidupan yang rohani dari pada kehidupan yang duniawi. Hal itu nampaknya tidak boleh ditawar-tawar. Dia konsisten menjauhi pola hidup yang materialis, hedonis dalam kehidupan pribadi dan keluarganya. Hal itu dibuktikan dalam sikap dan perilakunya di dalam keluarga, masyarakat dan pada waktu memimpin HKBP.
Baginya, seorang hamba Tuhan, seharusnya tidak risau dan khawatir akan kebutuhan hidupnya, karena dia tokh bekerja di ladang Tuhan. “Tuhan itu penuh kasih. Itu harus diyakini. Kalau tidak bagaimana kita dapat melakukan pekerjaan untuk Tuhan dengan baik?” Katanya. Dia juga pernah mengatakan, kepada istrinya, begini: ”Kita sudah dapat makan. Ada balanjo- gaji secukupnya dari HKBP; perlengkapan yang penting juga tersedia dengan baik.”
Dia juga selalu mengajak jemaat untuk mempertanyakan, apakah kita hidup dalam kemewahan baru dapat dikatakan benar-benar hidup. “Apakah kita harus hidup mewah dulu, baru kemudian memperoleh kehidupan yang sejahtera? Saya kira tidak, bukan?” Sikapnya tak mau mencari atau mengumpulkan “harta duniawi.” Karena perilaku seperti itu tidak cocok bagi seorang pelayan gereja. Oleh karena itu, dia selalu menekankan bahwa kehidupan seorang pelayan gereja harus hidup sederhana, tidak berkekurangan dan tidak berkelebihan.
Tentu untuk bisa hidup sederhana, harus melatih diri menikmatinya. Makanan khas nasi dengan sayur daun ubi yang ditumbuk, lalu kalau ada ikan teri atau ikan asin yang disambal dengan sambal cabe campur andaliman. Dia tak begitu memilih-milih tempat makan, restoran atau kedai nasi biasa. Pokoknya, restoran atau kedai nasi itu bersih, itu saja.
Apabila dia menerima suatu pemberian, baik barang atau uang kontan, dengan sebutan untuk Ompu i Ephorus HKBP, maka barang atau uang tersebut akan diserahkan kepada Bendahara Pusat HKBP. Akan tetapi, bila ditujukan kepadanya, maka itu dipahami untuk dia secara pribadi. Banyak Jemaat, Majelis Gereja bahkan Pendeta HKBP yang tak mengetahui hal tersebut. Ketika selesai acara pesta, misalnya, Panitia yang didampingi Pendeta Ressort memberikan ucapan syukur kepadanya. Maksud sebenarnya adalah untuk pribadinya, tetapi ketika menyampaikannya dikatakan kepada Ephorus HKBP, maka apa yang diberikan itu akan disetor ke Bendahara Pusat HKBP.
Demikian juga bila ketika memberikan sejumlah uang sebagai ucapan syukur atas kunjungan Ds. G.H.M. Siahaan, tetapi bila ketika menyampaikannya dikatakan, misalnya, sebagai pengganti biaya transport, maka uang tersebut absolut setor ke Bendahara Pusat HKBP. Hal itu sebenarnya pernah dibicarakan, bahwa uang, atau ucapan syukur yang diberikan, itu, sekalipun dengan sebutan kepada Ephorus HKBP, sebenarnya adalah untuk Ds. G.H.M. Siahaan pribadi. Namun dirinya tak setuju dengan pendapat tersebut.
Sikap dan pemahamannya itu sebenarnya adalah karena prinsip hidup yang dianutnya, yang tidak begitu mementingkan pemberian uang atau apa saja sebagai imbalan pelayanannya. Itulah kejujurannya.. Tanggung-jawab jabatan sebagai Ephorus dipikulnya dengan prinsip yang konsisten. Hal ini ditandai dengan sikap kejujurannya yang tak mau menyelewengkan jabatan untuk memperkaya dirinya.
Apabila dia tidak menyerahkan pemberian yang ditujukan kepada Ephorus HKBP kepada Bendahara Pusat, perbuatan ini sudah termasuk bentuk penyelewengan jabatan. Sebab, perjalanan dinas sebagai Ephorus, sepenuhnya sudah ditanggung HKBP, maka jemaat tak perlu dibebani dengan pemberian yang berlebihan. Namun apabila tokh juga memberikan sesuatu karena rasa syukur, maka sebaiknyalah itu menjadi milik HKBP, bukan milik pribadinya.
Belakangan hari memang ada perubahan, setelah jemaat mengetahui kejujuran Ds. G.H.M. Siahaan tersebut, Majelis Jemaat atau Warga Jemaat yang ingin memberikan sesuatu kepada Ds. G.H.M. Siahaan tidak lagi menuliskan jabatan Ephorus. Pada bagian depan amplop itu sudah dituliskan nama Ds. G.H.M Siahaan sebagai alamat penerima pemberian tersebut. Pemberian dengan rasa syukur tersebut adalah bentuk ungkapan berterima kasih atas pelayanan yang diberikannya yang dihormati dan disayangi oleh jemaatnya.
Oleh karena itu, perbuatan memberi adalah buah dari iman. Memang barang siapa yang memberikan ucapan terima kasihnya, mereka memberikannya tidak karena keharusan, tidak ada ketentuan jumlah, tidak pula karena terpaksa. Dengan demikian orang yang memberikan ungkapan terima kasihnya tidak merasa terbeban.
Sebaliknya, mereka yang memberikan dengan sukacita, rela dan ikhlas itu adalah karena didorong oleh rasa syukur dam terimakasih kepada Tuhan atas pelayanannya sebagai Ephorus HKBP. Gaya kesederhanaan seperti yang ditunjukkannya sebenarnya adalah merupakan bentuk perlawanan terhadap dunia konsumerisme dan materialisme sekarang ini. Jiwa dan sifat konsumerisme dan materialisme pasti tidak pantas bagi seorang pelayan gereja, apalagi pimpinan gereja.
Jemaat dan pelayan gereja tidak perlu dipengaruhi pola kehidupan seperti itu. Sebab, roh-roh materialisme dan konsumerisme dapat mengganggu pelayanan gereja. Di berbagai kesempatan, misalnya ketika memberikan kata sambutan pada suatu perayaan, kata-kata bimbingan dan khotbahnya selalu menekankan bahaya sifat konsumerisme dan materialisme.
Oleh karena itu harus diwaspadai agar jangan merasuk jiwa para pelayan gereja. Untuk itu dia menunjukkan sifat dan jiwa kesederhanaan, sebagai cermin dan teladan terhadap pelayan gereja yang lain. Ada pemikiran mereka bahwa penghasilan dan fasilitas untuk jabatan Ephorus setara dengan pejabat negara. Mereka memperkirakan bahwa biaya hidup dan fasilitas untuk jabatan Ephorus pasti mewah dan serba tersedia, sebanyak mungkin dan sebaik mungkin, baik dari segi kwantitas maupun kwalitas.
Standard pemikiran yang dipakai adalah sesuai dengan standard yang diterima oleh seorang pejabat negara. Akan tetapi Sang Ephorus menjawab pertanyaan itu dengan sederhana saja. Dia mengatakan, dalam kehidupan seorang Pendeta tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gereja menyediakan secukupnya keperluan-keperluan yang dibutuhkan.
Hidup pendeta dan keluarganya tak mungkin berkekurangan dan tidak pula berkelebihan. Sebab ukuran kurang dan lebih sangat relatif. Pokoknya berapapun yang diterima seorang Pendeta akan diterima dengan rasa syukur. Jawaban itu ternyata sangat bijaksana sehingga yang bertanya tadi tidak melanjutkan pertanyaan-pertanyaan yang lain lagi sehubungan dengan pendapatan seorang pucuk Pimpinan HKBP.
Pada rapat Majelis Pusat HKBP tahun 1980 pernah dibahas tentang perlunya HKBP melakukan penambahan gaji pelayan HKBP yang full-timer. Hal itu akan dimulai dari penetapan anggaran penambahan gaji pucuk pimpinan HKBP melalui Rapat Majelis Pusat HKBP. Sebagaimana ketentuan rapat di HKBP, apabila rapat hendak membahas tentang sesuatu yang berhubungan dengan pribadi seseorang, maka anggota rapat tersebut diminta agar keluar meninggalkan rapat tersebut. Demikianlah keluar meninggalkan rapat Majelis Pusat, dengan maksud agar mereka bebas membahas dan menetapkannya gaji Ephorus HKBP.
Karena Ompu i Ephorus menolak penambahan gaji yang tentunya mengakibatkan perubahan anggaran itu, maka kedua anggota Majelis Pusat itupun kembali ke ruang sidang. Merekapun melaporkan penolakan Ephorus tersebut dan mengatakan. “Supaya Ompu i Ephorus mau menerimanya, menurut pesan beliau rapat Majelis Pusat harus mengurangi gaji dan tunjangan beliau yang terlalu banyak ini.” Dengan demikian rapat Majelis Pusat menurunkan kenaikan gaji Ephorus itu dari yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Hasil perubahan itu diberitahukan lagi kepada Ephorus melalui kedua utusan tadi. Setelah Ompu i melihat angka-angka penambahan gaji tersebut sudah realistik, barulah ia menyetujunya. Dia bukan soal sok suci atau sok rohani, namun baginya kesederhanaan dan penuh sukacita dia layankan. Keteladanannya harus dicatat ornag Batak, khususnya HKBP, sebagai ephorus yang sederhana, berpenampilan low profile, pelayan yang tulus, melayani dengan dedikasi penuh untuk HKBP dan orang Batak. (Hojot Marluga)