Pembubaran Ormas Terlarang dan Pencabutan Hak-hak Tertentu

PEMBUBARAN ORMAS TERLARANG DAN PENCABUTAN HAK-HAK TERTENTU

A. ORGANISASI MASYARAKAT “ORMAS” :

Ormas adalah Organisasi Kemasyarakatan atau disingkat Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Dasar hukum Ormas adalah Perrpu Ormas yang telah berubah menjadi Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang.

UU RI 16 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang ini diterbitkan dengan pertimbangan untuk “Melindungi Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Bahwa Negara RI Cq Pemerintah RI, berkewajiban untuk menjaga Persatuan Dan Kesatuan Bangsa RI.

Isi dari Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang hanya terdiri dari 2 Pasal, dan menjadi 3 halaman beserta penjelasannya.

Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan ditegaskan, bahwa Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesaturan Republik Indonesia “NKRI” yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Terdapat beberapa hal tentang larangan dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan,
• Ormas dilarang menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;

• menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera Ormas;

• dan/atau menggunakan nama, lambang, bendera atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik.

• Ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan;

• melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;

• melakukan tindakan kekerasan, mengganggung ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;

• dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

• Ormas juga dilarang melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI, dan/atau menganut, mengembangkan, serta

• menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana ditegaskan dalam Pasal 60 Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud, menurut Perppu ini, terdiri atas:

a. Peringatan tertulis;

b. Penghentian kegiatan; dan/atau

c. Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Peringatan dalam Perppu Ormas

Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud, dalam Perppu ini dijelaskan, diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan. Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, Menteri (Mendagri, red) dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.

Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud, Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum, tegas dalam Pasal 62 ayat (2) Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud, menurut Pasal 80A, sekaligus diyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan).

SANKSI HUKUM BAGI ORMAS YANG TERBUKTI MELAKUKAN PELANGGARAN HUKUM :

Menurut Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan juga menegaskan, setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d, yaitu melakukan tindakan kekerasan, mengganggung ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dipidana dengan penjara pidana paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.

Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud melanggar Pasal 59 ayat (3) huruf a, dan huruf b, yaitu dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan; melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; dan ayat (4) yaitu melakukan kegiatan separatis yang mengancam NKRI dan/atau menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila, menurut Perppu ini, dipidana dengan pidana penjuru seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Ditegaskan dalam Pasal 83A, pada saat Perppu ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, bunyi Pasal II Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna H. Laoly, pada 10 Juli 2017.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Ormas akhirnya disahkan oleh DPR sebagai undang-undang melalui Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada hari Selasa tanggal 24 Oktober 2017.

B. FRONT PEMBELA ISLAM “FPI” SEBAGAI ORMAS TERLARANG :

Pada hari Rabu, tanggal 30 Desember 2020, Menko Polhukam RI Mahfud MD, telah resmi mengumumkan pembubaran organisasi Front Pembela Islam “FPI”, Dan melarang seluruh kegiatan ormas pimpinan Muhammad Rizieq Shihab termasuk larangan kegiatan, penggunaan atribut ormas FPI yang bermarkas di Petamburan Jakarta.

Pemerintah telah mengumumkan pelarangan FPI berdasar Surat Keputusan Bersama Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNPT Nomor220/4780tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Kb/3/12/2020 tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta penghentian FPI.
Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan FPI adalah organisasi terlarang dan tak lagi memiliki kedudukan hukum baik sebagai ormas maupun organisasi biasa.

Bahwa terdapat beberapa alasan yang mendasari pelarangan FPI tersebut di antaranya untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus bernegara, isi anggaran dasar FPI dianggap bertentangan dengan UU RI tentang Ormas, FPI disebut belum memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar “SKT” sebagai Ormas dan, sejumlah pengurus serta anggota FPI terlibat kegiatan kasi terorisme juga terlibat aksi tindak pidana lainnya.

Pemerintah berkomitmen akan menghentikan setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh FPI dengan dalil bahwa FPI tidak lagi mempunyai “Legal Standing” baik sebagi “Ormas” maupun sebagai “organisasi biasa”, demikian menurut pernyataan Mahfud MD.

Dalam konferensi pers itu tampak Mahfud MD didampingi oleh Menkumham RI Yassona Laoly, Mendagri Tito Karnavian, Kepala KSP Moeldoko, Jaksa Agung RI ST Burhanuddin, Menkominfo RI Johnny G Plate, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Idham Azis, Kepala BIN Budi Gunawan, Kepala PPATK Dian Ediana, Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar, dan Wamemkumham RI Eddy Hiariej.

Dalam penjelasan Mahfud MD, dijelaskan bahwa SKT ormas FPI tidak lagi diperpanjang sejal Juni 2019, akibatnya membuat FPI tidak lagi memiliki legalitas sebagai ormas terdaftar menurut undang-undang, selain itu FPI dianggap sebagai ormas yang tidak menjadikan pancasila sebagai dasar pendirian ormasnya, dan diduga mendukung dan berafiliasi dengan organisasi terorisme ISIS.

Bahwa yang cukup menarik adalah tanggapan M. Rizieq Shihab tentang Pembubaran FPI: Tenang, Bikin Baru pada hari Kamis, 31/12/2020, dimana informasinya M. Rizieq Shihab menanggapi santai pembubaran FPI, dengan menyarankan agar membentuk organisasi baru begitu FPI dibubarkan. Pesan itu disampaikan oleh anggota Tim Kuasa Hukum FPI, Aziz Yanuar,S.H., setelah bertemu Rizieq.

Kini setelah FPI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang, sejumlah petinggi FPI mendeklarasikan Front Persatuan Islam. Bahwa Ketua Umum FPI Shabri Lubis dan Sekretaris FPI Munarman adalah termasuk orang yang mendeklarasikan perkumpulan baru tersebut, sehingga pasca pembubaran FPI, terkesan hanya “Berganti Baju Dengan Nama Baru” akan tetapi substansinya sama saja dengan yang sebelumnya, hal ini jelas terkesan melecehkan keputusan dan wibawa Pemerintah RI

C. PENCABUTAN HAK-HAK TERTENTU BAGI EKS PENGURUS ORMAS TERLARANG :

Bahwa Pemerintah RI terkesan “Lumpuh” dalam menghadapi sikap & tindakan terutama dengan “Pergantian Baju/Ganti Nama FPI” tersebut dari “FPI : Front Pembela Islam menjadi “FPI : Front Persatuan Islam”, akan tetapi Orangnya / Pengurusnya itu – itu saja dan kegiatannnya pun juga telah dikumandangkan akan juga sama dengan kegiatan yang sebelumnya, lalu apa makna penetapan ormas terlarang oleh Pemerintah RI dimaksud ?!

Untuk itu, kita perlu mengingatkan Pemerintah, bahwa seharusnya Hukum adalah sebagai Alat Rekayasa Sosial “Law As A Tool Of Social Engineering” bukan hukum sebagai alat mainan organisasi masyarakat “Ormas Terlarang” !

Artinya jangan sampai Pemerintah RI kalah cerdas terhadap gertakan-gertakan dan/atau permainan Organisasi Terlarang terutama Ormas yang Bersifat Radikal dan Teroris, namun Pemerintah RI harus lebih berani dan lebih tegas dalam melakukan PENCABUTAN HAK-HAK TERTENTU dari para pelaku dan/atau mantan pengurus Ormas-ormas terlarang dimaksud.

Bahwa pencabutan hak-hak tertentu diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “KUHP” tentang Stelsel pemidanaan.

Stelsel Pemidanaan itu dibagi menjadi dua jenis, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan:

  1. Pidana Pokok terdiri dari:
  2. Pidana mati;
  3. Pidana penjara;
  4. Pidana kurungan;
  5. Pidana denda;
  6. Pidana tutupan.

b. Pidana Tambahan terdiri dari:

  1. PENCABUTAN HAK-HAK TERTENTU;
  2. Perampasan barang-barang tertentu;
  3. Pengumuman putusan hakim.

Memang penerapan pidana tambahan “PENCABUTAN HAK-HAK TERTENTU” ini merupakan jenis pidana yang bersifat menambah pada pidana pokok yang dijatuhkan oleh majelis Hakim pada Terdakwa, misalnya diterapkan kepada “Pengurus / Mantan Organisasi Terlarang” dimaksud, artinya penerapan Pidana tambahan tentang “PENCABUTAN HAK-HAK TERTENTU” tersebut mengharuskan adanya “PIDANA POKOK” yang dijatuhkan terlebih dahulu, sebelum penerapan Pidana tambahan “PENCABUTAN HAK-HAK TERTENTU”.

Bahwa pencabutan hak-hak tertentu merupakan salah satu jenis dari pidana tambahan, misalnya : “Mencabut Hak Pengurus Ormas Terlarang Untuk Membentuk Dan/atau Menjadi Pengurus maupun Anggota Ormas Lainnya”

Pencabutan hak tertentu dilakukan pada hak-hak yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP, yaitu:

  1. Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:

a. HAK MEMEGANG JABATAN PADA UMUMNYA ATAU JABATAN TERTENTU;

b. Hak memasuki angkatan bersenjata;

c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;

d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;

e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau pengampuan atas anak sendiri;

f. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.

Menurut ketentuan Pasal 38 KUHP, juga diatur mengenai batas waktu dari pencabutan hak, yaitu:

  1. Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
  2. Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup;
  3. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
  4. Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.

Bahwa pencabutan hak-hak tertentu, dijatuhkan oleh Majelis Hakim bukan bertujuan untuk menghilangkan kehormatan seseorang, akan tetapi untuk tujuan pencegahan agar seseorang “eks Pengurus Ormas Terlarang” tidak lagi melakukan perbuatan kejahatan pidana sejenis lainnya !

Bahwa seorang professional semisal : “Advokat, Notaris, Dokter” yang ketika terbukti melakukan “MALPRAKTIK/PELANGGARAN KODE ETIK” bisa dicabut hak-haknya menjadi seorang “Advokat, Notaris, Dokter”.

Adapun maksud dan tujuannya adalah agar “Advokat, Notaris, Dokter” dimaksud tercegah untuk melakukan kembali perbuatan kejatahan yang sama dan/atau mencegah yang lain untuk melakukan perbuatan yang sama agar tidak timbul korban – korban berikutnya atas Malpraktik tersebut, lalu mengapa tidak diterapkan hal yang sama terhadap Eks Pengurus Ormas Terlarang dimaksud ?!

Jadi menurut hemat saya, Pemerintah RI harus lebih tegas lagi dan segera menerapkan PENCABUTAN HAK-HAK TERTENTU yaitu segera MENCABUT HAK MEMEGANG JABATAN PADA UMUMNYA ATAU JABATAN TERTENTU khususnya mencabut hak Mantan Pengurus Ormas Terlarang Untuk Membentuk Dan/atau Menjadi Pengurus maupun Anggota Ormas – ormas Lainnya”.

Dengan demikian, kedepan tidak akan ada lagi perbutan, dan sikap pengurus dan anggota ormas-ormas terlarang yang terkesan menentang dan/atau meremehkan keputusan dan/atau kebijakan Pemerintah RI, dan setiap WNI wajib menghormati symbol-simbol NKRI tercinta ini tanpa kecuali.

Bahwa harapan saya, setiap orang WNI wajib patuh pada hukum dan konstitusi Negara RI, tanpa ada kecualinya, dan hukum wajib ditegakkan secara adil, jujur dan bermartabat, agar Negara dan Pemerintah RI memiliki marwah dan wibawa hukum sebagai penguasa dari Negara yang berdaulat.

Bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, setiap WNI pasti membutuhkan hukum dan/atau Undang-undang/Perda sebagai alat kontrol “Social Control”, Hukum merupakan produk politik yang begitu diketuk palu oleh DPR RI/DPRD menjadi Undang-undang/Perda, maka setiap WNI wajib patuh hukum tersebut dengan tujuan untuk menjaga ketertiban hidup, mengatur tingkah laku warga negara indonesia, menghindarkan sebuah negara mengalami kekacauan/chaos, untuk kesejahteraan, kedamaian dan keseimbangan hidup.

Bahwa Siapapun dia Warga Negara Indonesia, baik dari golongan atas maupun bawah, kaya atau miskin, wajib untuk patuh terhadap hukum, tanpa ada kecualinya, dan hukum itu adalah bersifat mengikat, mengatur dan memaksa serta bersanksi bagi seluruh WNI, guna menjaga ketertiban, keadilan, kedamaian, keteraturan dan kesejahteraan.

Demikian agar menjadi maklum, Shalom_horas.

Adv. Kamaruddin Simanjuntak,S.H.
Ketua Umum PDRIS.

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

one × 3 =