Pemerintah Perlu Persiapkan Instrumen Bagi Peserta Program Pra Kerja
suaratapian.com Jakarta- Pemerintah harus mempersiapkan instrumen bagi peserta Pra Kerja sehingga benar-benar mendapat skill baru setelah mengikuti program. Sebab, kalau tidak dibarengi dengan standard mutu, maka dikhawatirkan akan sia-sia anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah. Demikian dikatakan, Ketua Umum lembaga Transparansi, Reformasi , Aparatur, Pengawasan, Asset Negara (TRAPAN) Capt. Dr. Anthon Sihombing., MM.Mmar menyatakan, hal itu kepada wartawan, Rabu (20/5/20) di Jakarta.
Mantan anggota DPR RI itu meminta agar pemerintah konsisten pada tujuan, bahwa substansi dari program Pra-Kerja bukan sekadar mengisi kekosongan waktu karena stay at home, melainkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Makanya, ada baiknya, pemerintah memikirkan semacam “reward and punishment” kepada peserta dalam mengikuti pelatihan.
“Reward and punishment yang sifatnya mendidik, bukan mengeksploitasi peserta didik. Tujuannya, untuk memastikan bahwa program Pra Kerja ini benar-benar berdayaguna ke depan dalam mengejar pertumbuhan ekonomi, terutama untuk mempercepat pemulihan ekonomi paskah pandemic,” ujarnya.
Anthon menambahkan, jika SDM sudah tersedia, diyakini akan berkejaran dengan penciptaan lapangan kerja. Apalagi, program pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja sudah tertuang dalam draf RUU Omnibus Law Cipta kerja” kata Anthon Sihombing sambil mengakui bahwa UU ini memang mendapat sorotan dari masyarakat, baik terkait dengan politik maupun perbedaan kepentingan. Namun, paling penting adalah quality control terhadap skill calon pencari kerja tidak boleh diabaikan.
Sementara mengenai RUU Omnibus Law Cipta Kerja, tantangan pemerintah yang paling berat adalah sosialisasi kepada masyarakat, yang kelihatannya masih kurang intens tentang pelaksanaan pelatihan berbasis digital ini. Ironisnya, lembaga legislatif kurang mendukung dalam hal sosialisasi. Masalah ini perlu segera dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah dan DPR.
“Meskipun, sosialisasi ini tidak akan total merubah paradigma masyarakat, namun setidaknya, penolakan karena motivasi perbedaan kepentingan politik tidak dominan dalam membangun wacana diruang publik” ujar Anthon sembari menyebutkan, “biar bagaimana pun, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah wajib terpenuhi apabila program ini ingin sukses terlaksana.”
Artinya, pemerintah bersama dengan DPR harus bersinergi dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Akses informasi publik wajib dibuka selebar-lebarnya, guna memberikan pemahaman yang utuh kepada masyarakat.
Materi pokok yang ingin segera disampaikan kepada masyarakat adalah tentang pentingnya negara ini menyiapkan lapangan pekerjaan ditengah-tengah bonus demografi yang kita miliki saat ini. “Sosialisasi sangat penting untuk melihat perbandingan antara dengan UU Omnibus Law atau tanpa UU ini. Pemahaman ini harus diberikan kepada masyarakat secara akurat, rasional dan emperik,” tambahnya.
Selain itu, pemerintah juga harus mampu menjawab kegelisahan sebagian masyarakat atas keraguan selama ini, menyangkut substansi UU Omnibus Law Cipta kerja. Menurut Anthon, proyeksi demografi Indonesia kedepan beserta tantangan dan peluang ekonomi global harus tersaji secara akurat di hadapan publik.
Penjelasannya juga harus dalam bahasa-bahasa yang sederhana dan populis, agar tidak terjadi perbedaan persepsi, apalagi dianggap sebagai upaya pembenaran diri pemerintah. Proyeksi atau semacam outlook tentang demografi dan tuntutan ekonomi global harus disajikan dalam jangka waktu atau periode tertentu. Harus pula dapat meggambarkan bagaimana situasi ekonomi Indonesia paska pandemic Covid19 ini, apabila dengan atau tanpa UU Omnibus Law Cipta Kerja. (JP)