Obituari: Pdt. Wilhemus Latumahina, S.Th: Selamat Jalan Pencipta Lagu Hidup Ini Adalah Kesempatan

Tersentak mendengar pecipta lagu rohani “Hidup Ini Adalah Kesempatan” Pendeta Wilhelmus Latumahina telah tiada. Siapa tak pernah dengar lagu tersebut? Lagunya sangat menyentuh dan viralis. Namun herannya hampir tak ada media iba menulis tentang kematiannya. Pendeta Wihelmus tutup usia 64 tahun, pada Selasa (12/5/20) di Rumah Sakit Sari Asih Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Meninggal karena sakit jantung. Di masa hidupnya almarhum adalah gembala sidang GBI Bethesda dan pengurus di GBI Perwil 3 Banten. Selain itu dia adalah Ketua Umum Persatuan Masyarakat Kristen Indonesia Timur (PMKIT). Sebelum dimakamkan jenazah disemayamkan di GBI Bethesda Jl. Sarua Raya No. 29, Tangerang Selatan, Banten.

Empat tahun lalu kami pernah berjumpa untuk wawancara. “Waktu Tuhan yang punya. Jadi jalani hidup sebaik-baiknya,” ujarnya menasihati saya. Saat itu saya menggelola media tabloid Agape, kami wawancara di sela-sela kesempatan untuk konsultasi hukum. Saat itu kedatangannya ke kantor pengacara Jhon SE Panggabean & Rekan di mana saya juga staf humas di kantor tersebut. Almarhum bersama istrinya untuk mengkonsultasikan soal penyalahgunaan lagu ciptaannya “Hidup Ini Adalah Kesempatan.”Lagu yang bermula dari pergolakan batin ditinggal anak sulungnya. Kisahnya di tahun 2004 pengolakan batin memilukan. Anak bernama Samuel Latumahina tabrakan.

Belum pulih duka cita atas kepergian anaknya yang mendadak, anak sekolah minggunya, anak dari jemaat terjatuh dari sepatu roda dan langsung meninggal. Air mata belum lekang sepeninggalan anaknya, Wihelmus harus menguburkan anak jemaat yang baru berumur 8 tahun. Kisah inilah mengawalinya mengarang lagu. Hidup memang rapuh. Tak ada yang patut dijumawakan. “Jadi pembuatan lagu ini adalah kisah nyata hidup saya. Dilatarbelakangi saat anak saya meninggal, umur 17 tahun.

Masih dalam suasana batin berduka, dua minggu kemudian saya juga menghadapi kenyataan hidup, anak dari jemaat saya umur delapan tahun meninggal hanya kerena terpelanting ketika menggunakan sepatu roda. Hanya jatuh saja, tetapi meninggal.”Wihelmus sebenarnya awalnya memang bukan pengarang lagu, tetapi pendeta, namum menyebut dirinya hanya seorang pemuji. “Saya ini pendeta pemuji. Kalau penyayi semua yang punya talenta pintar menyanyi, tetapi kalau orang yang menetapkan diri pemuji adalah orang yang menyadari penyertaan Tuhan berlaku dalam hidupnya,” jelasnya.Wihelmus tak terus menyalahkan keadaan, dia justru menyadari bahwa jika masih diberi kesempatan berarti waktunya menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan. “Waktu-waktu itu saya duduk dalam satu keheningan dan merenungkan akan hidup.”

Menurutnya pemantiknya adalah kecelakaan lalu lintas itu. Satu waktu dalam keheningan dia melakukan perenungan hidup dan mengalirlah rangkaian kalimat di pikirannya lagu Hidup Ini Adalah Kesempatan. Ini yang tersirat pesan moral dari lagu tersebut; ada tenggang waktu yang Tuhan beri buat kita. “Artinya ada batasnya. Tidak selamanya kita muda. Tidak selamanya kita kuat. Tidak selamanya kita jaya. Tidak selamanya kita hidup berdaya dan berjaya,” tambahnya.Waktu mengarang lagu itu dirinya berlinang air mata. Saat itu seperti ada suara di relung hatinya.

Terbingkailah syair-syair yang terinspirasi dari Mazmur 103: 15-16 berbunyi “Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi dia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.”Dari bait itulah kemudian tercipta sayir; hidup ini adalah kesempatan/hidup ini untuk melayani Tuhan/jangan sia-siakan waktu yang Tuhan bri/hidup ini hanya sementara/sekuntum bunga di pagi hari/mekar indah harum di padang yang hijau/demikian Tuhan mendandani rumput/gugur bunga bila panas terik/ Reff: o Tuhan pakailah hidupku/selagi aku masih kuat/satu saat aku tak berdaya/hidup ini sudah jadi berkat.

Wihelmus sangat menyadari, kesempatan yang ada memberi peringatan bahwa menit-menit, hari-hari, minggu-minggu bahkan tahun-tahun yang kita jalani adalah waktu yang menentukan kekekalan. “Sorga yang kekal ataukah neraka yang kekal. Untuk itu waktu yang Tuhan beri merupakan kesempatan yang terbaik untuk berbuat bakti dan melayani Tuhan, sehingga hidup ini tidaklah menjadi sia-sia.”

Lagunya dirusak

Nyata memang lagu yang lahir dari goresannya itu kemudian booming. Dinyanyikan di mana-mana. Namun sayang, ada segelintir orang mengambil keuntungan dari lagu itu untuk kepentingan sendiri, direkam ke kepingan VCD tanpa terlebih dahulu meminta izin kepadanya. Atas hal itulah dia datang ke kantor pengacara. “Saya sangat menyayangkan ada orang dengan mudah mengambil lagu tersebut, bahkan memotong lagu tersebut, bahkan tak sedikit juga pendeta merekamnya, padahal seharusnya sebagai aktivis bahwa pendeta paham betul bahwa itu sebuah karya yang memiliki hak paten.”

Herannya lagu tersebut diposting ratusan di youtobe, tetapi menghilangkan satu bait. Bagi saya dia bercerita hanya Herlin Pirena perempuan kelahiran Bondowoso itu, seorang penyanyi rohani Indonesia, yang datang meminta lagu itu direkam dan dikutif benar seperti aslinya. Naifnya, ada saja orang mengeruk untung dari lagu tersebut dengan merekamnya di kepingan VCD dan memperjualbelikan di toko-toko buku rohani tanpa ada pemberitahuan kepada dirinya. Harapannya orang-orang menjadikan itu bisnis mestinya terlebih dahulu minta izin darinya. Sebab demikianlah aturannya. Tak boleh ada penggadaan sebelum ada izin dari pengarang.

Namun dia tak terlalu mempersalahkan orang yang menggungah di youtobe jika itu bukan untuk komersial. Bahkan bagi orang-orang yang menyanyikan lagu di youtobe, bahkan mempopulerkan dan menjadikan lagu tersebut jadi berkat. Dia justru mengucapkan terimakasih. Tetapi, dia meminta jangan syairnya dirubah-rubah, dirusak.Namun Wihelmus pinta mereka yang mengunggah di Youtobe jangan merusak lagu tersebut dengan menghilangkan bait pertamanya. Lain dari aslinya. “Jangan dirobah kata-katanya. Sebab di bait kedua, sama sekali dihilangakan, padahal di bait itulah kekuatan lagu tersebut. Jika dirobah maknanya jadi berkurang,” jelasnya.

Dia misalkan, katakan, hidup ini adalah sementara, diganti menjadi hidup ini adalah jadi berkat. Sebagaimana pengarang asli dia miris melihat lagu ciptaannya dimodifikasi, bahkan dimanfaatkan segelintir orang untuk mengeruk keuntungan.Pesan moral lagu jelas selagi masih ada kesempatan temukanlah makna hidup. Karenanya baginya orang yang menemukan makna di kehidupan adalah orang yang selalu menyadari bahwa kesempatan yang ada harus diraih dengan sungguh-sungguh. Nyatanya terlalu banyak orang hidup dengan tanpa tujuan. Sudah tentu, Tuhan menciptakan manusia agar memahami dan mengenal Tuhan.Pun juga makna lagu ‘Hidup Ini Adalah Kesempatan’ mengingatkan bahwa keberadaan kita adalah sebuah kesempatan.

Lirik lagu menyebut bahwa kita punya kesempatan untuk melayani Tuhan dan bisa jadi berkat buat orang lain. Itu artinya, hidup kita bukan sesuatu yang sia-sia atau tak penting. Justru sebaliknya, Tuhan mau kita memakai sisa hidup yang masih ada untuk digunakan maksimal dan berguna.Sejak menulis lagu Wilhemus juga sudah merasa bahwa lagu yang ditulisnya punya pesan kuat. “Saya merasa memang bahwa kelak lagu ini akan dikenal oleh banyak orang, dan lagu ini mengasuh batin dari yang menyayikan dan mendengarnya.”

Sebenarnya sejak dikarang lagu ini tak langsung melambung. Awalnya hanya dinyanyikan di vokal-vokal group gereja GBI Bethesta Sarua dimana gereja tersebut dipimpinnya.Lagu yang memberi makna untuk peringatan kepada umat. Melayani Tuhan selagi masih ada kesempatan. Jangan kalau sudah sakit baru melayani. Justru ketika masih ada kesempatan harus melayani. Saya tanya waktu itu soal talentanya mengarang lagu didapatnya dari siapa? Jawabnya orangtua. Ayahnya seorang tentara tetapi juga pemusik di gereja. Dia merasa bahwa DNA musikalitas turun dari sang ayah.

Ayahnya Abraham Oktavianus Latumahina tentara sejak dulunya bertugas di Makassar. Ibunya bernama Aksa hanya ibu rumah tangga biasa. Almahurm lahir pada tanggal, 2 November, 1955. Sebelum menjadi pendeta justru dirinya adalah pengawai negeri. Lulus kuliah di perguruan tinggi Pajak. Lalu berkarier di Departemen Pajak, bahkan sempat menjadi kepala cabang di sana.Tetapi, kariernya di Pajak tak membuatnya merasa sejahtera. Ada kerinduan melayani. Panggilan melayani tetap tergiang.

Akhirnya, dia meninggalkan pekerjaan di Pajak. Di Pajak banyak uang. Tetapi, terasa tak damai sejahtera. Dia merasa terpanggil untuk melayani. Pendek cerita dia mengundurkan diri lalu terjun ke pelayanan. Sejak menetapkan diri jadi pelayan di Makassar dia kemudian mendirikan gereja dari kayu, seperti bangunan darurat, di Desa Togo.Sementara untuk memperdalam pemahamannya akan firman Tuhan dia kemudian meninggalkan Makkasar dan berangkat Sekolah Alkitab ke Beiji di Batu Malang. Di Batu-Malang dia juga berjumpa dengan seorang gadis Tondano sama-sama siswa di Sekolah Alkitab bernama Sonia Koli. Akhirnya, keduanya berpacaran. Setelah lulus kuliah keduanya menikah dan kembali memulai pelayanan di Jakarta.

Di Jakarta sembari merintis gereja sembari terus menambah pemahaman teologianya dan kuliah di STT Jaffray Jakarta. Dari pernikahannya lahir Samuel Latumahina, yang diumur 17 tahun Tuhan panggil ke sisiNya. Anak kedua seorang putri bernama Mona Debora Latumahina, anak ketiga Renhard Latumahina, yang terakhir Revi Arnes Latumahina menjadi pendeta. Kini ketiga anaknya aktif melayani di gereja. Kepada saya alamarhum waktu itu berkilah untung kulit anak-anaknya putih tak hitam seperti kulitnya. Walau istri putih dan dia hitam, dia bersyukur anak-anaknya tak belang-belang, tetapi putih.

Di akhir perbincangan kami waktu itu, pesan moral darinya agar senantiasa kita bergegas melihat catatan kehidupan. Ketika masih ada kesempatan teruslah menggunakannya sebaik mungkin. Sebab hidup adalah kesempatan. Tentu untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di kolong langit ada waktunya. Dan kehidupan berjalan seperti rotasi bumi mengitari matahari, berpindah tempat, mengikuti gerakan siang dan malam, mengalami pasang surut. Semua mengalami perubahan, meski perubahan tidak selalu menguntungkan, tetapi inilah lakon yang harus dijalani. Selamat Jalan Pendeta Wihelmus. Engkau sudah jadi berkat dan sudah mengingatkan kami, bahwa jika nyawa masih ada itu artinya masih ada kesempatan untuk tak disia-siakan. (Hojot Marluga)

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

four × three =