Peran Orang Batak di Pendidikan Nasional

Suaratapian.com-Di bulan Mei banyak acara yang bersejarah. Dimulai 1 Mei 2023 Hari Buruh Internasional, dilanjutkan 2 Mei, Hari Pendidikan, hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tanggal 2 Mei dirayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional yang juga merupakan hari ulang tahun Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.  Tentulah, dalam merayakan dan mengenang jasa para tokoh pendidikan bisa beragama cara. Adalah BATAK CENTER dalam mengangkat tokoh Batak, mengadakan diskusi tentang; dua pemikiran tokoh besar Sati Nasution alias Willem Iskandar dan Todung Sutan Gunung Mulia Harahap.

Diskusi selain digelar online juga digelar on side. Bertempat sekretariat BATAK CENTER, Jumat, 5 Mei 2023. Hadir tokoh-tokoh diantaranya; Prof. Bomer Pasaribu, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Duta Besar.Ir. Johnner SITOMPUL, M.Sc., P.hD, Rektor Universitas Satya Negara, Prof. Mompang Panggabean, Guru Besar Hukum di UKI. Lalu, Ir.  Sintong Maruap Tampubolon, Ketua Umum BATAK CENTER dan Drs. Jerry Sirait, Sekjen BATAK CENTER. Pemantik diskusi, St Sularto dan Imran Hasibuan.

Dalam makalah pemantiknya, Imran Hasibuan menyebut, bahwa Todung Harahap gelar Sutan Gunung Mulia, lebih dikenal sebagai Todung Sutan Gunung Mulia adalah anggota Volksraad. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1945 hingga tahun 1946 dalam Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II merupakan kader Christelijk Staatkundige Partij (CSP), semula bernama Christelijk Etische Partij (CEP), yang didirikan pada 1929. Kendati menempuh perjuangan politik lewat jalur Volksraad, bukan berarti upaya untuk memerdekakan negerinya padam.

Mulia justru tercatat sebagai salah seorang anggota Volksraad yang bersuara cukup lantang dalam membela hak dan kepentingan kaum pribumi. Dengan caranya sendiri, dia menyumbangkan pemikiran untuk kemerdekaan Indonesia. Bagi Moelia, menjadi anggota Volksraad dan CEP tidak otomatis menjadi Barat dan “kaki tangan” negara kolonial. Dia tetap memiliki semangat nasionalisme pribumi yang menginginkan sebuah kemerdekaan bagi negerinya. Jejaknya itu terekam dari berbagai tulisannya di majalah “Zaman Baroe”, di mana ia menjadi pemimpin redaksi. Di majalah ini pula Amir Sjarifuddin Harahap kerap menulis dengan menggunakan nama samara.

Imran, penulis banyak biografi ini menyebut, sejatinya minat utama Mulia bukanlah pada politik, tapi dunia pendidikan dan intelektual. Sebagai akademisi ia sosok yang disegani pada masanya. Terutama disertasinya yang dipuji banyak orang pada masa itu. Disertasi doktoralnya di Universitas Amsterdam berjudul Pemikiran Primitif dalam Ilmu Pengetahuan, diajukan tahun 1933, menolak konsep Levy Bruhl yang menyatakan bahwa “primitif” tampaknya secara ontologis bersifat diskontinu dengan “modern”. Pantas dicatat, Levy Bruhl adalah teoritikus antropologi terkemuka dunia masa itu.

Mulia tercatat sebagai orang Indonesa ketujuh yang meraih gelar doktor di Belanda. Keilmuwanannya tersebut membawamnya menjadi anggota “Bestuurs van Academie” di masa pemerintahan Hindia Belanda. Berkat dedikasinya di dunia akademis dan pemerintahan, di tahun 1927 dia dianugerahi “Officier der Orde van Oranje-Nassau,” salah satu bintang kehormatan tertinggi yang pernah diberikan pemerintah Belanda kepada kaum pribumi Indonesia. Kendati Mulia saat itu masih terbilang muda, 31 tahun, tapi kiprahnya sebagai akademisi telah mengangkat martabatnya pada derajat kemuliaan yang tinggi.

Sikap politiknya memang tergolong kooperatif terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Ketika Sumpah Pemuda diumumkan 28 Oktober 1928-salah satunya penggagasnya adalah adik sepupunya: Amir Sjarifuddin Harahap-Mulia bersikap kritis terhadap tonggak penting pergerakan kebangsaan itu. Di masa penjajahan Jepang, ia juga menjadi anggota Dewan Pusat Budaya-bersama sejumlah tokoh pendidikan dan kebudayaan terkemuka, seperti Ki Hajar Dewantara, Husein Djajadiningrat, G.S.J.J. Ratu Langie, dan Prof. Soepomo.

Tapi, itu semua tidak lantas mengikis semangat nasionalisme di jiwanya. Bisa jadi, kerena kompetensi dan nasionalismenya itulah ia didaulat sebagai Menteri Pengajaran dalam Kabinet Sjahrir 1, menggantikan Ki Hajar Dewantara. Dan dalam Kabinet Sjahrir II, yang berakhir Oktober 1946, ia ditunjuk sebagai Menteri Muda/Wakil Menteri Pendidikan.

Bahkan, sampai hari inipun, sejumlah warisan Mulia masih hidup di tengah negara-bangsa Indonesia, seperti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Univeristas Kristen Indonesia (UKI), dan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dia juga menulis sejumlah kitab, yang paling terkenal, tentu saja, ‘Ensiklopedia Indonesia” yang terdiri dari tiga jilid dan ribuan halaman. Dengan jejak pengabdian itu, TSG Moelia sepantasnya dikenang. Dia selayaknya mendapat tempat dalam catatan sejarah negeri ini.

Sementara dari, Stanislaus Kostka Sularto, sering dikenal dengan nama St Sularto, penulis yang jurnalis Kompas sejak muda jadi pembicara. Sularto bercerita awal ketertarikanya menggali sosok Satu Nasution.

D ia menyebut, awalnya diperkenalkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef. Untuk menulis Satu Nasution, dia langsung terjung ke Tapanuli Selatan melihat langsung Tano Bato dan wawancara keturunannya. St Sularto sendiri harus tinggal di sana berminggu-minggu, untuk memahami suasana batin Sati Nasution.

Menurut Sularto, pernah, sebagai penghormatan pada Willem Iskander, pada 10 Mei 1976 diselenggarakan peringatan 100 tahun meninggainya di Jakarta. Ketika memberikan sambutan, Adam Malik sebagai Meniu waktu itu-putra kelahiran Mandailing- menyatakan Willem Iskander bukan tokoh lokal tetapi nasional. Keinginan kemerdekaan bagi Mandailing adalah juga keinginan rakyat jajahan.

Di samping sebagai perintis sekolah guru desa, dalam arti pendidikan tidak hanya dalam kelas, tidak hanya bagi para murid. Willem sering mengunjungi masyarakat, menjelaskan tentang pentingnya pendidikan dan mendorong anak-anak perempuan masuk sekolah, juga menjadikan bahasa Mandailing sebagai pengantar.

Willem Iskander juga dikenal sebagai pengarang. Prosa dan puisinya yang terkumpul dalam Si Bulus, Si Rumbuk Rumbuk (Tulus, Mufakat, Rukun) adalah karangan satiris yang menyuarakan semangat kemerdekaan. Prosa dan puisi ini pernah dilarang beberapa tahun oleh Pemerintah Belanda sebab dinilai menyulutkan semangat kemerdekaan.

Di kalangan masyarakat Mandailing sendiri, ketokohan Willem Iskander selama bertahun-tahun kurang memperoleh tempat. Muncul narasi-narasi bias, yang kemudian dibantah oleh Basyral Hamidy Harahap, dan sebaliknya lewat penelitian mendalam Basyral menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi pada Willem Iskander.

Jhohannes Marbun sebagai notulensi, meresume seluruh diskusi menyebut, Sutan Todung Mulia dan Sutan Sati Nasution merupakan sosok yang menginspirasi dan mengemansipasi. Pati mendirikan sekolah guru dan memimpin sekolah kweekschool. Menjadi catatan penting tidak hanya mengajar, tetapi juga mengunjungi keluarga-keluarga, yang saat ini sudah jarang dijumpai. Selain itu, menempatkan guru sebagai titik tolak kunci faktor penting. Keduanya nyaris dilupakan.

Lagi, Sutan Todung Gunung Mulia, sosok yang memiliki jasa dalam dunia pendidikan nasional tak saja dalam pemikiran, tetapi juga menjadi tokoh struktural dalam bidang pendidikan sebagai menteri pengajaran kedua republik ini sejak berdiri. Sosok yang tidak saja pemikir, tetapi juga menerjemahkan banyak buku dan membangun universitas, sebagaimana tokoh Sutan Sati Nasution mendirikan sekolah guru.

Lahirnya Republik Indonesia rupanya telah turut menebarkan ilusi tentang negara yang bisa melaksanakan apa saja, termasuk di bidang pendidikan. Orang Batak sudah tentu berperan dalam pendidikan nasinal, output pendidikan berkemajuan, dan sudah menjadi idola selama ini di Tanah Batak sekolah setinggi-tingginya. Motivasi untuk memperoleh pendidikan yang baik tidak diragukan lagi di kalangan masyarakat Batak hingga hari ini . Masalahnya adalah mereka yang sudah terdidik dengan baik jarang yang mau kembali untuk membangun kampung halaman yang masih miskin.

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

2 × four =