Perjalanan Karir Ludin Panjaitan: Dari Meja Olahraga hingga Meja Kriminal
Suaratapian.com-Ludin Panjaitan adalah seorang tokoh jurnalistik Indonesia yang memiliki perjalanan karir yang impresif. Lahir pada 9 Juni 1952. Karir jurnalisnya sebagai Redaktur Nasional Harian Merdeka Jakarta pada tahun 1995. Kemudian, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Interview tahun 2001. Selain itu, dia juga dikenal sebagai Pendiri Tabloid Suara Batak pada tahun 2019 dan tahun 2021 salah satu pendiri Forum Jurnalis Batak (FORJUBA) Jakarta.
Dengan pengalaman dan dedikasinya di bidang jurnalistik, dia telah membuktikan dirinya sebagai seorang profesional yang berkompeten dan berpengaruh di industri media. Nama lengkapnya, Ludin Erizon Panjaitan, S.H, M.M adalah keturunan Raja Sijorat II Tahi Sumodung Pandjaitan/br Sitorus. Setelah pensiun dari Redaktur Eksekutif harian Rakyat Merdeka Jakarta tahun 2009, aktif menulis di media sosial membagikan pengalaman perjalanannya, termasuk wisata rohani ke Tanah Perjanjian atau Tanah Kanaan/ Holy Land, yang uniknya dia sebut sebagai “pulang kampung” atau “pulang ke Bona Pasogit” saat tiba di tanah Jeriko, daerah otoritas Palestina. Perbatasan dengan negara Uni Emirat Arab Jordania.
Membagikan cerita dan pengalaman secara visual dengan cara yang menarik dan inspiratif. Dapat disimak di media sosial Reels dan my story Facebook. Disajikan secara berseri sejak 27 Oktober 2024 hingga perayaan hari Kebangkitan Tuhan Yesus, 29 Mei 2025. Berarti selama enam bulan. Kesempatan baik itu merupakan kepuasan tersendiri bagi Ludin Erizon Panjaitan sebagai insan jurnalis dan penganut agama Huria Kristen Batak Protestan/HKBP. Apalagi rombongan wisata rohani mereka dengan JAMS Journey sempat memanjat dua lagu pujian koor di Gereja Anna Kota Jerusalem. Dua lagu pujian itu: “Oh Jerusalem dan Nang Gumaluncang….”

Sebagai jurnalis senior dan penasihat Forum Jurnalis Batak, Ludin mengusulkan visi yang inspiratif untuk organisasi ini. Dia berharap agar Forum Jurnalis Batak dapat menjadi saluran informasi terdepan tentang suku Batak sehingga dapat mempromosikan kekayaan budaya dan tradisi Batak kepada masyarakat luas. Dengan visi ini, Ludin ingin melihat jurnalis Batak menjadi garda terdepan dalam menyampaikan informasi yang akurat dan bermanfaat tentang suku Batak.
Memulai karir jurnalistiknya pada tahun 1976 di Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), Medan. Sebuah koran terkemuka di Sumatera Utara pada saat itu. Perjalanan karirnya sebagai jurnalis muda di Desa Gajah, Asahan. Kemudian berkembang menjadi jurnalis senior di Harian Merdeka Jakarta, menunjukkan dedikasi dan komitmennya dalam dunia jurnalistik selama 30 tahun lebih. Dengan pengalaman yang luas, beliau telah membuktikan dirinya sebagai seorang jurnalis yang profesional dan berpengaruh.
Sebelumnya dia menjadi guru dan merangkap sebagai wartawan. Pengalaman sebagai guru membantunya untuk tetap eksis selama dua tahun di daerah tersebut. Namun, dia merasa wawasannya masih terbatas sehingga memutuskan untuk mencari peluang baru di Jakarta. Kesempatan datang ketika ditawari untuk mengambil foto-foto dokumentasi pergantian tanda penduduk pada tahun 1975. Proyek ini menjadi pengalaman berharga baginya dan membuka jalan bagi karirnya di bidang jurnalistik.
Ludin mendapatkan kesempatan untuk mengambil foto-foto dokumentasi dan tidak disangka, Camat Tanjung Tiram, Asahan terkesan dengan profesi yang ditekuninya. Camat kemudian menawarkan untuk membantu mengerjakan proyek pembuatan foto-foto masyarakat untuk KTP. Dirinya tentu menyambut baik kesempatan ini dan berhasil mendapatkan rezeki yang lumayan dari proyek tersebut. Pengalaman ini membuatnya semakin yakin untuk menekuni karir sebagai wartawan, dan berpikir dengan mengambil kesempatan yang ada, bisa mencapai cita-cita belajar ilmu Jurnalistik di Jakarta. Dengan kata lain, beliau memilih untuk mengambil risiko dan mencoba peruntungan di bidang jurnalistik.
Ludin memutuskan untuk mencoba peruntungan di Jakarta, dengan harapan menemukan peluang baru dan belajar lebih banyak. Tidak bergabung dengan perusahaan yang sebelumnya memberinya pengalaman dua tahun tanpa honor, sehingga merasa tidak dihargai. Kemudian, mencoba jalur lain dengan mengikuti kursus jurnalistik selama enam bulan dan berhasil mendapatkan sertifikat. Dengan bekal baru ini, memberanikan diri melamar ke Harian Merdeka, koran yang cukup ternama di Indonesia. Langkah ini menjadi titik awal bagi karir jurnalistiknya yang lebih serius dan terarah.
Di Harian Merdeka, Ludin Panjaitan mendapat bimbingan langsung dari B.M. Diah, seorang tokoh pers yang berpengaruh. Sejak tahun 1980, Ludin Panjaitan mulai membangun relasi dengan berbagai tokoh, termasuk militer dan polisi. Karir jurnalistiknya dimulai dengan tugas meliput olah raga.Namun, sebenarnya lebih tertarik dengan bidang kriminal. Pengalaman meliput kasus-kasus kriminal di Asahan membuatnya semakin dekat dengan bidang ini. Meskipun awalnya ditugaskan di bidang olah raga, Ludin menunjukkan kemampuan dan ketertarikannya pada bidang kriminal.Kemudian membantunya membangun jaringan dengan berbagai kalangan.

Setelah tiga tahun bekerja di bidang olah raga, diangkat menjadi karyawan tetap di Harian Merdeka. Selama masa tugasnya di bidang olah raga.Banyak menulis hasil wawancara dengan tokoh-tokoh olah raga terkemuka di Indonesia seperti Rudi Hartono dan Donald Pandiangan. Keberhasilannya dalam meliput dunia olah raga dan membangun jaringan dengan tokoh-tokoh membuatnya dipercaya untuk menjadi bagian dari tim tetap di koran tersebut. Setelah diangkat menjadi karyawan tetap, meminta bantuan kepada Redaktur olah raga agar mendapatkan kesempatan baru di bidang kriminal.Guna menunjukkan keseriusannya dalam mengembangkan karir jurnalistiknya.
Pada tahun 1989, Ludin Panjaitan dimutasi menjadi wartawan kriminal yang menandai babak baru dalam karir jurnalistiknya. Selama dua tahun bertugas di Polda Metro Jaya dan Mabes Polri, beliau mendapat kesempatan untuk melakukan studi banding antara Kepolisian Indonesia (Polri) dan Polisi Diraja Malaysia. Selama seminggu di Malaysia, Ludin Panjaitan melakukan studi perbandingan dan menyusun laporan tentang perbedaan sistem kepolisian antara kedua negara. Laporan tersebut kemudian disajikan secara berseri selama seminggu, memberikan wawasan mendalam tentang perbedaan dan persamaan antara Polri dan Polisi Diraja Malaysia. Pengalaman ini memperkaya pengetahuan dan kemampuan Ludin Panjaitan sebagai jurnalis, terutama dalam bidang kriminal.
Pada tahun 1983, Ludin Panjaitan mulai membangun hubungan dengan para jenderal, termasuk Jenderal Benny Moerdani. Saat itu, beliau ditugaskan untuk meliput wawancara terkait pertahanan negara. Namun, tugas yang lebih berat datang ketika beliau harus meliput kerusuhan di Tanjung Priok, yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Situasi sangat ketat, di mana semua informasi harus melalui rilis resmi dari Panglima ABRI, Jenderal Benny Moerdani. Pengalaman ini menjadi pelajaran berharga baginya dalam menghadapi situasi genting dan membangun jaringan dengan tokoh-tokoh penting di lingkungan militer.
Pada tahun 1993, mendapat kesempatan untuk bergabung dengan Kontingen Garuda Indonesia dalam misi perdamaian PBB di Kamboja. Sebagi jurnalis menjadi bagian dari rombongan yang terdiri dari delapan orang, termasuk beberapa personel militer. Di antara mereka terdapat Kapten Stafa Prima Setiabudi, yang kini telah menjadi Mayor Jenderal dengan pangkat bintang dua. Saat itu, Kapten Setiabudi memimpin suatu tugas dan kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten, menunjukkan pengakuan atas kemampuan dan kepemimpinannya dalam misi tersebut. Pengalaman ini menjadi momen penting baginya dalam memahami kerja sama internasional dan peran penting dalam menjaga perdamaian dunia. (Hojot Marluga)


 
							 
							