Revolusi Mental di HKBP Sebuah Keniscahayaan

Oleh: Asdon Hutajulu

suaratapian.com-Gerbong kepemimpinan di tubuh HKBP baru saja berganti,  Lokomotifnya yang terdiri dari 1 Ephorus dan 1 Sekjen serta 3 Kadep sudah terpilih dalam Sinode Godang  Desember 2020  yang lalu. Dengan kepemimpinan yang baru, jemaat menaruh harapan agar HKBP sebagai organisasi Kristen terbesar di Indonesia ini semakin berkibar dalam pelayanan dan bangkit dari tidur panjangnya. Terlebih kepada Ephorus terpilih Pdt Dr Robinson Butarbutar, saat ini sekitar 6 juta warga HKBP menyandarkan ekspektasi besar di pundak Ephorus baru. Mengapa hanya kepada ephorus yang menjadi tujuan aspirasi itu? Karena di tangan ephoruslah maju mundurnya HKBP ke depan. Ephoruslah yang memegang kemudi kapal mau dibawa kemana HKBP ini  berlabuh. Sekaligus dialah yang memegang palu pengambil kebijakan.

Sebagai penulis saya sejak lama ingin menuangkan unek-unek pikiran saya dalam wujud goresan ini. Di balik rasa kecintaan saya terhadap HKBP, puluhan tahun saya mengamati perjalanan HKBP yang  belakangan ini mengalami stagnan luar biasa, atau jika tidak mau dikatakan setback yang significant terutama dalam pelayanan bidang Pendidikan dan Kesehatan, dua dari tiga pilar utama pelayanan HKBP, di samping bidang Kerohanian yang sepertinya masih jalan di tempat. Belum lagi sejumlah konflik internal di beberapa gereja HKBP terutama disebabkan penempatan pendeta baru sering mewarnai perjalanan gereja terbanyak di Indonesia ini.

Yang menarik saya cermati adalah berubahnya arah pelayanan HKBP terjadi setelah pasca Ephorus transisi Pdt JR Hutauruk. Mulai muncul pemilihan Ephorus yang entah siapa memulai, para kandidat pimpinan HKBP menggunakan TS (Tim Sukses) dengan format paket berpasangan. Tak ubahnya memang seperti Pilkada gubernur atau bupati/walikota, yang para calonnya diusung oleh parpol. Artinya calon ephorus A paketnya pasangannya sudah ditentukan siapa bakal sekjennya. Akibatnya memang jabatan Ephorus yang sejak dulu dianggap sakral sebagian besar umat HKBP serasa  ikut memudar. Padahal seorang sahabat sekaligus senior saya, Dr Djonggi M Simorangkir SH MH, dalam beberapa wawancaranya di media, sering memaknai bahwa Ephorus HKBP sama dengan Bapa Suci-nya HKBP. Jika menyusuri pengertian Ephorus, maka kita akan menemukan  bahwa sebutan Ephorus berasal dari Bahasa Yunani  dari perkataan Epskopos yang artinya penilik atau pemelihara. Namun bagi warga HKBP Ephorus secara de fakto dan dejure adalah pimpinan tertinggi HKBP di seluruh dunia.

Dampak minor dari sistem pemilihan ephorus tersebut adalah timbulnya aroma tak sedap yang berembus kemana-mana. Meminjam istilah natuatua ni halak hita,  mengatakan “Dang diida mata alai diida roha” ( tidak terlihat oleh mata namun dapat dirasakan hati) Penempatan dan pemindahan pendeta sering menjadi ajang rebutan, terutama di kota besar seperti Jabodetabek. Isu yang menjalar keluar pemurkaan penempatan pendeta selalu berdasarkan balas budi kepada mereka yang menjadi TS semasa SG pemilihan pimpinan HKBP. Meski bukan lagi menjadi rahasia umum, dan sering sampai ke telinga penulis adalah selain berdasarkan balas budi, penempatan pendeta ke sebuah gereja berdasarkan kesepakatan transaksional. Hal ini pernah didengar penulis, ketika seorang pendeta resort di kawasan Jakarta Timur, hendak dipindahkan ke luar Jabodetabek, salah satu jemaat disana yang kebetulan pejabat BUMN, mempertanyakan ihwal pemindahan itu ke salah seorang petinggi HKBP waktu itu, sang petinggi membenarkan rencana pemindahan pendeta tersebut, dan dengan enteng memberi alasan “ai so hea adong mell na tu pusat ….“ Si jemaat cukup kaget juga mendengar jawaban itu. (mell = semacam restribusi).

Dari catatan penulis, penempatan pendeta baru seringkali menjadi “singkam mabarbar” (akar permasalahan) timbulnya konflik internal yang kadang berujung dengan adu fisik. Penulis masih ingat  beberapa tahun silam, di HKBP Menteng, seorang sintua yang pro pendeta baru, membogem seorang sintua lainnya yang menolak penempatan pendeta baru,  dan kasus pemukulan itu akhirnya di laporkan ke Polsek Menteng. Gereja yang pernah ricuh akibat penempatan pendeta baru, di catatan saya yakni HKBP Cijantung, HKBP Menteng Jalan jambu, Jakpus, HKBP Resort Bandung,  HKBP Rawamangun, dan terbaru HKBP Cibinong, Bogor. Bila kita lihat juga, gaya hedonism juga kerap melanda HKBP, sejumlah media Kristen belum lama ini menyoroti nuansa eksekutif acara sambut pisah praeses di Jabodetabek sebagaimana dilansir – “ Biaya Pisah Sambut Preases di sejumlah Distrik HKBP Disoal, Biaya Fantastis Bikin Miris Ditengah Krisis https://majalahspektrum.com/2020/12/31/biaya-pisah-sambut-preases-di-sejumlah-distrik-hkbp-disoal-biaya-fantastis-bikin miris-di tengah krisis/. “

Tidak sampai sebulan setelah dilantik menjadi Ephorus HKBP, Pdt Dr Robinson Butarbutar, mengeluarkan sepucuk surat penggembalaan yang memohon uluran tangan seluruh jemaat (ruas) HKBP di seluruh dunia. Surat yang berisikan permohonan, gotong royong menalangi tunggakan dana pensiun HKBP yang mencapai Rp 116 miliar, sontak membuat kaget jemaat HKBP di seantero penjuru tanah air, khususnya Jabodebatek. Berbagai tanggapan pro dan kontrapun muncul. Umumnya jemaat yang kaget tak menyangka HKBP yang diklaim memiliki segudang aset, kok bisa memiliki tunggakan sampai ratusan miliar ke dana pensiun ? Saya pun jadi teringat anekdot di gereja tetangga beraliran jalan ke sorga, “Jika pendetanya tidak punya uang, biasanya dia meminta ke jemaat, tapi jika jemaat tidak punya punya uang, pendetanya menyuruh jemaat meminta kepada Tuhan.” Alangkah enaknya jadi pendeta disana.

Mengherankan memang, HKBP dengan nama besarnya (HKBP nabolon i) punya tunggakan selangit. Ini menandakan betapa HKBP kita menyimpan segudang permasalahan di bidang managemen. Padahal kita juga tahu HKBP memiliki Badan Usaha yang bisa menciptakan profit besar. Saya yakin masih banyak jemaat yang tidak rela   HKBP ini dirundung masalah, asalkan transparansi dan managemen HKBP mengedepankan kejujuran. Dan tak kalah pentingnya dana pensiun itu harus diaudit total. Dari data yang didapat penulis, ada sebanyak 1848 pendeta, guru huria, bibelprow dan diakones, yang menunggak kewajibannya untuk dana pensiun  di atas  yang besarannya bervariasi. Kedengarannya memang tidak elok, pendeta yang menerima dana pensiun, mereka yang menunggak, tapi jemaat yang diminta ikut membayar….

Sebagai jemaat HKBP, rasanya tidak salah mengkritisi HKBP yang  selama ini kerap dilanda kekisruhan/kegaduhan, yang membuat banyak jemaatnya ikut terlibat dalam  internal, tidak sesuai dari prinsip pelayanan,  terkuaknya tunggakan tersebut, diduga sudah berjalan belasan tahun, sejak beberapa periode ephorus sebelumnya. Sebagai penulis saya menduga ini sudah berlangsung lama, sejak masa transisi HKBP dulu, tetapi terkesan dibiarkan berlarut-larut, termasuk hutang outstanding pendeta yang sudah meninggal, akibat semakin menumpuk dan terakumulasi sekian ratusan miliar, hingga OJK menyemprit HKBP agar segera melakukan pembayaran. 

Dengan terbitnya surat penggembalaan yang menghimbau seluruh jemaat untuk ikut berpatisipasi membantu HKBP menalangi tunggakan dana pensiun tersebut, dalam kondisi pandemi sekarang, dimana sebagian besar jemaat turut terdampak, bukanlah solusi yang ampuh, melainkan justru membuat HKBP tidak bisa maju dan mandiri. Rasanya wajar jika jemaat mempertanyakan kemana selama ini penggunaan dana persembahan jemaat gereja yang tiap minggu diberikan melalui kolekte ketiga atau keempat. Kenapa kinerja badan usaha HKBP tidak digenjot untuk meraih profit yang maksimal. Semua pertanyaan ini menjadi muncul ke permukaan silih berganti.

Sejumlah faktor utama yang membuat melonjaknya tunggakan ini, bisa jadi akibat ketidak-transparanan manegemen kantor pusat HKBP dalam mengelola keuangannya selama ini. Fakta ini tidak bisa ditutupi. Apakah pernah jemaat HKBP mengetahui bagaimana pengelolaan keuangan HKBP selama ini ?  Karena itu, sudah saatnya pengelolaan keuangan dan managemen HKBP diserahkan kepada pakar/ahlinya. Penulis disini sependapat dengan sambutan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, di HKBP Menteng baru baru ini, bahwa sudah saat para pendeta dilakukan penyegaran dan kembali pada tupoksinya, yakni pelayanan iman (Marturia, Diakonia dan Koinonia) saja.

Ada banyak yang harus dibenahi dan dan dirombak dalam tubuh HKBP. Terutama transformasi di bidang SDM. Mendesaknya dilakukan revolusi mental di tubuh pengelola HKBP. Penulis yakin, pengungkapan masalah tunggakan Dana Pensiun hanya sebagian dari masalah finansial yang membekap HKBP. Tahun lalu pun menggelinding isu penyalahgunaan dana Yayasan Universitas HKBP sebesar 8-10 M, yang berbuntut dicopotnya oknum pdt  VS  dari jabatan Sekretaris Yayasan. Namun isu itu pun akhirnya menguap tak jelas, karena kasus tersebut tidak pernah sampai ke ranah hukum. Jika memang hanya sebatas isu, pimpinan HKBP harus berani mengatakan kebenarannya, bukan malah menutupinya. Hanya pertanyaan beranikah pimpinan HKBP sekarang menyingkap bila mana ada borok masa lalu yang dampaknya merugikan keuangan HKBP masa sekarang? bola kuncinya kini berada di tangan sang ephorus baru. 

Kaderisasi dan pembinaan berjenjang terhadap pendeta harus dilakukan berkesinambungan sebelum ditempatkan di pos baru. Penulis teringat pendapat yang pakar birokrasi kemendagri Dr Nelson Simanjuntak, sebelum ke kota besar baiknya HKBP menempat pendetanya dengan system tour of duty dan tour of area dengan menekankan pematangan dan pembinaan pendeta mulai dari daerah pelosok, kecamatan hingga ke kota besar.

Jabatan pendeta memang harus dihormati, namun bukan berarti setiap pendeta itu SDM yang serba tahu, misalnya di bidang admintrasi birokasi, tak perlu lagi menurut saya pendeta ditempatkan untuk mengepalainya, cukuplah pendeta bertugas melayani iman dan (partondion). “Unang be antong adong dibaen pandita gabe pimpinan, misalnya di bidang Pendidikan manang kesehatan di bawah naungan ni HKBP.” Demikian juga HKBP harus berani menerapkan adanya mahkamah internal untuk memberikan sanksi bagi oknum yang melanggar aturan peraturan HKBP, artinya jangan hanya ruas yang melanggar aturan dikenakan sanksi dan langsung diumumkan di tingting gereja, pendeta atau guru huria dan penatua pun harus dilakukan punishment jika terbukti melakukan pelanggaran, apalagi jika pelanggaran itu sudah masuk ranah hukum pidana. Karena HKBP perlu mengingat bahwa Patik na Sampulu yang diturunkan kepada Musa, sejak lama menjadi sumber hukum pidana di seluruh dunia. Patik ini diturunkan agar manusia memiliki aturan dalam kehidupan sosial dan berorganisasi.

Terpilihnya Pdt Dr Robinson Butarbutar, sebagai nakhoda baru HKBP, diharapkan memang mampu membawa HKBP dalam perubahan yang kontras. Saat inilah momentumnya, jika Ephorus sekarang berani menangkap momentum ini sebagai gebrakan pembaharuan HKBP. Karena kita harus akui, HKBP itu ke depan membutuhkan tangan-tangan profesional agar bisa terus mempertahankan eksistensinya di tengah makin tingginya laju tehnologi digital. Bukan tak mungkin suatu di saat nanti jemaat tak perlu lagi datang ke gereja  untuk kebaktian, cukup di rumah membuka streaming live, dan bisa memilih2 pendeta mana yang disukainya berkotbah.

Penulis juga merasa perlu memberi masukan agar HKBP ke depan terlebih di era digital yang sedang mencengkram dunia. Soal HKBP mau menerimanya  saya serahkan kepada HKBP sendiri, tanpa bermaksud menggurui antara lain:

1.            Perlunya kembali dihidupkan/dibentuk  semacam Majelis Parhalodo Pusat (MPP) sebagai badan pengawas/pertimbangan HKBP yang dipilih sebagai perwakilan jemaat yang ada di semua HKBP dengan tupoksi mengawasi dan memberikan pertimbangan bagi pimpinan HKBP dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini dimaksudkan guna menghindari terjadinya sikap otoritarian dari pemimpin HKBP, yang selama ini terkesan menjadi superbody, meminjam istilah “The king can do no wrong” dalam negara yang menganut sistem politik otoriter.  MPP ini sekaligus menggantikan peran MPS (Majelis Pekerja Sinode) yang  keberadaannya dirasakan tidak efektif dan kurang maksimal. Jika memungkinkan MPP ini harus minimal bersidang sekali 6 bulan atau sekali setahun untuk mengevaluasi dan supervisi terhadap kinerja pimpinan HKBP. Dan kepada MPP inilah nantinya yang menjadi muara akhir laporan pertanggung-jawaban pimpinan HKBP, bukan kepada sinode godang yang nota bene sebagian besar adalah bawahan  Ephorus dan Sekjen.

2.            Masukan yang tidak kalah penting, meski kesannya terdengar ekstrim, ke depan, jabatan Sekjen HKBP tidak harus lagi dari kalangan pendeta. Jabatan ini sebaiknya diserahkan kepada profesional, organisatoris ulung yang faham managemen birokrasi, dan tata laksana organisasi. Karena  macet dan lancarnya suatu organisasi berada di tangan Sekjen-nya. Bila perlu untuk jabatan ini dilakukan lelang jabatan melalu open biding  dengan seleksi ketat. Sehingga terhindar dari praktek membeli kucing dalam karung. Seorang sekjen harus mampu mengaplisasikan program Lean Thinking (berpikir sederhana tapi terstruktur) dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita organisasi HKBP.

3.            Perlu dibentuk Kadep Pendidikan dan Kesehatan sesuai tiga pilar utama pelayanan HKBP di era IL Nommensen. Ini berkaitan dengan banyaknya sekolah di bawah naungan HKBP tutup alias bubar tak jelas juntrungannya karena salah pengelolaan/mismanagemen dan SDM yang tidak tepat, alias titipan pejabat HKBP. Lihat bagaimana sekarang nasib RS HKBP Balige, yang hidup segan mati tak mau. Saya sedikit merasa senang  7 Februari lalu Ephorus melantik pengurus Yayasan Universitas HKBP Nommensen dan BPP (Badan Penyelenggara pendidikan) sudah menyertakan unsur profesionalisme di dalamnya, seperti terpilihnya Ny. Devi Panjaitan-Simatupang yang merupakan ketua Yayasan Del. Diharapkan dengan kehadiran ketua Yayasan Del, bisa membangkitkan kembali marwah lembaga pendidikan HKBP dengan jalinan kerja sama yang saling menguntungkan (simbiosa mutualis). Penulis mengambil contoh SMA Kampus FKIP Nommensen Pematangsiantar, tahun 1970-1990-an termasuk sekolah favorit disana, kebetulan saya alumni dari sana. Dalam 7 tahun terakhir melihat kondisi jumlah muridnya sangat jauh menurun dari tahun ke tahun. Tahun kemarin jumlah murid barunya hanya 2 kelas, yang di zaman saya sekolah disana murid baru pertahun mencapai 5-6 kelas. Saya melihat penurunan kuantitas dan kuliatasnya akibat minimnya supervisi dari yayasan, dan pengelola sekolahnya dipilih berdasarkan faktor like and dislike, di samping managemennya yang tak berubah dari zaman dulu.

4.            Perlu meninjau kembali sistem pemilihan Ephorus dan pimpinan HKBP lainnya, jangan lagi pakai sistem TS (Tim Sukses) sehingga tak ubahnya seperti Pilkada yang rawan dengan money politic. Karena HKBP ini bukan organisasi politik.  Jika perlu menggunakan lelang jabatan dengan mengedepankan unsur profesionalisme, kredibilitas dan kapabel. Sehingga nanti dalam menjalankan tugas penggembalannya ephorus  tidak lagi terbebani upaya balas budi terhadap para tim suksesnya. Karena penulis sendiri sering mendengar para  TS ini selalu menuntut jabatan ketika calon yang mereka dukung sudah duduk di kursi pimpinan. Akibatnya sering pendeta ditempatkan bukan pada domain bidangnya.

5.            Untuk menghindari kesan materialisme, pada jabatan Ephorus, dan kecemburuan sosial sebaiknya ephorus jangan lagi bersedia memenuhi permintaan memberkati perkawinan anak pejabat atau orang berduit. Sebaiknya permintaan pemberkatan seperti ini diserahkan kepada pendeta resort masing masing di mana mereka yang hendak menikah terdaftar sebagai jemaat. Cukup lama masalah ini disorot ruas, dan acap menimbulkan  kecemburuan sosial, baik di kalangan jemaat maupun di kalangan pendeta sendiri. Kadang jemaat berduit/pejabat inilah yang membuat situasi seperti ini terjadi. Mereka seolah bangga jika anak menikah, yang memberi pemberkatan adalah ephorus, nah bagaimana pula jika jemaat biasa yang ekonomi pas-pasan, tinggal di daerah terpencil misalnya di luar Sumatra, berkeinginan jika anaknya kelak menikah diberkati ephorus..?

6.            Kalau bisa, hendaknya jangan lagi terdengar praktek transaksional/balas budi atau faktor like and dislike dalam penempatan pendeta di gereja resort, yang sering menjadi sumber permasalahan di gereja HKBP. Karena saya juga melihat, seolah sudah menjadi konsensus, bahwa pimpinan HKBP yang sudah habis masa periodenya, tapi belum pensiun, selalu diplot tempatnya di gereja HKBP “berbintang empat dan lima.” Seperti HKBP Menteng jalan Jambu Jakarta Pusat, HKBP Tebet, HKBP Sudirman Jakarta, HKBP Rawamangun Jaktim. Ini seolah menggambarkan betapa enaknya jadi petinggi HKBP ini, setelah habis periode jabatan, duduk lagi melayani gereja besar dan mewah dengan jemaat ‘akka parhepeng nabolak’. Sebuah  suguhan pemandangan kontras  (sikap paradoks) ketika saya teringat kepada mantan Sekjen HKBP Pdt. OPT Simorangkir, setelah jabatannya sebagai sekjen  berakhir, dia justru memilih melayani sebagai pendeta resort di gereja HKBP Jaka Sampurna Bekasi, yang kala itu dindingnya masih terbuat dari triplek, lokasi gerejanya bersebelahan dengan pembuangan sampah.

7.            Jika organisasi keagamaan lain membentuk Bank Syariah, apa salahnya HKBP mendirikan bank sejenis, misalnya dengan  nama Bank Sarihon, dengan fungsinya selain komersil juga untuk upaya menanggulangi atau menjamin pembayaran tunggakan dana pensiun HKBP, maupun permodalan bagi pensiunan pendata dan jemaat yang membutuhkan modal usaha. 

8.            Penulis juga mempertanyakan siapakah sesungguhnya pemegang Kedaulatan Tertinggi di HKBP apakah ruas/jemaat atau parhalado ? jika memang Jemaat, apakah sudah tercantum di AD/ART HKBP sebagaimana termaktub dalam lembaran pengakuan negara terhadap HKBP ? ini perlu, agar setiap pengambilan keputusan HKBP perlu sepengetahuan jemaat yang direprensentasi lewat MPP tadi, analoginya jika presiden membuat UU, harus mendapat persetujuan DPR.

Pada umumnya jemaat HKBP berharap Ephorus baru Pdt Dr Robinson Butarbutar bisa menjadi nakhoda ulung yang  mampu membawa HKBP menuju transformasi fundamental dan revolusi mental.  ini bukanlah sesuatu keniscahayaan.  Tak sedikit pula jemaat yang menginginkan  ephorus sekarang, bisa menjadi Jokowi-nya HKBP, yang tidak terbebani praktek balas budi, maupun transaksional dengan para pendukungnya. Jokowi contoh pemimpin cerdas sekalipun banyak partai mendukungnya saat pencapresan, namun dia tetap mengedepankan profesionalisme dan kapable dalam mengangkat menterinya yang diusulkan partai, jika pembantunya tidak bisa bekerja langsung di-reshuffle.

Kini bola berada dalam genggaman Ephorus Pdt Dr Robinson Butarbutar. Di pundaknya diletakkan harapan jutaan jemaat HKBP yang tersebar di berbagai pelosok dunia untuk membawa HKBP ke depan. Mampukah dia mengusung beban berat ini, dan merengkuh momentum ini menuju transformasi dan revolusi mental, apalagi dalam waktu sisa 3 tahun lebih, ataukah dia tidak lebih baik dari para pendahulunya, mari kita tunggu dan doakan. 

Penulis adalah jurnalis, pemerhati budaya dan sejarah Batak-alumni SMA Kampus Univ. HKBP Nommensen, P.Siantar

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

fourteen + twenty =