St. DR. Dr. Waldensius Girsang, SpM(K), D.Min: Bukti Merdeka, Jangan Lagi Mau Mengenakan Kuk Perhambaan Atas Hidup
Suaratapian.com-Bangsa ini merdeka, tentu kemedekaan bisa teruwujud karena diperjuangkan, berjuang melawan penjajah penuh tangis dan ari mata, bukan saja peluru dan anak panah yang dilawan tetapi spirit anak-anak bangsa agar jangan terbelenggu. Maka benarlah ungkapan, “sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya. Jika menyerah rasa sakit akan terasa selamanya.” Bagi Dr Waldensius Girsang, pria kelahiran, 27 Juli 1959 bahwa memaknai kemerdekaan, Alkitab sudah dengan tegas mengatakan di Galatia 5: 1 “ Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.” Baginya, jikalau memang, kuk perhambaan adalah hidup dibawah Hukum Taurat. Maka kita harus kokoh di Sion, tidak lagi di Sinai. Tidak bisa satu atap antara Sinai dan Sion.
Suami dari Eveline Ginting dan ayah dari dua putri bernama Margareth dan Josephine, kemerdekaan tentu patut direnungkan. “Kita hidup pada zaman dimana kebebasan menjadi tuntutan semua orang. Kebebasan berpendapat, kebebasan bersikap, kebebasan berbudaya, dan masih banyak kebebasan-kebebasan lainnya. Kebebasan (freedom) didapuk sebagai prinsip kehidupan masyarakat modern,” sebut lulusan Sekolah Dasar dari SD HKBP Sidikalang itu.
Lagi-lagi, bagi Dokter Spesialis Mata ini menyebut, siapa atau apa pun yang hendak memberangus kebebasan atau bertentangan dengan kebebasan, dianggap sebagai hal yang berlawanan dengan perkembangan zaman, bahkan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu ajakannya, sadarkah kita bahwa sesungguhnya kebebasan yang kita miliki itu justru membelenggu kita dalam banyak hal? Ini adalah sebuah paradoks yang nyata dalam kehidupan kita.
“Tanpa sadar kita terbelenggu oleh teknologi, kemudahan-kemudahan yang seharusnya menolong kita untuk melakukan banyak hal, malah justru membuat kita tidak mampu melakukan apapun tanpanya. Ditambah lagi tidak sedikit orang yang terbelenggu oleh masa lalu, oleh adiksi atau kecanduan akan suatu hal. Di lain pihak, belenggu yang mengikat kita itu juga bisa bernama pekerjaan, karir, sosial media, hobi, bisnis, bahkan pasangan atau anak-anak kita.”