Benarkah Takdir Kejam?
Banyak orang dalam perjalanan hidupnya mendapatkan hak istimewa, bersinar namun kemudian redup. Ada terus berusaha tetapi tak diberikan keistimewaan itu. Mengapa? Oleh karena tak membaca takdir dan selalu membacanya. Dan, banyak orang yang berpuas diri dan bahkan telah merasa menerima takdirnya. Orang merasakan kesuaman rohani karena tak lagi punya pengharapan. Tak berpengharapan itulah penutup takdir. Tuhan sedang memanggil kita, dari perspektif spiritual disebut perlu penglihatan rohani. Setelah mata batin melihat, menemukan rencanaNya dalam hidup kita, ada energi terbarukan, kita sudah pasti mengalami perubahan dalam pikiran, emosi dan, ada beberapa kemungkinan alasan sesuatu terjadi dalam hidup manusia. Pertama, kehendak Tuhan, ada yang menyebutnya takdir atau nasib. Kedua, hukum alam. Ketiga, kehendak bebas manusia. Manusia diberikan kuasa untuk berotoritas. Keempat interpensi setan atau ganguan setan. Tetapi empat kilah entitas tadi tetap dibawah kuasa Tuhan, PenyelenggaranNya, Sang Theos. Theos artinya Tuhan, centric artinya pusat.
Maka Theocentric adalah pandangan yang meyakini bahwa Tuhan adalah awal dan akhir serta pusat seluruh aspek kehidupan umat manusia.Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu dipahami; siapakah diri? Darimana diri ini berasal? Apa tujuan diri ada, apa potensi diri untuk memberi kontribusi bagi kemaslahatan. Dan, diri sedang melangkah menuju kemana dan akhirnya kemana? Tak mudah menjawabnya; tentu manusia diberi hikmat, selagi ada waktu, hidup akan bergumul mencari jawabannya. Dan, orang yang menggumuli pelan-pelan akan merasa disingkapkan. Benarlah ungkapan, hanya ada dua waktu terpenting dalam hidup manusia; hari dimana dirinya lahir dan hari ketika diri dirinya menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, yang dalam bahasa agama disebut lahir baru, menemukan tujuan hidup atas jawaban dari pertanyaan kepada pembuat Hidup. Bertobat. Sebab semua ada tujuan, seumpama barang diproduksi atau seseorang diciptakan jelas ada tujuannya.
Oleh karena itu, orang yang menemukan jawaban bisa menjabarkan bahwa pekerjaan adalah ibadah, oleh karena iman. Iman kepada Sang Pemilik hidup ditunjukkan melalui cara dan hasil terbaik yang memberi manfaat bagi orang lain. Iman itu hanya dari Dia. Dan memang problem manusia sangat kompleks memahami itu, terlebih menjelaskan iman, dan iman seseorang tak bisa diukur. Yang bisa diukur iman yang mewadahinya.Tentu yang paling menyedihkan ketika tak pernah tahu apa maksud dari setiap kejadian. Tak ada iman. Ibarat orang mengikuti ritual agama, tetapi tak merasakan kehadiran Tuhan, bahkan saat ibadah, dirinya sibuk dengan diri sendiri.
Ada lagi orang yang ikut ritus agama oleh karena menghormati leluhur semata saja. Lalu beranjak, ada orang mencari Tuhan oleh karena ingin sembuh dari penyakit, lepas dari kesulitan, bisnis lancar. Tetapi, ada orang lebih taraf lagi dari situ, mulai mensintesiskan pengajaran agama dengan dirinya sendiri, tapi itu hanya karena pimpinan agamanya mengajarkan demikian, belum pergumulan diri sendiri, dan di posisi ini diri masih di tataran mengkultuskan tokoh. Jika tak memacu diri, tak rindu lebih dalam mengalami kedalamanNya, belajar lebih dalam tentang siapa Dia, tak akan disingkapkan. Hanya kepada yang merindukan perjumpaanlah diberiNya rahasia.Jika orang sudah benar-benar haus kebenaran, maka di posisi ini, iman mulai berfungsi, dan iman itu bukan nalar dan kemampuan berpikir kristis manusia. Iman muncul dari belajar secara serius tentang Dia; inti iman.
Makin dalam makin bersatunya pengertian dengan perbuatan, dan berlahan memahami inti iman, dan tetap terbuka serta mampu bekerjasama dengan keyakinan yang lain. Di posisi ini pengenalan akan Tuhan tak dibatasi agama: Tuhan transendental, universal. Dan, jika batin terus dihidupi maka puncaknya memahami Tuhan yang tak mungkin dipahami oleh rasio. Orang di posisi ini, meskipun ada yang memusuhi dan mencari kesalahannya tak akan menemukan kesalahannya. Di posisi inilah yang paling taraf Yang Sempurna. Dan, belum ada seorang pun sampai di posisi ini selain Dia mengantarNya. Itu takdir.Banyak yang terpanggil sedikit yang yang dipilih dan lebih sedikit yang mengambil tanggung jawabnya. Mestinya orang yang mampu membaca takdir beralih dari panggilan pada pilihan, dari janji pada tujuan, dari status sebagai anak pada Pencipta. Tentu mengambil tanggung jawab ada konsekwensinya. Paul Tillich mengatakan, “Keputusan adalah suatu resiko yang berakar dalam keberanian untuk menjadi bebas.” Inilah rancangan kehidupan bagi orang yang mengambil tanggung jawab dari pilihannya, akan berdamai dengan dirinya, setelah berdamai dengan Pencipta.
Oleh Abraham Maslow menyebut, “seorang musisi harus menciptakan musik, seorang pelukis harus melukis, seorang penyair harus menulis, jika ingin berdamai dengan dirinya.”Disinilah perbedaan antroposentrik dengan theocentric. Antroponsentik fokus pada kekuatan pikiran dan usaha manusia. Dasarnya menjadikan sukses dengan kekayaan, materi, popularitas untuk menikmati hidup, untuk mendapatkan kebahagian dan kepuasan diri sendiri. Tujuan hidupnya untuk mendapatkan dunia, Tuhan dijadikan alat, bukan jadi pusat. Alasan beragama untuk mendapatkan kebahagian dan kepuasan diri. Kata-kata mengandalkan Tuhan belum tentu benar-benar menjadikan Tuhan sebagai pusat hidupnya. Berbuat baik berseru kepada Tuhan untuk mendapat berkat materi dunia, jika tak menemukan, akan mencari kuasa lain, bahkan menghalalkan segala cara.
Nadirnya, jika semakin sukses, orang yang berpusat pada diri semakin membanggakan kehebatan diri.Sementara theocentric; intinya berpatok pada kekuatan dan anugerah Tuhan, diintegritasikan dengan respon serta upaya terbaik diri. Bahwa tujuan hidup, mengembangkan bakat atau potensi yang Tuhan berikan. Dan, alasan mengikuti ritus agama sebagai respon ucapan syukur terhadap kebaikanNya. Berbuat baik karena cinta kasih murni kepada Sang Pemberi Hidup, bukan untuk mengharapkan balasan. Semakin sukses semakin rendah hati dan meninggikan Tuhan dalam hidupnya.
Menurut theocentcic, sukses utama adalah kesetiaan melakukan yang terbaik sepuluh kali lebih baik, lebih maksimal, sesuai potensi dan peluang yang Tuhan percayakan kepada masing-masing, dan itu membawa diri mendapatkan pekerjaan sebagai tempat pelayanan, tempat berbakti, tempat beribadah. Jabatan tinggi, pencapaian purna memang bukan tujuan, tetapi mau menunjukkan cahaya ilahi, nama Tuhanlah yang dimuliakan.Jika Tuhan adalah pusat hidup, Tuhan adalah motivasi hidup, diri sudah memahami kehendak Tuhan. Oleh karenanya jangan marah bila melihat gejala yang terlihat, padahal sumbernya tak terlihat. Disinilah manusia mesti sadar diri reflektor atau pantulan dari kemulianNya. Itulah sebab, dunia beserta isinya harus dibawah kembali pada kontrolNya, sebab semesta dibawah kuasaNya. Bila pengenalan akan Tuhan, kesalehan dan amal baik tak menjamin terhindar dari malapetaka atau penderitaan.
Lalu, kalau demikian untuk apa beragama, berdoa, berelasi dengan Tuhan?Saya kira pertanyaan di atas penting untuk mencari jawaban terhadap keadaan yang kita alami, teror Covid-19 yang sedang mengacam kita. Namun yang pasti Tuhan tak merangcangkan yang jahat (jadi rahasiaNya terkadang situasi sulit yang manusia sebut jahat terkadang dipakaiNya untuk membangungkan manusia menjalani rancanganNya), bahkan tak pernah meninggalkan manusia, justru manusialah yang melupakan dan meninggalkanNya. Bila pun setiap kejadian diizinkan bentuk interpensi Tuhan mau memperbaiki tatanan hidup kita. Namun yang pasti Tuhan ingin membetuk sejarah melalui kita. Hanya, pertanyaan maukah kita mengukir jejak kita? Ambil bagian kita, mulai menggenapi takdir kita dengan hasrat, tujuan dan produktivitas. (Hojot Marluga)