Dari Metanoia Ke Metamorfosa

Oleh: Hojot Marluga

Tak dibuat-buat, tetapi sungguh-sungguh dua kata di atas; metanoia dan metamorfosa diadopsi dari Alkitab. Kata metamorfosa yang lebih sering terdengung metamorfosis, bahkan lebih booming lagi dalam bahasa sains. Artinya, sains mengadopsinya dari Kitab Roma ucapan Paulus itu. Alih-alih metamorfosa merupakan perkembangan biologis yang melibatkan perubahan. Kitab Roma menyebut diawali metanoia, pertobatan terlebih dahulu. Kemudian dibuktikan dengan tindak tanduk, metamorfosa.

Kata metanoia berasal dari kata Yunani yang diartikan perubahan cara pikir baru. Dalam arti merangkul pikiran baru, melampaui batasan yang sekarang, berlahan namun pasti. Dari pola pikir lama, perubahan hati menjadi tindakan yang sungguh-sungguh. Namun, setelah bermetanoia tak boleh berhenti di sana, mesti beranjak ke arah bermetamorfosa. Setelah pertobatan ada perubahan. Pertobatan satu langkah, langkah kemudian membuktikan pertobatan. Jadi, pertobatan tak otomatis ada berubah. Dibutuhkan antusiasme baru untuk membuktikan, tak lagi berada pada pola hidup yang lama.

Setelah kelahiran ada pertumbuhan. Pertobatan dilanjutkan pertumbuhan. Pada sains hal ini disebut differensiasi sel, perubahan yang berurutan dari satu tingkat ke tingkat yang lebih baik lagi. Hati dan pikiran menyatu. Kata-kata maujud menjadi tindakan. Itulah bermetanoia menjadi bermetamorfosa. Maslahatnya, secara sadar kita mesti mendorong pada perbaikan diri untuk sampai metamorfosa. Tak secara pisikis, melainkan dalam hal sikap hidup. Perkataan lain, sosok yang antusias melakukan perubahan, metanoia. Berubah esensi dalam tataran praksis. Dari ulat bulu menjadi kupu-kupu dengan pesona warna-warninya, metamorfosa.

Ego terkendali

Oleh karena itu, kita perlu menyadari ego mesti dikomversi pada tujuan lebih purna. Sebab ego yang tak terkendali akan destruktif, bersifat memusnahkan atau menghancurkan. Sebaliknya, ego yang terkendali, terkonversi bisa disalurkan–diarahkan fokus pada tujuan kemanfaatan. Tentu akan membawa hidup yang produktif. Sebagaimana dikatakan seorang penginjil,  I.S McMillen: “Menyerahkan kemauan kita kepada kehendak Ilahi mungkin merupakan prosedur negatif, tetapi keuntungannya positif.”

Lalu, apakah mungkin manusia tak diberi kebebasan berbuat sesukanya? Tokoh Kristen, Billy Graham  menjawabnya, tentu saja tidak! “Allah tak otoriter memaksa ciptaan yang yang paling mulia, manusia untuk bertobat (metanoia). Allah tak pernah memperkosa kebebasan manusia. Manusia diberikan kesempatan merubah dirinya sendiri (metamorfosa).” Bahasa lain dari kata di atas adalah pertobatan. Seumpama, pertobatan seseorang akan terlihat dari sikap dan buah hidupnya. Nyatanya fakta membuktikan bukan selalu demikian. Kebanyakan dari kita menjabarkan orang yang bertobat itu otomatis akan diberikan kelimpahan materi.

Maka tak heran pembicaaan pada umumnya manusia, bahwa orang yang sudah memahami metanoia dan metamorfosa berjibun materi. Hanya pada kitaran itukah? Padahal lebih dari itu, adalah keabadian tujuannya. Contoh terayal. Beberapa waktu lalu saya ikut perbincangan di tengah-tengah para pendeta senior. Hanya menurut saya yang mereka bicarakan jauh dari nilai dan esesnsi metanoia dan metamorfosa. Yang mereka bincangkan bukan bagaimana dirinya dan umat yang digembalakan memahami dan melakukan, metanoia hingga bermetamorfosa. Yang dibicarakan adalah apa yang mereka capai. Berapa luas tanahnya. Apa merek mobilnya. Berapa harga rumahnya. Lalu, jabatan apa yang hendak dikejarnya lagi. Saya merasa duduk di antara orang-orang bertopeng, manusia “kudus”. Saya merasa pembicaraan tak berkualitas. Tak terbetik kata bertobat dan berbuah itu. Semua yang dibicarakan bukan tak penting, tetapi bukan itu ukuran keutamaannya. Di tengah pemenungan saya berpikir, jika pendeta saja sudah gelap mata, bagaimana jemaat yang tak sungguh-sungguh memahami esensi hidup?

Sesungguhnya kata di atas ajakan untuk semua orang. Adakah kita menyadari bahwa kita sudah baik menjalankan metanoia hingga ke metamorfosa? Berbalik dari pola pikir yang usang ke pola pikir yang baru. Bertindak melalui mefamorfosis yang tak mudah itu. Terus berusaha untuk lebih baik. Jikalau diri sadar bodoh, terus berusah belajar. Yang kurang baik terus berusaha untuk lebih baik.

Jika ada sikap metanoia ke arah metamorfosa sudah tentu kehidupan akan terasa berarti. Kehidupan mulai dihargai dengan mempergunakan waktu dan kesempatan yang masih ada. Pola pikir tak lagi hanya memikirkan yang kasat mata terlihat, tetapi memikirkan keabadian. Praksisnya kita akan merasa antusias menjalani kehidupan ini. Berusaha mencari makna dan memberi arti di kehidupan.

Penulis adalah jurnalis, pegiat buku dan motivator (Penerima Certified Theocentric Motivation)

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

twelve − two =