Kemudaan Akan Berlalu, Keteladanan Meninggalkan Jejak
suaratapian.com JAKARTA-Di hidup ini setiap orang diminta untuk meninggalkan makna, jejak ketauladanan dalam hidupnya. Hal itulah dihidupi Yunie Murwati, S.E, C.T.M, ingin meninggalkan makna, berbisnis tetapi memberi kemanfaatan bagi sesama. Setelah berpengalaman dua puluh lima tahun di perusahaan obat, membawanya ingin mandiri dan bisa membantu orang yang tak mampu. “Saya melihat ada peluang bisnis di apotek, waktu itu baru dibuka perumahan Sentul. Melihat bahwa di daerah itu ternyata peluang untuk mendirikan apotek terbuka lebar,” ujarnya.
Keberaniannya membuka apotek oleh karena praktisi obat, bekerja di perusahaan obat, dan memang latar belakang pendidikannya adalah analis laboratorium. Artinya, dia tahu obat dan beragam penyakit dan apa-apa obat yang tempat untuk mengobati satu penyakit. Yunie juga tahu meneliti darah seorang pasien dan tahu apa penyakitnya. Selain itu, dia juga dua puluhan tahu bergelut di pabrik obat. Jadi, selama ini dia sudah terbiasa menjual obat, berhubungan dengan rumah sakit dan para dokter. Tentu juga tak ujuk-ujuk bisa membuka apotek obat, harus ada persyaratan yang mesti dipenuhi. Oleh karena itu, tak ada halangan untuknya memberi masukan kepada pembeli obat.
Tahun 2000, Yunie membuka apotek ternyata di daerah perumahan di mana dia tinggal. Tenyata disana juga baru didirikan apotek baru. “Saya waktu mengurus izin tak tahu kalau ada apotek disana sejak awal. Kalau tahu tak akan saya buka.” Jelas tak mudah memulainya, karena hanya tiga ruko ada dua apotek. Jadi saat itu ada semacam kompetisi. Namun Yunie membuka apotek bukan hanya tujuan mencari uang semata, tetapi juga sebagai ruang melayani. Motivasi untuk membantu, maka tak heran obat-obat yang dijual murah.
Berjalannya waktu apoteknya makin banyak pembeli, dan empat tahun berjalan apotek di sebelahnya ternyata tak bisa lagi berjalan, malah yang ada dirinya diminta untuk ambil-alih. “Akhirnya saya beli apotek tetangga karena mereka tak bisa bertahan.” Praktis jalan beriringan dua apotek empat tahun. Lalu, bagaimana apoteknya bertahan, selain murah dia sendiri yang ikut melayani pembeli. Selain murah juga menjadi konsultasi diberinya gratis. Tak seperti ke klinik-klinik yang mahal, akan dikenakan tarif yang mahal.
Sesungguhnya pembeli terutama orang-orang kampung di luar kawasan perumahan. Walau disana ada perumahan yang elit, tetapi di sebelahnya juga ada perkampungan warga. Jadi yang datang membeli obat ke apotiknya justru orang-orang yang ekonominya relatif sederhana. Tak jarang diberi gratis karena mereka datang benar-benar tak punya uang.
Saat mendirikan apotek dia harus mengurus izin, walau dia merasakan tak mudah mendapatkan izin apotek. Apalagi sekarang ini pasti lebih sulit lagi, kalau kita membuka usaha, apalagi itu menjual obat-obatan jangan bermain-main, selain menjual obat yang memang lulus dari BPOM, tak boleh hanya mengutamakan untung semata, tetapi juga mesti memikirkan keselamatan para pembeli. Jika hanya mengejar untung semata, hanya buka toko obat daripada apotek, tentulah apotek dengan toko obat berbeda.
Toko obat menjual obat-obatan yang sudah ada merek, sedangkan di apotek dapat menjual obat dengan resep dokter. Misalnya, anti biotik itu tak boleh dijual di toko obat, sedangkan di apotek bisa dijual, karena pasti ada resep dan ahli yang mengetahui obat. Walau di kenyataan ada saja toko obat yang menjual obat resep dokter yang semestinya hanya bisa dijual di apotek. Tentu banyak toko obat hanya karena mengejar keuntungan semata tetapi melanggar hukum.
Walau sistim sudah bagus diterapkan pemerintah, tetapi di lapangan terjadi berbagai permainan dari para orang-orang yang maruk, ingin cepat kaya raya. Sebenarnya pemerintah sudah membuat obat-obat generik, obat-obat yang bermutu baik dan harganya murah. Sebelum ada generik, obat-obat paten jauh lebih mahal. Tetapi, walau sebagai pebisnis obat, menurutnya obat yang paling mujarab sebenarnya hati yang gembira. Banyak orang menderita cacat seumur hidup yang sebenarnya dapat menjadi baik jikalau mereka berpikir baik.”
“Saya rindu orang Indonesia ini bisa menikmati akses kesehatan yang baik, perawatan yang baik walau tak harus mahal. Saya saksikan misalnya di daerah-daerah karena saya penah ke daerah seperti ke pedalaman Kalimatan Barat, di Jawa Timur di pedalaman Malang misalnya, saya memperhatikan rumah sakit-rumah sakit misioner relatif bagus dan terjangkau biayanya. Mereka melayani pasien dengan hati.” Menurut Yunie, bukan karena rumah sakit mewah, tetapi perawatannya bagus, melayani. Sebenarnya ini adalah mimpinya kelak, satu saat nanti dia memiliki rumah sakit. “Saya rindu memiliki rumah sakit seperti yang dimiliki para missioner yang bisa membantu para pasien, kaum marginal.”
Maka disinilah perlu keteguhan hati, sebab memang hati mesti gembira untuk jadi obat dan itu paling mujarab untuk menyembuhkan segala penyakit. Ini tak hanya membuat diri kita merasa lebih baik, sebagaimana Amsal 17:22 mengatakan, “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.”
Menurut Yunie bahwa obat itu sebenarnya racun untuk tubuh, maka anjurannya, sebolehnya kalau bisa makan makanan yang sehat agar jangan sakit, jangan sampai mengkonsumsi obat-obatan. Dia mencontohkan, orang yang membuat rokok saja tak merokok, bahkan pengusaha obat itu sendiri tak mau makan obat, orientasinya uang.
Tak ada kepedulian apalagi empati di sana. Yunie merasa sejak kecil sudah merasakan kesulitan dari kehidupan, orangtuanya tak berpunya, senang dan kagum dengan cerita-cerita tentang kehidupan misionaris dan pelayanan. Karenanya, dia sangat kagum dengan Bunda Teresa yang dikenal sebagai Santa Teresa dari Calcuta itu. Seorang biarawati keturunan Albania. Teresa mendapatkan panggilan Tuhan untuk berkarya bagi orang miskin ketika bepergian dengan menumpang kereta. Bagi Yunie, Bunda Teresa adalah sosok yang memberi hatinya dengan sepenuh untuk melayani di tengah-tengah kaum miskin di India.
Inspirasi itu juga yang membuat dirinya waktu memulai bisnis apotek dua puluhan lalu di daerah Sentul. Air di daerah itu kurang bagus karena mengandung besi dan banyak anak-anak korengan dan gatal-gatal. Memang di daerah sana ada pabrik semen dulu, karena memang selain berbisnis dia ingin apotiknya juga memberi kemanfaatan untuk selingkungannya. Maka tak heran dirinya sering memberikan obat-obatan bagi penduduk kampung yang membutuhkan, dan tak jarang dia mendatangi keluarga yang tak mampu untuk berobat, dia bawa berobat ke rumah sakit, bahkan mengantar ke rumah sakit bahkan membiayai pengobatannya.
Tentu, belum sehebat Teresa, namun di hati sanubari Yunie, apotek yang dia dirikan ini sudah berjalan dengan baik, dan dia serahkan dikelola oleh orang-orang profesional. Karenanya, dia selalu tekankan hal itu kepada karyawan-karyawannya, saat ini ada sepuluh karyawan. Dia tekankan bahwa apotek itu didirikan bukan semata hanya orientasi uang, tetapi juga disana ada soal nilai, melayani. Karena itu tak mau berhenti di sana, dia selanjutnya mengembangkan sayap lagi di bisnis alat-alat kesehatan, termasuk menjual ke kampus-kampus ternama. Lalu, dirikan satu Perusahaan Terbatas sendiri untuk mengurus hal itu, menjual alat-alat laboratorium, sambil berbisnis juga melayani. Contohnya saja, beberapa waktu lalu Yunie bersama-sama dengan tim mereka ke Pulau Sumba. Bersama tim membawa buku-buku dan obat-obatan. Selain itu, mereka juga berkunjung ke puskesmas-puskesmas yang ada di masyarakat Sumba.
Soal kepedulian telah tertanam dalam batinnya sejak kecil. Dia mengaku lahir bukan dari keluarga yang berada, tetapi dari keluarga miskin. Tatkala dirinya baru lulus SD ayahnya meninggal, praktis dari remaja hingga dewasa dia dan kakak-kakaknya dibesarkan ibundanya seorang diri. Anak bungsu dari tujuh bersaudara ini, boleh dikatakan ayahnya meninggal dalam perjuangan ekonomi keluarga, belum berhasil. Dulu ayahnya dulu fotografer keliling sembali juga berdagang. Di kemudian hari juga ibunya berdagang bahan baku di pasar. Embrio jiwa entrepreneurnya datang dari orangtuanya. “Dari mereka saya mendapatkan keberanian untuk berbisnis. Saya pernah mendengar pernyataan tante saya mengatakan, kalian bisa berhasil oleh karena berserah kepada Tuhan.”
Ukir jejak
Punya bisnis, secara ekonomi bisa dibilang telah mandiri, tokh tak membuatnya berpuas diri. Itu sebab, tahun lalu dia mengikuti pendidikan, mendapat sertifikat, certified theocentric motivation (CTM). Awalnya oleh karena sering-sering mendengar siaran di radio smart fm dimana tiap hari Senin pagi ada siaran Smart Motivation. Dari sering-sering mendengar siaran tersebut memicunya pencarian yang panjang, bahwa hidup mesti memberi, bermanfaat bagi orang lain. Di CTM itu dia dituntun memahami apa itu panggilan hidup, mengukir jejak dalam meraih mimpi. Dari Founder and Master CTM Eloy Zalukhu dirinya langsung menimba ilmunya.
Sebagai penerima CTM, Yuni menemukan nilai tambah, dengan berpikir dan bekerja layaknya seorang pemilik, khususnya di tengah perubahan dan persaingan bisnis yang terus meningkat serta kondisi ekonomi yang semakin menantang perlu menemukan nilai hidup. “Saya punya prinsip menabur, menuai dan memberi. Saya rindu berbagi, berkontribusi untuk SDM bangsa. Kita ingin menjadi Indonesia yang besar,” ujarnya. Karena itu menemukan panggilan hatinya untuk memotivasi para kaum muda. “Saya ingin ada obor dari generasi muda. Saya rindu anak-anak muda untuk memotivasi mereka.” Yunie sendiri masih ingat ketika pengalaman spiritualnya, lahir baru 3 Juli 1988. Saat itu umurnya 16 tahun. Ada sebuah acara retreat dari gereja bertempat di Kaliurang, Yogyakarta, kisah jemaat GBO Bogor Raya, ini.
Dia menemukan bahwa selama ini dirinya hanya menjalankan seremoni. Perempuan kelahiran Kebumen, tahun 1972 ini, terus membebat dirinya soal panggilan di kehidupan. “Kita lahir ke bumi ini ada maksud Tuhan untuk diri kita, kita dipanggil untuk satu misi menemukan maksud Tuhan dalam kehidupan kita. Carilah panggilan Tuhan. Kemana mencarinya, kita hanya mendapatkan jawaban dari Tuhan.” Disinilah menurutnya penting keteladanan, tak mungkin bisa membawah dampak jika tak merasakan dampaknya. “Bagaimana mengajak kebangunan anak-anak muda jika ingin merasakan lahir baru. Karena panggilan itu, saya rindu untuk membentuk komunitas anak-anak muda yang membantu mereka menemukan potensi terbaik mereka.” Memang dirasakan bahwa mendidik manusia, anak-anak dan kaum muda tak boleh hanya diserahkan pada pihak sekolah, mendidik anak-anak di sekolah, di gereja tetapi juga tanggung jawab orangtua. Karena itu, tempatnya di Sentul diberinya untuk menjadi tempat pelatihan.
Oleh karena itu, bukan berapa lama kita hidup, tetapi seberapa berharga hidup yang kita hidupi untuk bermanfaat bagi sesama. Ada kisah, anak kecil yang hanya berumur lima tahun, karena tahu sudah diagnosa kanker, namun anak kecil itu tak meratapi keadaanya namun tergerak apa yang bisa dilakukan selama hidup, lalu mencari sponsor untuk membantu orang-orang yang sama seperti dia. Alhasil aksi anak kecil itu ternyata menolong banyak anak-anak, walau akhirnya dia meninggal, tetapi dia sempat membantu orang lain. Bagi Yunie tak boleh kaum mudah diremehkan, sebagaimana Kitab 1 Timotius 4:12 menyebut; “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.”
Di akhir perbincangan Yunie mengatakan, bahwa kemudaan akan berlalu, keteladanan akan meninggalkan jejak. Dan kita tahu bersama bahwa memang di dunia ini pun tak ada yang abadi, semuanya pasti akan berlalu. Tentu, semua orang dituntut untuk meninggalkan jejak di belakangnya dan darinya bisa menilai dan dilihat dari jekak tapak kakinya. “Keteladanan adalah kesanggupan untuk memberi pengaruh dan dampak positif bagi kehidupan. Bagi saya, khususnya untuk orang muda selalu mengajak untuk menemukan panggilan hidupnya. Oleh karena kemudaan akan berlalu, namun keteladanan meninggalkan jejak.” Oleh karena yang meninggalkan jejak di belakang kita mesti meninggalkan keteladanan sebagai jejak kita untuk diteladani orang lain. (Hojot Marluga)