Gerakan Mahasiswa Sekolah Kesadaran Politik, GMKI Anak Kandung Gereja
Suaratapian.com-JAKARTA-Webinar Nasional diselenggarakan Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia) dengan topik GMKI Dalam Pusaran Politik Nasional. Dalam diskusi itu mecuak pertanyaan, bagaimana memahami dan merumuskan dinamika politik nasional saat ini? Apa sebetulnya yang sedang terjadi? Apa pentingnya organisasi kemahasiswaan seperti GMKI dalam situasi politik saat ini? Dan, bagaimana posisi organisasi kemahasiswaan seperti Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dalam situasi politik nasional seperti saat ini? Lalu, peran seperti apa yang bisa dimainkan? Wibinar via aplikasi zoom, digelar Sabtu malam, (5/9/20). Tampil pembicara Ray Rangkuti (aktivis dan pengamat politik Indonesia dan pendiri Lingkar Madani), Gregorius Sahdan (Direktur The Indonesia Power For Demokrasi-IPD), Hurriyah, S.Sos, IMAS (Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI), Mohamad Guntur Romli (Politisi PSI), Dr. Sahat HMT Sinaga (Pengurus Nasional Perkumpulan Senior Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Diskusi dimoderatori, Jerry Sumampouw yang juga aktivis, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI).
Dalam sorotan Ray Rangkuti menyebut, urgensi gerakan mahasiswa. Menurutnya mahasiswa harus independen. “Kemurnian gerakan mahasiswa harus dikelola dengan baik dan tak bersinggungan dengan kelompok kepentingan. Gerakan mahasiswa mesti tetap kritis dan tak boleh terpengaruh oleh kepentingan apa pun. Gerakan mahasiswa mesti mempunyai kepentingan untuk kepentingan yang masyarakat,” ujar lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ray menambahkan, dulu, memang di rezin Orde Baru gerakan mahasiswa tepat untuk berhadap-hadapan dengan rezim, tetapi kalau sekarang di era Reformasi ini, tak selalu tepat lagi mahasiswa untuk selalu berseberangan dengan pemerintah. Tentu, kalau kepentingannya untuk berpihak kepada rakyat sah-sah saja. “Relatif apa yang terjadi di era Orde Baru itu sudah kita tinggalkan. Gerakan mahasiswa harus tetap memperlihatkan fungsi kritisnya, meskipun dia berada di luar lingkaran sistem kekuasaan,” tambahnya.
Ray juga mengatakan, relatif hanya gerakan mahasiswalah yang lebih dipercayakan masyarakat sekarang ini, apalagi tak ada oposisi yang kurang kredibel. Itu sebabnya dia berulang kali mengatakan, ciri khas dari mahasiswa harus independen. Tentulah gerakan mahasiswa juga mesti terbuka terhadap kritik, tetapi kritik yang membangun, bukan yang destruktif. Tentu apa yang dikatakan Ray mengenai pasrtisipasi gerakan mahasiswa dalam proses pembangunan.
Sementara Gregorius Sahdan menyoroti soal indeks pembangunan demokrasi. Indonesia sendiri masih di bawah Timur Leste soal demokrasi. Padahal, cita-cita Reformasi 1998 untuk membangun sistem politik yang pluralistik dan demokratis, sekarang ini makin mengarah kepada sistem politik yang monopolistik. Sistem politik yang monopolistik, nampak dari berkembangbiaknya politik oligarki dan klientelisme, baik di level nasional maupun di tingkat lokal (Provinsi dan Kabupaten). Politik harusnya ditempatkan sebagai bagian dari pembangunan demokrasi, dimana partai politik dan masyarakat sipil memiliki peran sentral di dalamnya.
Tetapi politik kita hanya dijadikan sebagai arena untuk memperoleh legitimasi dalam memerintah, sehingga oligarki memainkan peran yang sentral ketimbang partai politik dan masyarakat sipil. “Untuk mendapatkan legitimasi para aktor politik tidak peduli dengan kedaulatan demos dan pembangunan demokrasi, tetapi mereka mengutamakan kemenangan dengan menghalalkan segala cara seperti politik uang.”
Lagi, Gregorius menyebut, partai politik kebanyakan didirikan oleh para oligark, orang kaya untuk memperkuat pengaruh mereka dalam politik dan pemerintahan. Partai juga didirikan untuk mengeruk sumberdaya ekonomi, bukan untuk tujuan pembangunan demokrasi itu sendiri. Itu sebabnya, banyak orang kaya mendirikan partai dengan tujuan untuk memperkuat dan mempertahankan penguasaan mereka atas sumberdaya ekonomi Indonesia yang nota bene merupakan sumberdaya ekonomi negara.
Karena, Gregorius berpesan GMKI sebagai pilar terdepan masyarakat sipil perlu mengambil posisi oposisi tepat dalam politik Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat sipil sebaiknya menjaga jarak dengan pemerintah atau tidak boleh berada dibawah ketiak pemerintah. Sementara Hurriyah, staf pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI menyebut anak muda mesti memerankan peran demos.
Dalam webinar tersebut, salah satu senior GMKI yang hadir adalah Theofransus Litaay atau yang lebih dikenal Theo Litaay, berpendapat bahwa Gerakan Mahasiswa adalah sekolah kesadaran sosial politik dan social justice bagi para pemimpin muda. Mereka tak akan selamanya menjadi anak muda. Pada saat semakin dewasa mereka akan menjadi bagian dari perekrutan pemimpin masyarakat dalam berbagai bidang termasuk bidang politik, tapi tak selalu terjun dalam bidang politik praktis.
Litaay menambahkan, “Lebih banyak mantan aktivis yang menjadi profesional dalam bidang masing-masing. Dalam situasi demikian mereka berperan menularkan perspektif keadilan sosial, kesadaran politik dalam bidang bidang masing-masing. Para aktivis mahasiswa yang terbiasa berjuang dalam setting kebhinnekaan turut menularkan semangat kebhinnekaan itu di dunia kerja maupun kehidupan bermasyarakat,” terangnya Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia ini. Baginya, inilah pentingnya gerakan mahasiswa sebagai, “sekolah calon pemimpin masyarakat.”
Muhammad Guntur Romli menyebut infrastruktur politik sebagai pendamping dalam sistem politik Indonesia. Dan sistem pengkaderan GMKI memiliki sistem menyiapkan kadernya? Bukan cuma pengintip uang. Lalu, bagaimana pososi gerakan mahasiswa (organisasi) secara kelembagaan memainkan perannya? “Gerakan Mahasiswa jangan melulu intens berbicara politik, GMKI juga perlu intens membangun kader yang profesional Jikalau pun mau menjadi politisi kader GMKI harus punya profesionalitas,” ujarnya. Selain itu, Guntur Romli demikian dia disapa menyebut juga tantangan ke depan adalah menguatnya politik identitas. Guntur mengingatkan agar berhenti mempolitisasi agama dan menjadikan politik identitas untuk meraih kekuasaan.
Pembicara terakhir Sahat HMT Sinaga menyoroti posisi GMKI dalam pusaran politik nasional. Sahat menjelaskan GMKI yang didirikan tanggal 9 Februari 1950 ini memiliki prinsip kemahasiswaannya, kekristenannya, ke-Indonesiaannya GMKI mendidik anggotanya supaya siap bersaing di masyarakat. Dan GMKI menjadilah suatu pusat sekolah latihan dari orang-orang yang mau bertanggungjawab atas segala sesuatu yang mengenai kepentingan, dan kebaikan negara dan bangsa Indonesia.
“Gerak langkahnya lewat pikiran, pernyataan, sikap mempengaruhi konstelasi politik nasional. Anggota, kader GMKI adalah sumber potensial bagi pergerakan politik nasional, menjadi politikus. Dengan keterampilan berorganisasi dan kepekaan terhadap situasi masyarakat diasah lewat program kaderisasi,” ujar mantan Ketua Umum Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dan Sekretaris Jenderal Partai Damai Sejahtera. Sahat juga mengatakan, GMKI jangan lupa bahwa GMKI anak kandung gereja. Tidak asing bahwa GMKI disebut anak kandung gereja. Artinya, GMKI ikut berperan serta mengejawantahkan trilogi panggilan gereja: Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian. Dan GMKI menyatakan, dirinya sebagai anak kandung Gereja. (Hojot Marluga)