Inggris Kekurangan Sipalu Giring-giring, Bagaimana Bona Pasogit?

suaratapian.com-Bagi sebagian besar umat Kristen di Bona Pasogit bunyi lonceng gereja adalah salah satu penanda kehadiran gereja. Giring-giring, begitu namanya dalam Bahasa Toba dan Simalungun, berfungsi menyampaikan berbagai pesan gereja. Bunyi giring-giring pada hari Sabtu berguna untuk mengingatkan bahwa besok adalah hari Minggu, hari beribadah. Bunyi lonceng dengan ketukan tertentu, menyampaikan berita duka. Lonceng gereja juga berfungsi untuk mengingatkan ibadah segera dimulai. Dalam pergantian tahun, lonceng gereja menjadi simbol pengesahan berlalunya tahun yang lama, yang terkadang mendatangkan rupa-rupa kenangan, seperti lagu Almarhum Eddy Silitonga  ‘Mangkuling Giring-giring.’

Tradisi membunyikan lonceng gereja  datang dari Barat. Menurut sejarah, lonceng gereja sudah mulai digunakan sejak tahun 400. Ia menggantikan fungsi terompet dan berbagai piranti bunyi lainnya, yang sebelumnya jamak digunakan.

Membunyikan lonceng gereja ada seninya. Bahkan di Inggris studi tentang lonceng gereja sudah sangat mapan. Mereka yang mendalami studi ini disebut campanologist. Ini dapat dimaklumi karena teknologi lonceng gereja cukup kompleks; ada beragam bentuk dan bunyinya.

Saya pertama kali belajar membunyikan lonceng gereja saat duduk di kelas 1SMP. Kala itu ayah saya sebagai sintua mendapat amanat sebagai sipalu giring-giring (pembunyi lonceng gereja) menggantikan sintua lainnya yang sudah puluhan tahun mendapat tugas serupa.

Lonceng gereja kami sebagaimana kebanyakan lonceng gereja tua umumnya, masih produk asli Jerman. Ia dibawa oleh misionaris dari negara Martin Luther itu atas permintaan jemaat.

Tidak mudah ternyata untuk membunyikannya. Tali giring-giring yang menjuntai dari puncak menara, memerlukan seni untuk menarik dan mengulurnya. Kesalahan menarik dan mengulurnya dapat membuat lonceng berbunyi tidak teratur, bahkan  sama sekali tidak berbunyi. Pendulum lonceng berisiko bergerak searah dengan badan lonceng yang bentuknya seperti bunga raya terbalik, yang seharusnya saling berlawanan agar dapat berdentang.

Pendek cerita, saya tidak lulus training informal lewat learning by doing yang dipandu ayah. Adik saya yang baru duduk di kelas empat SD justru berhasil.

Itu adalah kegagalan yang masih terus saya sesali hingga kini. Bagaimana mungkin saya bisa gagal untuk pekerjaan seremeh itu?, begitu pikiran saya.

Dua tahun kemudian saya meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA di Pematang Siantar. Kesempatan belajar membunyikannya semakin berkurang. Saat melanjutkan pendidikan ke Jakarta dan kemudian ke Bandung, kesempatan semakin tertutup. Jarang sekali gereja di dua kota ini yang memiliki lonceng gereja klasik seperti di kampung halaman.

Saya membuat catatan ini setelah membaca sebuah berita yang sangat menarik di koran The Times, Inggris beberapa hari lalu. Untuk memeriahkan penobatan Pangeran Charles sebagai Raja pada 6 Mei mendatang, direncanakan seluruh gereja akan membunyikan lonceng bersamaan.

Namun ada sedikit masalah. Jumlah lonceng gereja di Inggris mencapai 38.000. Saat ini jumlah pembunyi lonceng gereja baru 30.000. Dibutuhkan 8.000 lagi petugas sipalu giring-giring.

Kekurangan ini dicoba diatasi dengan membuka kesempatan bagi relawan untuk mendaftar. Sejauh ini baru 300 kandidat yang menyatakan bersedia.

Menurut Dewan Pusat Pembunyi Lonceng Gereja (Central Council of Church Bell Ringers/CCCBR), diperlukan sedikitnya 15 jam pelatihan untuk mampu membunyikan satu jenis lonceng gereja. Padahal di Inggris, satu gereja mungkin memiliki beberapa jenis lonceng.

Patut dicatat Dewan ini sudah berdiri sejak tahu  1891, menandakan bahwa pekerjaan pembunyi lonceng gereja di Inggris sesungguhnya sudah mapan. Ilmu dan kurikulum trainingnya sudah terpelihara selama ratusan tahun. Sekolah bagi pembunyi lonceng gereja pun ada.

Meskipun saat ini masih kekurangan tenaga pembunyi lonceng gereja untuk upacara penobatan Raja, panitia cukup yakin akan terpenuhi pada saatnya nanti. Vicky Chapman, juru bicara Dewan, mengatakan, anak-anak usia 8 tahun juga sudah boleh dilatih membunyikan lonceng gereja.

Minat menjadi pembunyi lonceng gereja seringkali meningkat saat momen-momen tertentu. Menurut Chapman, banyak orang mendaftar jadi pembunyi lonceng gereja saat perayaan jubileum penobatan Ratu Elizabeth II tahun lalu. Beberapa waktu sesudah kematian Ratu Elizabeth II juga minat menjadi pembunyi lonceng meningkat.

Banyak di antara peminat baru itu sudah tidak dapat dikatakan muda lagi. Menurut Amanda Richmond, dari Asosiasi Guru Pengajar Membunyikan Lonceng Gereja, murid pemula mereka sering menyesal mengapa mereka tidak mempelajarinya sejak dulu.

Saat ini CCCBR telah membuka pendaftaran lewat website. Menurut Chapman rata-rata 30 orang per hari mencari informasi tentang kesempatan ini dan mendaftarkan diri. Momen ini diharalkan juga akan menghidupkan lagi minat yang lebih besar menjadi pembunyi lonceng gereja sehingga tidak didominasi orang tua.

Bagaimana di Bona Pasogit?#

Eben Ezer Siadari adalah seorang penulis, tinggal di Ciputat, Tangsel. 

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

six + six =