Pejuang Kemajuan Perempuan Batak

Oleh: Sita van Bemmelen

suaratapian.com JAKARTA-“Awalnya adalah kemerdekaan di Indonesia 17 Agustus 1945. Partai-partai didirikan di seluruh Indonesia, dan salah satunya adalah Parkindo. P.W.K.I. (Persatuan Wanita Kristen Indonesia) didirikan untuk kaum perempuan dan P.P.K.I. (Persatuan Pemuda Kristen Indonesia) untuk generasi muda, sebagai bagian dari Parkindo. Pada permulaan tidak mudah untuk menarik perhatian kaum perempuan, mereka berpendapat itu urusan laki-laki, tetapi lambat laun mereka membuka mata. Masa itu adalah masayagn indah, walaupun melelahkan. Suami saya dan saya seringkali harus berkeliling di Tapanuli, saya sendiri untuk bertemu dengan ibu-ibu dan membentuk kelompok perempuan, dibimbing oleh panitia pengurus yang terdiri dari perempuan dan gadis-gadis. Sekali setahun diadakan konferensi, bergiliran di ibu kota salah satu kabupaten. Berbeda sekali dengan pesta adat itu yang hanya meminta kemasyuran, kekayaan, dan jumlah anak yang banyak, tentunya terutama anak laki-laki! Temanya adalah: laki-laki dan perempuan punya tanggung jawab yang sama terhadap bangsa, terhadap kemerdekaan kami. Tahun 1945 mulailah kemerdekaan, tahun 1956 diadakan Pemilihan Umum pertama. Partai Kristen Indonesia memperoleh kemenangan yang hebat, berkat perempuan yang bersama dengan Parkindo menjalankan kampanye. Tema itu, tanggung jawab yang sama, saya menegaskan berulang kali pada saat rapat-rapat, pertemuan-pertemuan besar, dan saya melihat bagaimana perempuan perlahan-perlahan menjadi lebih bebas, tidak selalu tertekan oleh rasa takut bahwa mereka tidak akan melahirkan anak laki-laki dan tanpa hak. Pada pertemuan ini dijelaskan pada perempuan bahwa mereka boleh membela diri, bahwa umpamanya seorang laki-laki tidak berhak mengusir begitu saja seorang istri yang tidak punya anak. Waktu itu adalah masa yang indah, melihat bahwa perempuan mengadu ke panitia pengurus dan bagaimana mereka diberi bantuan.

Umumnya sebuah kasus berakhir dengan baik, perempuan dapat memetik hasil pekerjaannya. Kalaupun lebih sulit, kalau suami mengambil hasil pekerjaan istrinya untuk dirinya, PWKI mendekati panitia pengurus Parkindo setempat, yang kemudian menjamin keadilan akan terlaksana.” Sumber: Surat Julia Sarumpaet-Hutabarat kepada penulis, 17 Maret 1987 (aslinya dalam bahasa Belanda)Pada awal tahun 1985 saya berkunjung ke rumah Ibu Julia boru Hutabarat di rumahnya di Rawangun, Jakarta dan langsung dapat kejutan. Ibu Julia mengambil tangan saya dan menarik saya ke dalam kamar keluarga, sambil mengatakan dalam bahasa Belanda: “zijn niet alle mannen vreselijk?” (apakah bukan semua laki-laki ‘terrible’?) Saya tentunya langsung tertarik dengan ungkapan ibu Julia: apa yang mendorong ibu yang sudah lanjut usia ini untuk melontarkan statemen yang cukup ekstrim ini? Ternyata memang betul, ibu Julia memiliki intelek yang sangat kritis terhadap budaya Batak, khususnya keistimewaan yang diberi pada kaum laki-laki. Saat wawancara yang berlangsung selama dua jam saja, ibu Julia mengangkat tema yang mungkin dapat dikatakan merupakan inti perjuangannya: nasib yang buruk yang menimpa banyak perempuan Batak yang tidak punya anak laki-laki. “Seorang ibu tidak ada artinya kalau tidak ada anak laki-laki. Anak laki-laki, bapak-bapak yang berkuasa. Kalau leluarga yang tidak ada ayah (lagi), hartanya diambil.

Seharusnya itu tidak terjadi lagi”, dia tutur. Sayang sekali, saya tidak bertemu dengan ibu Julia lagi karena harus berangkat ke Tapanuli dalam rangka penelitian untuk tesis. Kami hanya melanjutkan komunikasi melalui surat-menyurat selama dua tahun setelahnya. Rupanya ibu Julia tertarik untuk membantu saya dan mau ambil pusing untuk menjawab pertanyaan saya secara tertulis. Kutipan di atas saya ambil dari salah satu surat yang dialamatkan ibu Julia ke saya. Jujur saja, saya tidak langsung menangkap ibu Julia adalah seorang Batak Toba yang istimewa. Saya baru menyadarinya setelah saya mewawancarai beberapa puluh ibu-ibu Batak di Jakarta, Medan, Bali, yang sempat menerima pendidikan lanjutan pada masa penjajahan (kelompok sasaran penelitian saya). Tidak ada banyak yang lain yang menyuarakan keberatannya terhadap unsur patriarkal budayanya sendiri, walau mereka banyak menceritakan kisah-kisah tentang nasib sendiri atau saudara perempuan yang saya menilai cukup menyedihkan pada waktu itu. Sebagian besar bersikap ‘pasrah: begitulah budaya kita. Bahkan ada di antaranya yang membenarkan pengambilan istri kedua oleh anak laki-lakinya, bila ternyata perkawinan dengan istri pertama mandul, walaupun hal itu tidak bisa dibenarkan oleh gereja. Lain halnya dengan ibu Julia. Saya merasa mungkin Julia pantas disebutkan ‘aktivis’ perempuan Batak yang paling gigih memperjuangkan hak perempuan Batak Toba pada masa lalu.Hal yang menarik pula adalah bahwa Julia tidak hanya berbicara di muka umum tanpa tahu lelah, misalnya di pertemuan-pertemuan dengan perempuan PWKI yang direnungkannya dalam surat yang saya kutip di atas. Julia juga menyuarakan pandangannya secara tertulis. Sayangnya saya tidak menemukan kopi dari majalah Melati, yang merupakan media cetak PWKI pada tahun 1950an di perpustakaan nasional di Jakarta. Saya hanya mendapatkan beberapa tulisannya di sebuah majalah zending Belanda (Zendingsblad der Nederlandse Hervormde Kerk) pada tahun 1958 dan sebuah buku yang diterbitkan di Jerman (1966). Selain itu ada juga beberapa naskah yang dikirim oleh ibu Julia sendiri. Sebagian dari tulisan tersebut memiliki persamaan dengan surat pahlawan nasional perempuan, R.A. Kartini, karena tidak bersifat deskripsi saja, tetapi unsur pribadi sangat menonjol. Misalnya, tulisan yang berjudul ‘Lagi-lagi anak perempuan’ (Wieder nur ein Mädchen). Di dalamnya Julia menceritakan tentang pesta pembaptisan untuk anak perempuan yang ketujuh yang dirayakan secara adat dengan undangan dari semua pihak, baik dongan dari suami, hula-hula dan boru. Pada suatu saat wakil keluarga suami mengatakan: “…dan ini sudah anak perempuan yang ketujuh dari anak kami. Dan walau kami juga gembira akan anak perempuan ini, hati kami mendambakan kegembiraan yang besar, yaitu anak laki-laki, agar ada yang bisa berkuasa atas saudara perempuannya”. Reaksi Julia: “Perlahan kegembiraan menghilang. Mungkin saya tidak pernah akan belajar untuk tetap tenang mendengarkan kata-kata seperti itu. Saya merasa terluka dan kecewa”. Dan dia menambah bahwa dia sendiri tidak sedih anaknya Elsa adalah bayi perempuan dan tidak ingin menukarkannya untuk bayi laki-laki…Tulisan yang sama dan juga lainnya juga memberi saksi tentang sumber ilham perjuangan ibu Julia, yaitu agama kekristenan yang dianut yang tidak membedakan antara ‘harga’ laki-laki dan perempuan. Sebenarnya Julia juga menulis mengenai macam-macam tema lain seperti poligami, kedudukan perempuan Batak dalam gereja, peran perempuan dalam pembangunan dll. Hanya saja, dalam rangka tulisan ini yang tidak bisa panjang lebar ini, saya tidak mungkin memberikan gambaran yang menyeluruh tentang sosok Julia Sarumpaet-Hutabarat dan perjuangnya. Di samping itu, saya tidak bisa memberi gambaran seperti itu, karena saya tidak melakukan penelitian biografis tentangnya. Saya hanya ingin melunasi sebuah hutang budi yang saya embankan pada diri saya sendiri.

Saya pernah sempat mengirim ke ibu Julia sebuah artikel yang pernah saya tulis tentang pandangan ahli Belanda, J.C. Vergouwen (1933) mengenai kedudukan hukum perempuan Batak (1987). Reaksinya ibu Julia? Sita menulis dengan rasio (verstand), sedangkan saya menulis dari hati. Hati saya tersentuh juga: apa gunanya menulis dengan rasio saja? Melalui tulisan ini saya ingin suara hati ibu Julia terdengar khalayak lagi. Siapa tahu, karangan ini membuat orang lain berminat mengkaji lebih mendalam sosok perempuan Batak yang hebat ini? Siapa Julia Sarumpaet Hutabarat?

Julia boru Hutabarat lahir pada tahun 1916 sebagai anak ke-tiga dari pasangan Renatus Hutabarat (1875-1967) dan Marselina boru Tobing-Sumutul (1886-1968), istri keduanya setelah istri pertama, boru Tobing-Sumutul juga, meninggal dunia. Lingkungan keluarga asal Julia adalah istimewa; ayahnya, Renatus Hutabarat memperoleh pendidikan di seminari zending di Pancur na Pitu tetapi kemudian memilih untuk bekerja untuk pemerintah kolonial sebagai demang (jabatan tertinggi di Tapanuli yang terbuka untuk orang pribumi) di Porsea dan Balige, melanjutkan karir ayahnya yang menjambat sebagai raja jaihutan. Marselina boru Tobing, ibunya Julia, berasal dari keluarga yang berpendidikan, ayahnya dikirim sebagai pendeta ke pulau Enggano oleh zending. Sebagai anak dari seorang demang, Julia dapat kesempatan untuk meraih pendidikan yang tinggi.

Setelah lulus dari HIS (Hollandsch Inlandsche School, sekolah dasar memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dengan kurikulum 7 tahun) pada tahun 1930 dia melanjutkan pendidikan ke sekolah guru (HIK, Hollandsch Inlandsche Kweekschool) di Solo. Setelah lulus pada tahun 1936, dia bekerja sebagai guru selama empat tahun di HIS di Pematang Siantar dan setelah kemerdekaan (?) sempat menjabat sebagai kepala sekolah kepandaian putri. Pada tahun 1950-an Julia menjabat sebagai ketua umum PWKI (Persatuan Wanita Kristen Indonesia) dan menulis di majalah Melati, terbitan PWKI. Pada tahun 1957 perjuangannya di daerah Sumatra Utara berhenti, karena keluarga Sarumpaet pindah ke Jakarta.Julia Hutabarat menikah dengan ….. Sarumpaet, seorang pendeta pada tahun ….. Mereka dianugrahi sepeluh anak, delapan anak perempuan dan dua anak laki-laki (anak ke-delapan dan ke-sepuluh). Sumber: wawancara dengan Teodora Tobing-Hutabarat (1924), adiknya Julia pada bulan Mei 1985.. Foto Ibu Julia dengan suami dan 5 anak. (Sumber: “De zoon” (Sang Putra), dalam: Zendingsblad der Nederlandse Hervormde Kerk, 38(1954) no. 11, hal. 8-12.

Bahan pustaka:

Bemmelen, Sita van (1987) “Een adatstudie in historisch perspectief: J.C. Vergouwen over Batakse vrouwen”, in: Jeske Reys et al. (eds.) Vrouwen in de koloniën. Jaarboek voor vrouwengeschiedenis no. 7. Nijmegen, SUN. Pp. 52-77.

Julia Sarumpaet (1954), “De Adat in het Licht Gods Word” (Adat dari segi Injil), dalam: Zendingsblad der Nederlandse Hervormde Kerk, 38(1954) no. 7: hal 8-11; dan no. 8/9: hal. 4-9;

“Gesprekken” (Berbincang-bincang), dalam: Zendingsblad der Nederlandse Hervormde Kerk, 38(1954)no. 10, hal. 10-11; “De zoon” (Sang Putra), dalam: Zendingsblad der Nederlandse Hervormde Kerk, 38(1954) no. 11, hal. 8-12.

Julia Sarumpaet (1966) “Die Stimme der Frau” (Suara Perempuan): dalam Theodor Mueller-Krueger (ed.) Indonesia Raya: Anlitz einer grossen Inselwelt. Bad Salzuflen, MBU Verlag 1966).

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

seventeen − sixteen =