Mengelola Kepanikan Saat Pandemi

Suaratapian.com JAKARTA-Pandemi covid-19 sangat berdampak luar biasa, sehingga ada kepanikan di tengah masyarakat. Baik di bidang pendidikan, ekonomi maupun dalam mengatur relasi satu dengan yang lainnya untuk mengantisipasi agar tidak tertular Covid-19. Saat memasuki sekolah pun demikian, yang sibuk bukan hanya guru dalam menyusun kurikulum dan sejenisnya, tetapi orangtua pun turut serta untuk mempersiapkan diri agar bisa menerapkan pembelajaran di rumah saat pademi ini. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana mengelola kepanikan tersebut, khususnya bagi orangtua? Atas hal itu PEWARNA Indonesia menghadirkan diskusi dalam jaringan yang dikaji dari beragam perspektif. Diskusi diadakan pada hari Jumat, (21/8/20).

Pembicara Dr. Donna M. Sampaleng,  M.Pd., D.Th. mengutip pernyataan John Dewey “Education is Not preparation for life; education is life itself” jikalau diterjemakan secara bebas “Pendidikan Bukanlah persiapan untuk hidup; melainkan pendidikan adalah hidup itu sendiri.” Demikian dosen STT IKAT ini melanjutkan, bahwa, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia dengan cara yang tepat.” Anggota Litbang PEWARNA ini juga memaparkan bahwa, “Permasalahan seputar pendidikan sejak dulu kala adalah Akses Pendidikan, Sarana Prasarana, Sumber Daya Manusia, Sistem Pendidikan, Luaran Pendidikan, Pembiayaan Pendidikan, maupun Husemas – Hubungan Sekolah dan Masyarakat,” ujarnya.

Pandemi mendorong perubahan yang terjadi lebih cepat “new normal life, new paradigm, new spirit,” tegas Donna. Dalam catatan akhirnya disampaikan bahwa “Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah dan lembaga pendidikan memanfaatkan masa pandemi ini untuk mendorong melakukan peningkatan sarana prasarana yang mendukung pembelajaran yang berkualitas. Era sudah berubah mari berubah dan beradaptasi dengan situasi baru. Orangtua dan guru bersinergi mewujudkan pembelajaran PAIKEM GEMBROT (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, Gembira dan Berbobot) di sekolah maupun di rumah atau dimana saja. Hidupi tatanan kehidupan baru dengan optimis bahwa kemajuan pendidikan Indonesia akan membawa Indonesia maju dalam pengertian yang sesungguhnya,” tutupnya.

Sementara Jenny Gichara, S.H., B. Ed., M.Pd. menyoroti kepanikan orang tua saat pandemi, bahwa nyaris enam bulan terperangkap setelah diumumkan adanya corona virus di Indonesia. Hal ini menimbulkan reaksi yaitu, segala sesuatunya berubah, banyak pihak tak siap menghadapi pademi, muncul kemarahan dan kepanikan. Guru Sekolah Terpadu Pahoa ini menegaskan beberapa dampak negatif dari pandemik ini, yaitu muncul rasa cemas, stress, marah, takut, putus asah, kewalahan, bosan, dan panik.

Menurut penulis dan Pembina remaja gereja ini, ada dampak positif yang bisa dirasakan dengan pandemi ini, yaitu akrab atau sosialisasi terbina kembali dalam keluarga, lebih sehat karena menjaga kondisi hidup sehat; memunculkan keterampilan baru, misalnya yang tidak bisa masak menjadi bisa masak, karena dikondisikan untuk memasak; munculnya layanan online yang menyeluruh, baik sekolah, pedagang atau kegiatan lainnya.

Kiat mengatasi masalah saat pandemi ini menurutnya adalah “Berdamai dengan situasi yang terjadi saat ini; menciptakan kegiatan positif: olahraga, membaca, menulis, memasak, melukis, desain, buat video/ngevlog, bermain; berdoa; tetap tenang; orang tua tetap menjalin komunikasi yang baik dengan guru,” ujar Jenny sembari menekankan bahwa “Kita harus bersiap dengan segala kondisi yang ada. Jikalau kita siap, maka tak akan ada kepanikan.”

Menurut Parhimpunan Simatupang, S.E., MBA mengatasi kepanikan tersebut kita harus merestrukturisasi pola pikir, karakter dan iman. “Bagaimana kita mengatasi kepanikan yang ada? Mari mencoba untuk merestructure pola pikir atau mindset, karakter, dan iman,” ujar dosen Universitas Prasetya Mulya Jakarta ini sembaru menjelaskan juga bahwa, “kita harus mau merestrukturisasi hati dalam Tuhan. Jangan selalu mengedepankan kepintaran manusia semata. Pola pikir kita juga harus diubah, misalnya seperti bangsa Israel masih memiliki mental untuk mau tetap di Mesir, meskipun mereka sudah berjalan maju di padang gurun untuk bebas dari Mesir. Kita harus optimis bersama dengan Tuhan.”

Gembala GKAI Jemaat Puncak ini juga mengatakan, orangtua juga harus bisa berbicara secara personal dan sesuai fakta. “Membicarakan secara private dan sesuai fakta dan tetap berharap kepada Tuhan. Pandemi ini menuntut kita untuk punya waktu bersama dengan keluarga. Merendakan hati, mengelola pola hidup, membuat pola intim dengan Tuhan bersama dengan keluarga dan situasi ini menunjukkan bahwa kita sama di hadapan Tuhan,” katanya.

Sementara penjelasan Pdt. Ir. Yoel M. Indrasmoro, S.Th. memulai penjelasannya dengan mengutip pengertian panik dari Kamus Besar Bahasa Indonesia: “bingung, gugup, atau takut dengan mendadak, sehingga tak dapat berpikir dengan tenang. Kepanikan terjadi karena secara alami manusia adalah makhluk yang selalu berpikir, bersikap, dan bertindak teratur. Selalu berpikir, bersikap, dan bertindak yang semestinya. Ketika sesuatu berlangsung tidak semestinya, panik pun mulai menghantui.” Pelayan di GKJ ini menekankan bahwa “Pandemi harus diakui membuat kita panik!”

Direktur Literatur Perkantas Nasional ini mengutip Di dalam cerita ”Who moved my cheese?” ada empat tokoh yaitu Sniff yang mencium serta mengantisipasi perubahan. Scurry yang segera bergegas mengambil tindakan. Hem yang marah terhadap perubahan dan menganggapnya tidak adil. Haw yang pada awalnya enggan berubah tetapi pada akhirnya menyadari bahwa harus ikut perubahan yang terjadi disekelilingnya.

Salah satu pengurus di Jaringan Peduli Anak Bangsa ini melanjutkan, “Kenyataannya, kita sering bersikap seperti kedua kurcaci ini: tidak siap menghadapi perubahan. Lebih parah lagi, kita acap mengambil sikap seperti Hem, yang mengingkari perubahan dan tidak mau berubah sama sekali. Padahal, tiada yang kekal di dunia ini. Dunia senantiasa berubah. Jika kita tidak ikut berubah, kita akan punah.”

Tentulah pandemi ini mengubah semuanya dan ini adalah masalah. “Masalah berasal dari dua kata “Masya” dan “Allah” apa kehendak Allah dengan yang terjadi. Masya Allah, apa kehendak Allah?” Dia menambahkan, bahwa adaptasi yang penting dilakukan adalah tenang. “Dan bicara soal adaptasi, maka yang penting dilakukan pertama kali adalah tenang,” ujarnya. (HM)

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

five + fifteen =