Paradoks Perusahaan Batak: Kesuksesan yang Tak Berkelanjutan?
suaratapian.com-Di Kawasan Danau Toba, tanah air orang Batak, menyimpan cerita unik. Berbeda dengan suku lain di Indonesia, sejarah dan budaya Batak terlihat lebih tertunda. Borobudur, Aceh, Sriwijaya, dan pedagang Bugis-Makassar telah meninggalkan jejak sejarah yang mendalam, sementara Tapanuli di tanah Batak masih tersembunyi. Tulisan ini mencoba mengungkap posisi pengusaha Batak di masa lalu dan manfaatnya saat ini. Moral akhirnya adalah refleksi diri dan identifikasi potensi perusahaan Batak dalam pembangunan nasional. Sejarah sunyi pengusaha Batak utamanya Toba menantang untuk ditelusuri. Apa yang membuat orang Batak agak tertinggal dalam kancah usaha? Mengapa perusahaan Batak berkembang cepat, namun menghilang? Tentu, ini semacam hipotesa awal, perusahaan yang dirintis keluarga Batak umumnya bisa bangkit, berjaya namun tak bisa bergenerasi, eksis bergenerasi. Tentu penyataan dan pertanyaan ini membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Di garis waktu, bangkitlah para pengusaha Batak, membawa angin perubahan dalam kancah bisnis Indonesia. Sejak tahun 1950, nama-nama besar seperti T.D. Pardede, K. Panggabean, dan Sianturi memancarkan cahaya kemajuan. Ada Mangaradja Haolanan Hutagalung mendirikan Arion Paramita Holding Company pada 1957, memulai dengan usaha toko sandang pangan di Jakarta, sebelum berkembang menjadi konglomerat.
Mereka digambarkan sebagai pelopor modern, cepat beraksi, dan tanggap terhadap perubahan. Namun, di balik kemilau kesuksesan ini, terdapat kisah yang kurang terungkap. Tradisi bisnis Batak relatif muda, baru berawal pada awal abad XX.
Sementara itu, orang Aceh telah membangun jaringan dagang internasional sejak abad XII. Banten, Jawa, dan Sulawesi Selatan telah berdagang dengan Cina, India, dan Timur Tengah sebelum abad XXI. Sejarah bisnis Indonesia menyimpan cerita yang kompleks dan menarik.
Abad XIX, tirai sejarah Batak terbuka. Catatan penjelajah Barat seperti Marsden, Brenner, dan Junghuhn menggambarkan masyarakat Batak sebagai suku primitif, terisolasi, dan belum mengenal sistem bisnis modern. Mereka hidup dari bercocok tanam, tidak mengenal bentuk kerajaan.
Pasar tradisional Batak sederhana, “onan” hanya berlangsung sekali seminggu, dengan barter hasil bumi dan garam. Tidak ada saudagar besar, prasarana, toko, atau pabrik. Kota pelabuhan pun tidak ada.
Sementara itu, Eropa mengalami revolusi industri dan Jepang mengalami restorasi Meiji. Namun, Barus, desa pantai di Tapanuli Tengah, menjadi teka-teki hingga kini. Sejak ratusan tahun lalu, Barus menjadi pusat perdagangan kapur barus dan memiliki hubungan dagang internasional. Meskipun demikian, peran Barus dalam sejarah bisnis Batak masih belum terungkap jelas.