Pdm. Bernat Ndawu, S.Th: Mantan Aktivis yang Tetap Kritis
Masifnya gerakan mahasiswa dari berbagai kampus di tahun 98 yang memaksa kejatuhan Soeharto setelah memimpin 32 tahun. Terbukti gerakan mahasiswa menjadi gerakan yang paling konsisten menumbangkan Orde Baru. “Tahun 1998 saya ikut beberapa hari demo di DPR, hingga sampai peristiwa Semanggi, sampai ketemu saya di Atmajaya. Dari situ, tahun 1999 diajak masuk Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI),” kisahnya. “Sebenarnya sudah mau lulus kuliah dan akhirnya boleh dibilang terlanjur nyemplung di dunia pergerakan mahasiswa sebagai aktivis,” ujar Pdm Bernat Ndawu, S.Th. Pendeta di GBI Victory ini sejak ikut demo 98-an aktif jadi pengurus GMKI cabang Jakarta. “Tetapi sejak tak lagi pengurus di GMKI, kami membentuk organisasi pemuda dan mahasiswa di Jakarta asal Poso dan Morowali. Kebetulan waktu itu memang lagi ada konflik horizontal di Poso. Namanya Forum Mahasiswa Poso dan Morowali Jakarta,” jelas pria kelahiran Morowali Utara, 27 Agustus 1975.
Suami dari Dumaris Pasaribu, S.PAK. Ayah dari Celine Gracia Miamori Ndawu ini menjadi ketua dua periode di organisasi mahasiswa Poso dan Morowali tersebut. Waktu itu demo mereka sampai juga ke telinga pemerintah pusat. Tujuan mereka memang mau mengangkat isu di Poso ke pentas nasional, supaya ada perhatian serius pemerintah pusat. Makanya Ndawu dan teman-temannya beberapa kali demonstrasi di Jakarta. Salah satu yang menurutnya sampai sekarang sangat berkesan waktu demonstrasi ke kantor Menko Kesra tahun 2002, diterima langsung Jusuf Kalla.
Masih belum lekang dalam ingatannya, ketika membentuk forum mahasiswa Poso dan Morowali. Apa yang diingat? “Sebenarnya, banyak pihak itu yang kami temui waktu itu, karena provokasi dari banyak pihak, karena banyak pihak yang berkepentingan. Awalnya memang konflik horizontal antar sesama masyarakat di Poso oleh karena beda agama, lama-lama membesar jadi konflik sosial, dan akhirnya yang terjadi banyak warga sipil merenggang nyawa. Tak sedikit terjadi ledakan bom untuk mengumbar ketakutan, kemudian hari wilayah ini dikenal sebagai sarang teroris.
“Itulah yang kita lihat, kita para mahasiswa Pemuda Poso, pada waktunya berpikir bahwa ini nggak bisa dibiarkan terus-menerus dengan penanganan yang biasa-biasa saja. Perlu penanganan yang serius. Makanya kita waktu itu betul-betul dengan keterbatasan bergerak dengan jumlah yang tak terlalu banyak, kita berani melakukan aksi-aksi. Walau kita akui nggak cukup punya dampak mempengaruhi terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pusat.”