Putusan MK Memperkokoh Kepentingan Oligarki Tambang dan Mengancam Hidup Rakyat

Suaratapian.com– Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Judicial Review UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sangat mengecewakan pemohon dan juga publik. Putusan MK  Nomor 37/PUU-XIX/2022, Tanggal 29 September 2022 ini  memperkokoh kepentingan oligarki tambang sekaligus menghancurkan keselamatan rakyat. Tim Advokasi UU Minerba yang menjadi kuasa Para Pemohon sekaligus kerap mendampingi masyarakat terdampak tambang menilai, Hakim Mahkamah Konstitusi hanya menjadi corong pemerintah dan mengabaikan hak konstitusi rakyat atas keselamatan hidup dan lingkungan yang sehat.

Dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Kamis, 29 September 2022, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menolak tiga dari empat pokok permohonan Judicial Review UU Minerba, yaitu terkait (1) menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat; (2) potensi pengkriminalan masyarakat penolak tambang oleh Pasal 162 UU Minerba; dan (3) jaminan perpanjangan otomatis bagi KK dan PKP2B. Selain itu, Majelis Hakim mengabulkan sebagian dari pokok perkara terkait jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang yang diberikan pada pemegang WIUP, WIUPK, dan WPR, dengan memberikan penafsiran “sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Mencermati pertimbangan Majelis Hakim yang dibacakan dalam sidang tersebut, terlihat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi lebih banyak menggunakan dalil yang diajukan oleh Pemerintah sebagai pembelaan, termasuk pada dalil yang dikabulkan sebagian. Sebaliknya, Majelis Hakim justru mengabaikan argumentasi pemenuhan hak partisipasi masyarakat dan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini jelas bertentangan dengan komitmen iklim negara untuk transisi energi dan sebaliknya memberikan ruang pada oligarki perusak lingkungan untuk mengeruk lebih banyak cuan dan menyebabkan kerusakan.

Dalam permohonan terhadap Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU Minerba yang menyebabkan menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat, pertimbangan Mahkamah Konstitusi berfokus pada pembagian urusan pemerintahan pusat dan daerah yang bukan menjadi inti permohonan. Mahkamah Konstitusi justru tidak mempertimbangkan argumentasi akses masyarakat atas layanan publik dan gagal melihat kenyataan yang sudah terjadi di masyarakat pasca berlakunya UU  Minerba. Saat ini, masyarakat kesulitan mengadukan perusahaan tambang yang merusak wilayah mereka karena harus mengadu ke pemerintah pusat.

“Keputusan Mahkamah Konstitusi ini mengkhianati agenda reformasi karena salah satu hal penting yang dihasilkan reformasi yakni mendekatkan warga dengan pemerintah melalui pemerintah daerah. Ketika kewenangan daerah ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat, ini kemunduran karena mengabaikan prinsip otonomi daerah. Akibatnya nasib masyarakat di sekitar industri ekstraktif pertambangan yang dikorbankan,” tutur Ali Akbar, juru bicara #BersihkanIndonesia dari Kanopi Bengkulu.

“Apa yang terjadi di Trenggalek itu seharusnya bisa menjadi bahan pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Di sana, bupati sudah mengirimkan surat untuk mencabut pertambangan emas, lalu Wakil Gubernur Jawa Timur mendukung surat tersebut. Jadi dua pejabat daerah sudah berkirim surat untuk pencabutan izin, tapi pemerintah pusat tidak membatalkan izin yang dikeluarkan,” ujar Rere Jambore Christanto dari WALHI.

Putusan Mahkamah Konstitusi juga gagal untuk melihat hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat secara holistik. Ini tampak dari putusan Mahkamah Konstitusi yang sama sekali tidak mempertimbangkan argumen Pemohon bahwa “jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang” pada wilayah pertambangan menihilkan semua saran dan masukan masyarakat yang menolak tambang akibat kerusakan lingkungan di sekitar ruang hidup mereka.

“Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian terkait pasal-pasal jaminan pemanfaatan ruang bagi wilayah pertambangan, namun dengan argumen yang disampaikan Pemerintah. Mahkamah Konstitusi gagal untuk melihat bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terdiri dari hak substansial dan hak prosedural. Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan sama sekali pemenuhan aspek prosedural hak atas lingkungan (layanan publik, partisipasi, keadilan), dengan demikian akan berdampak pada pemenuhan substansi hak atas lingkungan masyarakat sekitar tambang nantinya. Mahkamah Konstitusi justru mengulangi kekacauan berpikir Pihak Pemerintah dengan mengamini argumen bahwa evaluasi dan revisi rencana tata ruang menyesuaikan izin usaha pertambangan yang sudah ada, meskipun terdapat penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup,” kata Lasma Natalia, tim Advokasi UU Minerba dari LBH Bandung.

“JATAM Kaltim khawatir, UU Minerba akan mempersempit ruang partisipasi masyarakat karena seluruh proses penetapan wilayah pertambangan tidak lagi melibatkan masyarakat. Kami takut, lahan pertambangan di Kalimantan Timur yang luasnya mencapai 5,2 juta hektar itu bisa meluas dan beban masyarakat semakin berat untuk melindungi kawasan dan aturan yang ada tidak bisa melindungi mereka ketika ada konflik,” kata Mareta Sari dari JATAM Kaltim.

Hasil dari Judicial Review UU Minerba ini merupakan pukulan bagi masyarakat karena Mahkamah Konstitusi turut serta mempersempit ruang partisipasi masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut bahwa Pasal 162 merupakan pasal prematur berbeda dengan kenyataan di masyarakat yang selama ini justru dikriminalisasi menggunakan pasal tersebut.

“Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa gugatan terhadap Pasal 162 prematur karena UU Cipta Kerja dinyatakan harus diperbaiki pemerintah selama 2 tahun. Namun masalahnya, kenapa masih ada masyarakat yang menolak pertambangan yang dikriminalisasi menggunakan pasal tersebut. Ini namanya pembungkaman terhadap masyarakat. Apabila uji undang-undang ini dinyatakan prematur karena Pasal 162 yang diubah oleh UU Cipta Kerja itu dibekukan, seharusnya aparat kepolisian dan pemerintah tidak boleh menggunakan Pasal 162 tersebut untuk mengkriminalisasi warga yang menolak tambang dan negara harus konsisten atas hal ini,” ujar Judianto Simanjuntak dari tim advokasi UU Minerba.

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

two × one =