Benlis Wilson Butarbutar, CEO Anugerah Sejahtera Group: Memilih Jalan Jadi Pengusaha Memberi Makna Bagi Kehidupan, Memberi Hidup Lebih Baik dan Menyediakan Lowongan Kerja
suaratapian.com-Peka akan ada peluang, memiliki daya juang, jiwa inovatif, sikap relevan dan mudah menyesuaikan diri adalah spirit wirausaha. Karakter seperti ini pasti dimiliki orang yang berkecimpung di dunia wirausaha, tetapi menjadi seorang pengusaha tidaklah mudah, memerlukan sifat tangguh, tak mudah putus asa. Tentu keuntungan dari berwirausaha meliputi kemampuan kemandirian, meningkatkan ekonomi negara, dan memberikan lapangan kerja bagi orang lain. Itu sebabnya Negara-negara maju terlihat dari banyak warga bangsanya terjun sebagai wirausaha.
Adalah Benlis Wilson Butarbutar, CEO Anugerah Sejahtera Group memilih jalan jadi pengusaha, karena ingin memberi makna bagi kehidupan, hidup lebih baik dan membuka lowongan kerja untuk orang lain. Pria kelahiran Jakarta, 28 Juni 1975. Menempuh dua gelar S1, dan S2. Ditempuhnya dari Universitas Indonesia. “Saya ambil Sastra Prancis, lalu saya mengambil juga ekonomi dan manajemen S2 di kampus yang sama,” ujar pengusaha properti Anugerah Sejahtera Land, yang menggembangkan berbagai perumahan cluster, termasuk mengembangkan superblock di Cibinong.
Ketua Umum Parsadaan Raja Toga Butarbutar dohot Boruna (Partobuna) se-Indonesia Periode 2022-2027, dan Ketua Umum PARIBAN 02 (Prabowo Gibran). Menikah dengan boru Sirait. Ayah dari tiga anak. Anak pertama, Rachel Claudia Santika Butarbutar. Lulus dari University of Washington jurusan Real Estate. Anak kedua, Michel Nadia Butarbutar saat ini kuliah juga masih kuliah di University of Washington jurusan Real Estate. Anak ketiga, laki-laki masih SMP, William Theofilus Butarbutar. Anak dari Turman Butarbutar Ibu Meyeti Tun.
Lahir dan besar di Jakarta, di daerah Rawa Badak, Tanjung Priuk. Berkali-kali pindah. Pindah ke Jati Bening dari Tanjung Priok, SMP di sana, dan SMA di Pasar Rebo saat itu tinggal di Cibinong. Sekarang tinggal di Bogor. Dulunya ayahnya seorang wiraswasta, penjual buku sekolah, barangkali embrio itu yang turun kepadanya, karena sejak SMP dia sudah terbiasa berjualan untuk mendapatkan uang. Kemudian dengan kesadaran sendiri Benlis memilih untuk jadi pengusaha. Tim Suara Tapian TV mewawancarainya, di satu mall di bilangan Bekasi, pada Jumat, 20 Juni 2024. Demikian petikan wawancaranya;

Seorang pengusaha muda orang Batak, akan kita tanya bagaimana membangun usaha, masih muda aktif membangun relasi dengan pemerintahan baru. Kemarin mendirikan relawan Pariban 02, mendukung Prabowo-Gibran menjadi pimpinan di negara ini. Horas Bang, boleh cerita lahir dan besar di mana?
Saya lahir di Jakarta, 8 Juni 1975. Jadi memang sudah lama di Jakarta.
Kami ingin menggali pengalaman dan reputasi Abang sebagai pengusaha Masih muda, belum usia 50 tahun, tetapi sudah membangun holding perusahaan, yang kita tahu ini tidak main-main, bahkan kami dengar termasuk perusahaan yang Abang kelola sudah mendapat belasan proyek. Apa yang mentrigger Abang, barangkali keluarga, orang tua, jadi pengusaha?
Awalnya saya hanya karyawan, tapi dari mulai SMA memang sudah senang jualan. Cari duit tambahan. Mulai dari SMA hingga kuliah, bahkan sampai lulus kuliah profesi saya itu sales. Itu yang mendasarinya. Saya ingin mendapatkan uang. Belakangan lima tahun menjadi eksekutif di perusahaan property, dari sana saya terjun jadi pengusaha. Jadi pengusaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan, karena hanya dengan menjadi pengusaha kita bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang membutuhkan pekerjaan, dan juga itu membantu pemerintah dalam mengurangi pengangguran. Kita mendapatkan penghasilan, membayar pajak dan itu meningkatkan perekonomian bangsa.
Kita lihat kenyataan di negara ini, kita harus berjuang masing-masing, harus mengencangkan ikat pinggang, agar kita juga jangan jatuh bangun seperti misalnya krisis yang dulu, krisis moneter begitu, karena sekarang sudah terbaca para ahli atau kita sebutlah para pakar ekonom yang menyebut, hati-hati ekonomi kita ke depan akan susah, bukan menakut-nakuti. Tentu siasatnya lewat wirausaha sebenarnya lahir jiwa kemandirian. Itu tidak lahir dengan tiba-tiba, dilatih seperti Abang. Bagaimana mengembangkan semangat ini, semua anak muda khususnya di kaum milenial?
Pertama, setelah hampir duapuluh tahun di dunia usaha, saya melihat memang ekonomi pasti ada turun naik. Hidup memang ada siang ada malam. Naik turun juga. Fluktuatif. Ada hujan ada panas. Ada susah ada duka. Jadi, sebagai orang beriman, kita harus optimis, kita harus yakin, bahwa kita bisa melewati setiap permasalahan. Intinya, kita harus bisa beradaptasi sebagai seorang pengusaha. Kita beradaptasi, kalau eksternal factor bukan domain kita. Eksternal faktor itu seperti politik, kebijakan pemerintah. Lalu, geopolitik, perang yang sekarang, perang Rusia-Ukraina, Israel dengan Palestina, Iran dengan Israel. Itu bukan domain kita, tetapi sebagai pengusaha kita harus bisa beradaptasi. Tadi, ucapan mengeraskan ikat pinggang itu termasuk ranah kita. Jadi ketika sulit, kita harus efisien, ketika ekonomi lagi bertumbuh, kita ekspansi. Jadi itulah bisnis, harus bisa beradaptasi. Intinya ketika kita terjun dalam dunia usaha, kita harus optimis, harus optimis dan kita harus bisa beradaptasi.
Saya dengar Abang di property, kita akan tanya itu, tetapi kembali soal sikap yang harus dimiliki seorang entrepreneur, pengusaha, selain karena mengencangkan ikat pinggang, berhemat, tidak hidup hedonis, mampu mengelola diri. Satu hal lagi, Abang tadi sebut faktor eksternal atau X factor. Apakah memang seorang pengusaha itu karena garis tangan, dan memang terlatih dengan kesadaran, punya latihan. Faktor-faktor apa yang membuat orang bisa berhasil jadi pengusaha?
Menurut saya, tidak percaya faktor garis tangan. Pengusaha itu sebenarnya dibentuk, bisa dibentuk yang penting kita harus punya visi, kita harus punya mimpi, kita harus punya tujuan. Intinya, pengusaha harus suka duitlah. Tetapi bagaimana mendapatkan uang, iya dengan menjual produk, atau jasa. Pengusaha bukan hanya bikin produk, tetapi jasa kan juga usaha, pelayanan juga usaha. Intinya kita harus punya mimpi, punya visi, lalu kita harus tahu produk atau jasa apa yang akan kita jual, kita tawarkan. Marketnya ke mana itu yang paling penting. Kalau saya di developer, target market itu apakah kelas bawah kelas menengah atau menengah atas? Harus tahu. Nah, dari situ kita sudah dapat target market, kita buat produk. Setelah kita buat produk, lalu bagaimana kita mempromosikan. Mempromosikan itu yang disebut dengan channel, bagaimana meraih segmen market kita, barangkali melalui media-media yang ada, reklame, TV atau digital marketing dan lain sebagainya. Setelah itu, ketika kita sudah dapat uang, bagaimana “how to manage” uang tersebut? Bagaimana kita mengatur uang itu agar perusahaan kita bisa bertumbuh, kalau sudah dapat uang, diekspansikan lagi. Ada yang dipakai. Ada yang ditabung. Kita terus memantau, melihat kondisi market, harus terus diperhatikan. Jangan sampai seperti Nokia, Kodak, tergilas oleh zaman, karena tidak berinovasi. Jadi memang itu yang paling gampang. Dikata, disebut sulit untuk dilaksanakan ya inovasi.
Faktanya di bangsa kita ini masih sangat banyak warga masyarakat yang belum punya rumah, dan pengusaha yang memiliki modal mengembangkan usahanya di bidang property kelihatan bisa terus survive. Abang mengembangkan perusahaan brandingnya the minimalis, tolong ceritakan bagaimana awalnya memulai dan sekarang bagaimana?
Sebelumnya saya jadi developer. Saya itu jual beli property. Jadi beli, jual. Pengalaman menjual itu membuat percaya diri mengerjakan menyeluruh. Ketika saya terjun ke developer ruang lingkup bisnisnya banyak. Pertama, kita harus bebaskan lahan dulu, sesudah itu mengurus perizinannya, sudah itu, kita harus buat promosinya, baru pembangunannya. Tadi, mengenai brand the minimalis, jadi memang itu brand kita. Saya sadar, kami ketika memulai menjadi developer tahun 2000, masih baru dan saya percaya brand itu bisa membantu mengingat dan diingat konsumen. Ketika mendirikan perusahaan, kita cari tahulah brand apa yang kita pakai agar bisa gampang diingat, ketemulah the minimalis. Tahun 2007, 2008 dan sampai saat ini desain minimalis itu memang masih dipakai, masih tren di dunia property. Maka kita harus punya brand yang mudah diingat dan untuk bisa meningkatkan penjualan produk kita.
Apakah juga hubungannya dengan membangun properti yang Abang bangun ini, bangunannya memang minimalis?
Desain minimalis itu memang dibanding desain yang lain seperti Mediterania Klasik dan lain sebagainya, minimalis itu memang lebih efisien, lebih menarik, juga lebih abadi.
Sebenarnya apa yang membuat Abang terjun di usaha properti, memang kalau kita lihat secara umum, sebutlah pengusaha-pengusaha hebat di Indonesia ini. Orang-orang yang bisa punya modal, kapital besar, akan menyentuh property, tidak ada pengusaha yang besar tidak menyentuh properti begitu. Apa yang mendasari, Abang mulai perusahaan, berguru kepada siapa?
Pertanyaan menarik, mengapa saya fokus di property, saya lama bekerja, lima tahun di perusahaan property, dan saya melihat prospeknya sangat menarik. Mengapa menarik, karena hanya menjadi developer properti kita bisa meningkatkan ekonomi Negara, karena di developer ini multiefeknya banyak. Hampir ratusan industri yang bisa digerakkan dari dampaknya.
Dampak dominonya seperti apa?
Misal, kalau kita membangun rumah, perusahaan pasir, batu kali, semen, plafon, paku, kran, pipa, keramik dan itu pasti, dan juga tenaga kerja, bahkan warung-warung bisa hidup. Karena itu, pemerintah harus membantu sektor properti, karena memang multiplier efeknya banyak sekali. Lalu, saya suka pertanyaan, siapa di belakang Abang, itu barangkali maksudnya. Saya terus terang, pertama yang berjasa, saya sekolah di Panangian Properti. Jadi ketika kerja di properti saya ikut sekolah dari beliau. Menurut saya memang bagus, saya bersyukur bisa ikut di sekolah itu, karena memang pengajarnya para profesional di bidang properti. Dari sana jadi kenal direktur perusahaan-perusahaan, direktur properti, perbankan. Jadi memang saya bisa karena belajar ke Pak Panangian Simanungkalit, menjadi bekal saya menjadi pengusaha, dan itu acuan bagi saya untuk mengembangkan properti.
Apa tantangannya Bang, karena abang sebutkan tadi misalnya proyek mengelola properti Ini kan harus membebaskan lahan?
Di Jakarta ini untuk mendapat lahan memang tak mudah, lahan dalam jumlah besar. Memang agak sulit, perlu punya effort yang besar. Tetapi memang kami punya bisnis model di lahan-lahan yang di bawah lima hektar. Jadi tidak termasuk skala besarlah. Kami membangun cluster dan memang tujuan kami ingin mempercepat penjualan. Kami membeli lahan itu di tempat yang sudah jadi, mungkin nanti bisa dilihat bahwa properti yang kami bagun itu adanya di kota. Di tempat yang sudah jadi, sudah ada fasilitas, memang dampaknya harga tanahnya sudah tinggi. Kita sengaja mengambil lahan-lahan yang tidak terlalu besar, tetapi di lokasi yang sudah jadi, agar penjualannya bisa lebih cepat.