Di Liang Lahat Pun Aksi Intoleransi Terjadi

Hal senada pernah dikatakan, budayawan Dr. Ngatawi Al Zastrouw, S.Ag, M.Si., mengemukakan pendapat terkait langkah untuk mengarusutamakan toleransi (https://jendelanasional.id/headline/dr-ngatawi-al-zastrouw-penyebab-tumbuh-suburnya-intoleransi-di-masa-pandemi). Ngatawi menambahkan, ada beberapa hal yang menyebabkan tumbuh suburnya intoleransi di tengah situasi pandemi seperti saat ini, tentu berawal dari keterbatasan pikiran. Di mana pikiran yang terbatas pada suasana pandemi ini menjadi panik dan akhirnya mereka memegang pada informasi-informasi yang cocok hanya diri mereka. Selanjutnya, hilangnya wisdom atau kearifan. “Kenapa hal ini bisa hilang? Ini karena dominannya kepentingan-kepentingan pragmatis yang menyebabkan orang untuk berpikir alternatif. Yang penting kepentingan dia harus terwujud di mana segala cara akan digunakan untuk mewujudkan kepentingan itu,” ujarnya.

Selanjutnya, menurut mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU itu, adanya tarik-menarik politik. Di iklim politik yang kompetitif seperti sekarang ini, ada saja segelintir orang yang hanya memikirkan kepentingan dirinya dengan menggunakan segala cara dalam mewujudkan kepentingan-kepentingan politik, termasuk memainkan isu SARA. Memanfaatkan isu SARA demi birahi politiknya. Mantan asisten pribadi Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini juga menyebut, selain itu, mereka juga memanfaatkan kedangkalan pemikiran-pemikiran sebagian orang yang mudah digerakkan untuk melakukan sesuatu, termasuk tindakan anarkis. Bersumbu pendek, mudah tersulut api kemarahan. Oleh karena itu, menurutnya, dalam menghadapi pandemi Covid-19, keutuhan, solidaritas dan toleransi itu tetap terbangun dan terjaga semangat kemajemukan perlu dijaga, saling menjaga dan menghormati. Untuk itu, masyarakat juga harus mencoba untuk menghidupkan dan menggali nilai-nilai tradisi yang baik untuk diwujudkan, dikembangkan dan diamalkan.

Vandalisme di makam

Bagaimana rupanya masalah toleransi di masa Pandemi Covid-19? Jelas, kentara bisa dirasakan, tindakan intoleransi di tanah air. Walau banyak juga sepi dari pemberitaan. Terjadi nyata, utamanya aksi intoleransi di Liang Lahat, bahkan, jasad orang yang meninggal pun ditolak untuk dimakamkan.  Secara kronik kasus perusakan makam yang menghebohkan warga di sekitar TPU Cemoro Kembar, Kelurahan Mojo, Pasar Kliwon, Solo. Dua belas makam dirusak, oleh karena bersimbol salib dari sebelas pusara Kristen dihancurkan padahal di Tempat Pemakaman Umum (TPU). Itu terjadi Giriloyo di Magelang, Jawa Tengah.

Pun vandalisme terhadap makam juga terjadi di Solo. Di lokasi pemakaman, tampak sejumlah salib dicopot dari makam lalu dihancurkan. Syukur, walikota Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka bertindak cepat dan menangani kasus ini dengan baik. Tentulah ini bukan hanya kasus pertama, pengrusakan kuburan Kristen. Di Magelang pun terjadi. Dua puluh satu makam di tiga TPU dirusak di Kota Magelang, 18 diantaranya adalah makam Kristen. Di Situbondo, di Yogyakarta juga terjadi. Di Sumatera Utara juga tercatat warga menolak dikuburkan oleh karena pasien Covid-19. Sebagaimana diberitakan Buletin iNews, (24/05/21). Entah apa yang menyulut kemarahan warga, apakah memang sosialisasi dan edukasi dari pihak Satgas Covid-19 yang kurang? Entahlah!

Lain di Jawa lain juga di Sumatera. Di Kota Padang Sidempuan itu misalnya, menolak untuk dikuburkan jasad warganya. Warga tetap menghalangi, bertahan di lokasi tempat pemakaman umum dan mereka mendesak untuk segera memindahkan kuburan tersebut ke tempat pemakaman khusus Covid-19. Sebenarnya, penolakan itu juga karena yang meninggal beragama Kristen.

Tentu, menengok sedikit ke belakang, bukan kali ini pertama penolakan terhadap jasad warga Kristen di Kota Sidempuan tersebut. Tahun 1922, jenasah orang Toba pun pernah ditolak oleh karena dikuburkan di TPU milik orang Mandaliling, padahal orang Mandailing juga sub-etnis Batak. Sudah tentu karena faktor agama. Tentu masalah pemakaman bagi orang yang berbeda identitas terjadi sudah sejak masa kolonial. Tentu tak spesifik soal agama, meski faktor itu ada, melainkan juga karena identitas sub-etnis mempengaruhi.

Berita penolakan jenasah dimakamkan juga terjadi di Banyumas juga sempat viral berita yang sama. Sebagaimana dikutif dari (https://www.voaindonesia.com/a/jenazah-korban-virus-corona-aman-warga-jangan-menolak/5358581.html). Kita tentu salut dengan Bupati Banyumas, oleh tangkas menghadapi penolakan warga. Tak sampai disitu saja, bupati Banyumas Achmad Husein ikut turut membongkar kembali makam korban virus corona yang ditolak warga.

Kasus di Banyumas akhirnya bisa dicarikan solusinya, pemakaman dilaksanakan terpaksa di tanah milik pemerintah, yang jauh dari perkampungan warga. Selain di Banyumas, penolakan juga terjadi di Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan. Soal Makassar ini jadi teringat rilis Setara Institute beberapa waktu lalu, ketika melaporkan daftar kota-kota intolerasi di Indonesia, salah satunya kota intoleran adalah Makkassar. Lucunya ketika itu wakilotanya tak terima kota yang dipimpinnya disebut kota toleran.

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

three × four =